Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #2

PERTEMUAN SEPI

Jauh sebelum kisah cinta Nurmala dan Irham terbaca dan mendapat restu oleh warga Kampung Secapah Pesisir, telah terkisahkan terlebih dahulu kisah cinta dua anak manusia yang tak kalah mengharu biru. Putri sulung seorang juragan kapal motor yang kaya raya, telah jatuh cinta dan sayangnya pada laki-laki yang tak punya pekerjaan tetap. Pada mulanya, satu orang pun warga Kampung Secapah Pesisir tak ada yang menduga jika pada akhirnya si laki-laki ini bakal berbuat nekat tersebab permintaannya yang sederhana ditolak mentah-mentah oleh juragan, ayah dari perempuan yang teramat sangat dikasihinya itu.

“Saya hendak meminta Marianti untuk saya nikahi, Tuan Haji. Segala apa yang akan kami pakai untuk melangsungkan hidup kelak, akan saya upayakan sekuat tenaga. Tak akan Marianti saya sia-siakan.”

Pada sebuah malam yang terang oleh cahaya rembulan, Ahmad, laki-laki yang tampak santun dan baik budinya itu, berkunjung ke rumah orang tua Marianti. Niatnya cuma satu; meminang perempuan terkasih yang juga sudah sama-sama berjanji sehidup semati. Apa pun yang terjadi kelak.

Tuan Haji Abrar, ayah Marianti, hanya duduk tegak dan menatap lekat-lekat paras laki-laki yang sudah berani datang berkunjung ke rumahnya dan berani meminta anak sulungnya untuk dia jadikan istri. Tak dijawabnya barang sepatah kata jua permintaan Ahmad. Justru, senyum tipis Tuan Haji Abrar yang malah terbit.

Ahmad harap-harap cemas. Segala keberanian yang masih tersisa di dalam benak dia kerahkan semuanya. Apa pun jawaban orang tua Marianti, akan Ahmad dengarkan dengan kepala tegak dan hati yang dikuat-kuatkan.

“Saya… saya kan mencari kerja, Tuan Haji. Saya akan ikut melaut. Jika tidak sedang melaut, saya akan membantu kawan saya berjualan di Pasar Sebukit Rama. Kawan saya menjual ayam potong. Agaknya Tuan Haji juga sudah tahu siapa yang saya maksud.”

Ahmad berkata lagi. Kali ini dengan maksud hendak diyakinkannya calon ayah mertuanya ini soal masa depan anaknya. Hanya saja, belum juga ada jawaban apa-apa dari mulut Tuan Haji Abrar. Ahmad tertunduk lemas.

Di sudut ruangan, Marianti harap-harap cemas. Tangannya saling meremas satu sama lain. Duduknya gelisah. Sebentar-sebentar kedengaran batuk kecilnya. Batuk kecil yang dia tujukan buat ayah agar ayahnya menyadari bahwa di hadapannya kini sedang ada manusia yang berkunjung dengan tujuan yang mulia.

“Tak kasihankah Ayah pada Abang Ahmad yang gelisah menunggu jawaban Ayah?” terlalu lama menunggu. Akhirnya Marianti bersuara juga.

Tuan Haji Abrar menoleh sekilas pada anak sulungnya yang seketika menundukkan kepala. Kemudian, ditatapnya lagi lekat-lekat paras laki-laki yang kini sedang gelisah duduk di hadapannya. Tuan Haji Abrar berdehem dua kali.

“Kau dengar sini baik-baik, Ahmad.”

“Saya, Tuan Haji.”

“Dulu, ketika aku meminta ibunya Marianti pada orang tuanya, aku sudah memantaskan diri. Aku sudah punya satu kapal motor untuk melaut dan lima sampan untuk aku sewakan. Dalam sebulan, uangku sudah cukup kiranya untuk menghidupi ibunya Marianti. Itulah sebab aku berani datang meminta anak orang untuk aku nikahi. Heh… Ahmad, lihat sini…”

“Saya, Tuan Haji.”

“Berapa kapal motormu sekarang?”

Ahmad menggeleng lemah.

“Sampan? Berapa buah kau punya sampan?”

Untuk kali kedua dalam rentang waktu yang belum terlalu lama, Ahmad menggeleng lagi.

“Sampan tak punya. Kapal motor tak ada. Macam mana kau akan pergi melaut? Heh… Ahmad, coba kau jawab pertanyaanku.”

“Saya, Tuan Haji.”

“Iya… jawab pertanyaanku.”

“Saya ikut melaut Pak Anwar Sodiq, Tuan Haji. Selama ini saya…”

“Anwar Sodiq?”

Lihat selengkapnya