Setelah bersusah payah, dengan menyeka air mata akibat bawang, akhirnya Cavero berhasil mengiris tiga butir bawang. Wajah pemuda itu sumringah, terlihat senang dan puas. Dia berhasil mengupas dan mengiris bawang. Itu suatu prestasi. Seharusnya saat ini juga Cavero dikalungi medali atas jerih payahnya mengiris bawang dalam waktu setengah jam.
Ropi memandangi hasil kerja Cavero, wajahnya terlihat kecewa, “Gini doang!?” tanya Ropi sambil menggelengkan kepala.
Cavero hendak bersuara, namun Mutia, sang ibu langsung ikut nimbrung berbicara, “Aduh, makasih ya Mas, sudah bantu Ropi iris bawang. Mas duduk saja di sudut, itu kerjaan Ropi.”
“Mak, apaan sih. Ini sih enggak kerja, masa setengah jam cuma ngupas tiga bawang?!” Ropi terdengar protes.
“Udah, jangan nyuruh tamu. Beresin pekerjaan kamu!” Mutia mendelik marah pada anaknya.
Mutia kembali ke depan kompor dan sibuk mengoreng. Cavero pun akhirnya memakan gorengan yang tersuguh di depannya. Ternyata memakan gorengan setelah bekerja bersama air matanya yang mengalir terasa begitu nikmat.
Ropi memandang ke arah Cavero dengan dengusan, namun dia sendiri tidak kuasa melawan sang ibu yang lebih galak dari kakaknya.
Mutia datang, membawa gorengan lagi lebih banyak dan menumpukkan di atas piring untuk Cavero, lalu kemudian bertanya, “Nak Cavero ini disini sampai kapan?”
Cavero gelagapan. Dia baru sadar, mereka pasti memiliki sumber daya terbatas. Menampung satu orang berarti menambah pengeluaran. Tapi, Cavero sendiri tidak memiliki tujuan pasti. Jadi dia terlihat kebingungan.
“Kata Kakak, orang ini hanya nginap satu hari saja.” sahut Ropi sambil berdecih, terlihat berwajah puas.
“Oh, jadi sore ini Nak Cavero pergi dari tempat kami?” suara Mutia terdengar lega.
“Eh—itu—“ Cavero jadi mati kutu. Lalu, sebuah ide busuk terlintas dalam kepala pemuda itu, lalu dengan terlihat sedih dia berkata, “Saya akan segera keluar kok Bu, tidak usah khawatir. Saya hanya menunggu agar Ropi setidaknya mengembalikan uang di dalam dompet saya. Uang itu ada sejuta, bisa saya gunakan untuk pergi dari sini. Tapi, kondisinya saya jadi tidak punya apa-apa. Itu harta saya satu-satunya. Saya iklas bila hape yang saya pakai hilang, tapi minimal uang saya yang sejuta bisa kembali.” Ucap Cavero dengan suara datar, dan wajah di buat memelas.
Ropi mendadak memucat ditempat, sang ibu kemudian menoleh ke arah anaknya. Terlihat aura kemarahan sudah tergambar dari raut wajah Mutia. Ropi takut oleh pukulan dari ibunya. Mutia biasanya lebih keras dalam memukul ketimbang sang kakak.
Tapi Mutia menahan diri, perempuan separuh baya itu kemudian memutar tubuhnya, tidak berkata-kata dan berjalan bak robot.
Tepat saat itu pintu rumah terbuka, masuklah Widya dengan mengenakan seragamnya. Melihat kakaknya datang, Ropi buru-buru menemui sang kakak dan menarik tangan Widya menuju luar pintu.
Cavero memperhatikan sosok kedua adik kakak itu hilang di balik pintu. Tidak beberapa lama, mungkin sekitar sepuluh menit, keduanya sudah kembali. Wajah Ropi terlihat puas, dia melirik ke arah Cavero dengan pandangan jumawa, membuat Cavero bertanya-tanya ada apakah gerangan.
Widya mendekat ke arah Cavero, lalu kemudian berbisik, “Om, bisa ikut denganku sebentar.”
“Kemana?” Cavero heran, alisnya bertaut.
“Cuma bentar kok Om, ke balik pintu itu.”
Cavero mengikuti Widya. Dia keluar dan berdiri di balik pintu rumah mereka. Terhamparlah pemandangan orang-orang membawa karung dan tumpukan botol, plastik dan besi bekas menggunung.
“Om, tadi Ropi bilang Om membahas soal uang satu juta om ya?”
“Memang.” Jawab Cavero sedikit meninggi.
“Kan udah aku kasih tahu kemarin Om, kami tidak punya uang untuk mengganti uang Om.” tukas Widya sedikit kesal karena tidak bisa berkompromi dengan pemuda ganteng itu.
“Kalau begitu kita ke kantor polisi.” ucap Cavero merasa puas.
“Jangan gitu dong Om. Om lihat, kami ini orang miskin.” Widya mengedarkan pandangannya ke sekitar, gadis itu mendesah, “Gini aja Om. Om bisa tinggal di rumah kami, bisa tidur di sini. Tapi untuk makan Om, Om cari sendiri. kami tidak menanggung makan Om. Bagaimana kalau begitu?”
Cavero memandang, dan menimbang. Dia juga tidak tega membiarkan keluarga miskin ini menanggung dirinya, mau ditaruh dimana kehormatannya sebagai seorang anak milyuner kalau begitu. pemuda itu mendesah, semua terlihat berat, termasuk masa depan. Buram dan pekat.
“Baiklah,” ucap Cavero, pemuda itu menarik napas panjang, “Tolong beritahu aku, pekerjaan apa yang kira-kira bisa aku dapatkan?”
“Mulung, atau jual gorengan. Yang mana Om maunya?”