Nino membawa Cavero ke lokasi tempat yang lebih luas. Ternyata di daerah kumuh yang terlihat seperti padat, Nino masih memiliki satu ruang, seukuran garasi tempat dia mengumpulkan dan menyortir beberapa barang bekasnya yang lain. Kali ini ruangan tersebut lebih terang benderang karena hanya diatapi oleh lapisan terpal transparan.
Tiga orang laki-laki dengan beragam ukuran terlihat tengah menyortir beberapa barang. Satu tinggi jangkung dan kurus, wajahnya terlihat tirus dan penuh jerawat. Nino memperkenalkan pemuda tersebut sebagai Juri—dan teman temannya sering memplesetkan namanya dengan Jurig. Yang kedua, terlihat bertubuh lebih pendek dari yang lain, rambut kribo dan kulitnya hitam, mungkin terbakar matahari, atau model kulitnya memang begitu. Yang satu ini bernama Tagor, namun teman temannya kerap memanggilnya Batagor, karena namanya dan model dirinya yang serupa dengan makanan batagor. Yang terakhir, yang terlihat paling alim, dengan rambut tipis yang menutupi kening. Wajahnya oval dengan mata sayu. Orang sering salah kaprah menyangkanya cina, karena matanya yang sipit, jadi dia seringkali dipanggil Koh, padahal namanya Utut.
“Itu Juri, Tagor dan Utut, biasanya mereka dipanggil Jurig, Batagor dan Koh.” Terang Nino memperkenalkan tiga pekerjanya.
Ketiga pekerja itu melihat sebentar ke arah Cavero, salah satu dari ketiganya menebak-nebak siapa gerangan lelaki dengan penampilan rapih dan muka tampan tersebut, namun kedua orang lainnya tidak memikirkan apapun. Ketiganya kembali bekerja seperti biasa.
“Ini tempat kami mengepul barang-barang bekas.” Ucap Nino sedikit bangga.
Cavero mengangguk –angguk, lalu ucapnya dengan nada terlihat meyakinkan. “Ini sudah termasuk luar biasa Pak—Eng?”
“Nino, nama saya Nino. Tadi saya belum sempat memperkenalkan diri ya.” Nino segera mengangguk dengan pasti pada Cavero.
Cavero mengangguk, “Saya tertarik tentu saja membicarakan bisnis ini dengan bapak. Mungkin kita bisa bicara ditempat lain yang lebih baik.” Cavero memandang Nino, matanya mengisyaratkan bahwa tempat mereka berdiri bukan tempat yang tepat untuk berbicara bisnis besar dalam kepala Cavero.
Nino seolah mengerti, lelaki itu mengangguk lalu kemudian berjalan mengajak Cavero untuk melewati jalan belakang, melewati belantara barang rongsokan dikiri dan kanan, dan akhirnya mereka tiba di pintu yang sedikit bagus. Nino membuka pintu tersebut, lalu terlihat pemandangan yang lebih terang karena lampu dan sedikit celah dari atas genteng. Tampak sofa cantik, furniture keren terbuat dari kayu jati asli bertengger di sisi dinding dekat sofa. Sebuah televisi flat dengan ukuran layar 42 inc dipasang di sisi dinding lain, seolah ditempel begitu saja sehingga mengambang di dinding.
Cavero berdecak dalam hati. Tampilan rumah tersebut dari luar jelek, burik dan tidak menarik. Dengan gunungan sampah berkarung karung hasil dari sortir barang rongsokan di gundukan sampah yang dibawa para pemulung. dan di tengah rumah tersebut, ternyata tersimpan harta bagus milik yang punya rumah. Tampaknya Nino merupakan pengepul yang cukup sukses.
Nino mempersilahkan Cavero untuk duduk di sofa bagusnya, dia sendiri pergi ke dalam kamar, menghilang di balik gorden. Tidak beberapa lama, dari gorden yang sama keluar seorang perempuan yang berjalan tergopoh-gopoh melewati Cavero.
Nino keluar dengan tampilan yang lebih baik, baju kemeja batik yang cantik, lalu Cavero mencium aroma menyengat dari pewangi yang dikenakan Nino. Laki-laki bertubuh gempal tersebut kemudian duduk di sofa lainnya menghadap Cavero.
“Mau minum apa?” tanyanya pada Cavero.
“Soda boleh. Apalagi panas-panas begini, tentu sangat menyegarkan minum yang dingin-dingin.” Ucap Cavero.
“Mah, Coca cola dua!” teriak Nino pada sisi lain ruangan. Setelah berteriak, dia kemudian memusatkan kembali perhatiannya pada pemuda ganteng dihadapannya, “Saya ingin sekali mendengar tentang rencana perusahaan Mas Cavero?” kata Nino terlihat antusias.
“Tentu saja Pak. Sebenarnya perusahaan kami PT Diaga Karya tengah membuat satu bagian baru. Bapak tahu perusahaan Inti Nusa Perkasa?”
Mata Nino melotot, dia tahu perusahaan tersebut. Beberapa kali pernah dia melewati perusahaan Inti Nusa perkasa, sebuah perusahaan dengan gedung megah di wilayah Jakarta. Nino mengangguk, “Tentu saja saya tahu. Gedungnya sangat megah, saya sering lewat di depannya.”
Cavero mendesah, sedikit lega. Perusahaan Inti Nusa Perkasa adalah salah satu anak perusahaan keluarganya, dan dia mencoba mencatut nama perusahaan tersebut untuk memuluskan jalan ninjanya.
“Ya, bisa dibilang, PT Diaga Karya merupakan bagian dari perusahaan Inti nusa Perkasa. Kami tengah mencoba meluaskan usaha kami pada pembuatan bijih plastik.” Cavero menghentikan omongannya dan melihat Nino mengangguk-angguk seperti boneka per anjing yang sering ditempel di dashboard mobil. Hm, ronde kedua, desis Cavero dalam hati, “Biji plastik merupakan salah satu komoditi yang bagus dan dapat diserap pasar dengan baik. bapak tentu tahu bahwa banyak sekali kebutuhan plastik untuk beragam barang-barang dan kemasan. Nah, perusahaan kami berniat untuk melakukan hal tersebut. Tapi..”
“Tapi, apa?”
Cavero mendesah, “Namun, perusahaan induk masih pikir-pikir dahulu. Mereka bilang, bila ada samplenya maka mereka berani menggelontorkan dana besar untuk hal tersebut.”
“Lalu?” Nino memandang dengan tidak sabar.
“Ya, saya berpikir, dan tentu saja ingin mengajak kerjasama Bapak Nino untuk membuat sebuah pabrik kecil pengolahan biji plastik. Saya memiliki konsepnya, namun dana tidak bisa turun tanpa sebuah sample. Bila bapak setuju untuk membuat sebuah pabrik percontohan pengolahan plastik, maka kita bisa menaikkannya ke pusat dan tentu saja perusahaan yang Bapak Buat bisa mendatangkan sponsor dari perusahaan Inti Nusa perkasa.”
“Jadi, maksud Mas ini, saya membuat pabrik pengolahan plastik?”