Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #3

DI TEPI PELABUHAN INI

Siapa gerangan orangnya yang tinggal di Kampung Secapah Pesisir yang tak tahu tebiat Tuan Haji Abrar? Orang paling kaya itu sangat keras soal kriteria calon pendamping anak-anaknya yang kebetulan dua-duanya perempuan. Tuan Haji Abrar tak bakal berkenan menyerahkan masa depan anak perempuannya ke sembarang laki-laki. Mereka yang tak punya pekerjaan dan nekat datang ke rumah Tuan Haji Abrar dengan tujuan untuk meminang adalah kelompok orang yang cari penyakit, jika memang tak mau dikatakan bodoh. Mereka sudah tahu jawaban yang bakal mereka terima, tapi masih juga nekat dan coba-coba. Apa namanya jika bukan cari penyakit? Atau bodoh?

Jika biasanya Munawar senang menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di atas keramba milik ayahnya, maka untuk malam ini, Munawar duduk sendirian di sini, di tepi pelabuhan ini. Malam terasa sunyi. Beberapa kapal motor yang tidak dibawa masuk ke dalam kampung terlihat terombang-ambing dipermainkan gelombang laut yang sedang pasang. Kapal-kapal motor itu tertambat dengan rapi. Sesekali dinding-dindingnya saling beradu satu sama lain tersebab dihantam gelombang yang sedikit agak kuat.

Munawar telah menghabiskan berbatang-batang rokok. Dingin angin laut yang terus-menerus menerpa membuatnya sedikit menggigil. Kabar tentang temannya, Ahmad, yang meminang Marianti, sedikit banyak telah mengusik pikirannya. Tak banyak orang yang tahu bahwa Munawar juga sebenarnya menaruh hati pada Marianti. Munawar tak mengatakan ke orang-orang perihal perasaannya ini lantaran ada juga rasa tidak enaknya pada Ahmad yang sudah lebih dulu menjalin hubungan dengan perempuan yang siang dan malam selalu dipikirkannya itu.

Ahmad adalah laki-laki pekerja keras. Munawar juga tahu akan hal itu. Pun sejatinya Ahmad adalah teman berjualan yang cekatan dan jujur. Saat Munawar meninggalkan lapak dagangannya, Ahmad dengan sigap mengambil alih. Tak pernah sekalipun ada selisih antara ayam yang terjual dengan uang yang diterima. Selalu saja pas. Untuk alasan inilah Munawar begitu percaya dengan Ahmad. Saat Sulaiman memuji Ahmad di hadapan banyak orang kapan hari itu, Munawar mengangguk juga meski tak terang-terangan mengatakan setuju.

Perkara kedekatan Ahmad dengan Marianti, kadang kala membuat Munawar cemburu juga. Pernah suatu ketika Ahmad dibawakan sarapan nasi putih dengan lauk ikan asam pedas bikinan Marianti sendiri. Dengan sikap yang wajar dan tak dilebih-lebihkan, Marianti meletakkan bekal sarapan untuk Ahmad di meja dekat Munawar menyimpan uang hasil jualan.

“Aku titip ini ya, War. Sarapan untuk Abang Ahmad dan untuk kau juga. Kalian makanlah berdua.”

Munawar mengangguk lalu tersenyum, “Taruh saja di situ, Ti. Tidak apa-apa.”

Marianti tersenyum, “Kelihatannya Abang Ahmad sedang sibuk. Banyak pembeli. Kalau aku perhatikan, lapakmu selalu ramai, War.”

“Alhamdulillah, Ti. Cukuplah untuk modal melamar pujaan hati,” Munawar berseloroh, yang sayangnya tak tertangkap dan tak terbaca oleh Marianti. Tatap mata Marianti malah tertuju dan lekat ke arah Ahmad yang dengan cekatan memotong seekor ayam menjadi beberapa bagian-bagian kecil. Munawar merasakan cemburu yang begitu menyakitkan.

Di suatu malam, beberapa menit menjelang salat isya, terlihat Marianti bercakap-cakap dengan Ahmad. Marianti sungguh pandai menjaga jarak. Semua orang juga tahu Marianti begitu senang saat berdekatan dengan Ahmad, tapi Marianti selalu menempatkan dirinya di posisi yang tidak terlalu rapat saat sedang bercakap-cakap dengan Ahmad. Justru yang demikian kian membuat Munawar merasa panas.

Munawar mencolek pundak salah satu pemuda yang melintas di sebelahnya, “Ham… segerakan qomat saja, Ham.”

Irham tertegun, “Loh Bang, masih ada dua menit lagi untuk yang mau salat sunnah, Abang.”

Lihat selengkapnya