Malaikat Tanpa Sayap

Dewi sartika
Chapter #15

Ketidak adilan yang nyata

Dua buah minibus berjalan meninggalkan rumah Senja di atas bukit. Malik mendapat jatah tempat yang sama di dalam mobil di mana Nek Muidah, walau tidak berada pada tempat duduk yang sama. Sebelum mobil berangkat Bima sudah mengedipkan mata, yang berarti bahwa tugasnya sudah mesti dilaksanakan.

Malik mendesah, entah kenapa nasibnya malah terikat dengan nenek lincah itu, apakah ini bencana kedua setelah dirinya dilemparkan ke rumah jompo ini? Malik merasa dia seperti mengambil undian yang salah.

Semua Lansia tampak bersenang-senang. Mereka saling bernyanyi dipandu oleh seorang pekerja wanita yang memang bertugas untuk menghibur dan mengarahkan kegiatan di dalam bis agar tidak bosan. Nek Muidah, yang duduk di bangku nomor dua terlihat tidak tertarik untuk ikut-ikutan bernyanyi seperti teman-temannya yang lain. Dia malah tampak memperhatikan jalanan yang berkelok-kelok. Pikirannya melayang pada satu masa di masa lalu.

50 tahun yang lalu, Nek Muidah terkenal sebagai wanita paling cantik di kampungnya. Kembang desa yang bikin banyak pemuda kasmaran dan kepincut padanya. Nama asli perempuan itu—sebelum menyandang nama Nek Muidah—adalah Muidah Terana. Kebanyakan orang memanggilnya Idah, namun seorang lelaki yang suka memperbaiki apapun memanggilnya dengan lembut dengan panggilan Nona Tera, lelaki itu bernama Berry.

Berry tidak tampan, malah terlihat kaku dan pemalu, namun dia selalu bersikap sopan dan baik pada siapapun. Muidah terkesa dengan Berry, karena panggilan Nona Tera melambungkan perasaannya. Hingga mereka memutuskan membina tali kasih.

Kedua orang tua Muidah tidak begitu menyukai Berry, karena pemuda itu miskin. Tapi, Muidah adalah gadis yang keras. Ketika dia memutuskan ingin bersama Berry, maka dia akan menentang dan melawan seluruh dunia yang menentang keputusannya.

Kekuatan hari Muidah muda membawa hasil yang cukup baik, dia menikah dengan Berry dengan restu setengah hati dari keluarganya. Tapi tidak masalah, yang penting dia berhasil bersama Berry.

Setelah menikah dengan Berry, kondisi ekonomi keluarga mereka perlahan-lahan naik, kehidupan menjadi baik untuk keduanya, sampai kemudian mereka dikarunia lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Satu anaknya yang tengah cacat, terkena polio ketika kecil hingga kakinya mengecil dan harus berjalan dengan bantuan alat.

Memiliki anak yang cacat sebenarnya menimbulkan rasa malu pada hati Muidah. Dibandingkan empat anak lainnya, anaknya yang cacat lebih sering diabaikan oleh Muidah.

“Si Idah, katanya anaknya cacat ya?” bisik salah satu kerabat pada keluarganya yang lain.

“Iya. kena polio. Jadi kakinya tidak bisa dipakai sempurna. Bentuknya kecil, gitu.” terang keluarga yang lain.

“Itulah, kawin tanpa restu, jadi kena tulah.” celetuk yang lain menimpali panasnya gosip.

Lihat selengkapnya