KAU memang selalu pergi tanpa harus permisi padaku. Ini yang sering kukatakan bahwa apapun tak akan bisa mengikatmu, termasuk cinta. Cinta. Cinta? Apakah aku memang benar-benar jatuh cinta? Jatuh cinta kepada laki-laki seperti kamu? Laki-laki dengan masa lalu suram dan mungkin tanpa masa depan? Tanpa masa depan? Siapa yang tahu dengan masa depan seseorang? Siapa yang bisa menentukan nasib? Takdir? Lagi-lagi takdir. Mengapa setiap bercerita tentang kamu, dengan segala apa yang kamu miliki, aku selalu menghubungkannya dengan takdir? Fullfil your destiny, is there within the child...[1]
Memenuhi takdir?
“Apakah seorang laki-laki harus memiliki masa depan, Flo?”
Suatu saat kau bertanya.
“Ya.”
“Masa depan yang seperti apa?”
“Kau tak tahu arti masa depan? Tentu bukan masa depan yang buruk. Cita-cita maksudku, karena dengan cita-cita itulah manusia akan bekerja keras untuk mendapatkannya.”
“Untuk apa?”
“Mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin untuk kekasihnya. Mungkin untuk anak atau istrinya...”
“Untuk anak, istri dan kekasih? Hahaha...”
“Untuk anak dan istri, jika ia sudah berkeluarga. Untuk kekasihnya, jika dia memang ingin memiliki kekasih.”
Tetapi kau memang membuatku bingung. Pada suatu malam yang hujan, kau tiba-tiba sudah berdiri di pintu setelah sekian lama tak pernah berkabar. Rambutmu basah, meneteskan air. Jaket lusuhmu juga basah, meneteskan air. Celanamu yang kumal, basah dan air mengalir. “Aku akan mengambilkan handuk,” kataku cepat-cepat masuk kamar dan sudah keluar dengan handuk putih, handuk yang memang sering kau pakai ketika berada di rumahku.