Nurmala berdiri di pinggir sebuah jembatan yang bisu. Sama seperti keadaan Nurmala saat ini. Sepi. Senyap. Membisu. Tak punya teman untuk sekedar bercakap-cakap. Atau saling sapa. Atau sekedar saling lempar senyum. Tak ada. Sementara hari belumlah sore benar. Angin semilir. Singgah sebentar di helai rambut Nurmala yang sesekali berkibar. Acak. Lalu jatuh kembali. Beberapa helai menutupi muka. Menghalangi pandangan. Lalu dengan gerakan perlahan Nurmala menyingkirkan anak-anak rambut itu dari wajahnya.
Di bawah, Sungai Mempawah terlihat tenang. Bisu. Tak ada siapa-siapa. Satupun tak kelihatan sampan motor yang melintas. Air mengalir tenang. Berwarna coklat keruh. Menyeret sampah-sampah beraneka rupa. Botol minuman bekas. Dedaun kering. Batang pohon pisang. Sepatu usang. Mainan boneka yang sudah hilang kepalanya. Dan… sepi.
Jembatan Kuala pun sama nasibnya. Tak banyak dilintasi oleh kendaraan. Satu dua sepeda motor lewat. Tak terlalu kencang. Lalu truk yang mengangkut buah sawit. Lalu mobil berwarna merah terang. Lalu truk lagi yang mengangkut entah apa. Selebihnya… sepi.
Nurmala tunduk. Dibayangkannya hari-hari terakhir. Abang Irham akan melintas di bawah jembatan sembari mengacungkan dayung sampannya kemudian berteriak pada Nurmala yang setia menunggu di atas jembatan. Lalu Nurmala akan melambaikan tangan. Tertawa. Berteriak meminta supaya Abang Irham nanti malam datang ke surau. Menjadi imam salat. Lalu pulang bersama-sama. Nurmala menarik garis bibir sedikit. Memberi kesenangan pada angan-angannya barusan. Sebab, sore ini, tak ada Abang Irham, pujaan hatinya, melintas di Sungai Mempawah. Sungai masih saja seperti tadi. Sepi. Membuat siapa saja yang melihat jadi ikut terbawa suasana.
“Hari sedang tidak bagus, Nur. Tak ada orang yang berani turun ke laut.”
Itu kata Abang Irham. Beberapa hari yang lalu. Mewakili puluhan orang yang sehari-harinya menggantungkan hidup pada kebaikan alam. Pada keramahan cuaca. Maka beginilah jadinya. Saat hari sedang tidak bagus, laut sedang menunjukkan sisi jahatnya, orang-orang tak ada yang mendayung sampan, menyalakan mesin motor air, berangkat ke tengah laut. Tak ada. Termasuklah Bang Irham. Mereka akan diam di rumah. Membenahi sampan. Merawat kapal motor air. Menyulam jala. Membetulkan kail yang tali-talinya kerap kusut. Selebihnya… sepi.