Ada sesuatu yang lain di sebuah pagi yang sejuk di beranda surau. Biasanya, orang-orang akan bergegas pulang usai salat subuh. Hanya para tetua saja yang tinggal untuk melanjutkan zikir. Dan Ahmad yang memang rajin membersihkan surau dan lingkungan di sekitarnya. Dan Irham yang sekali-sekali ikut membantu Ahmad bersih-bersih. Dan… untuk kali pertama, Munawar ada juga di situ. Duduk. Memeluk lutut. Diam di sudut beranda surau yang tak terlalu luas. Hanya menyaksikan saja Ahmad dan Irham mencabuti rumput-rumput kecil di halaman surau yang juga tak seberapa luas. Ahmad yang bercakap-cakap dengan Irham pun tak ada niat mereka untuk mengajak serta Munawar untuk ikut berbincang. Agaknya, Munawar sedang tertimpa masalah. Barangkali ini soal pasokan ayam potong yang memang beberapa hari terakhir sering tak mencukupi, sering datang terlambat, dan harganya melambung tinggi.
“Menjelang hari besar. Biasalah itu, Bang,” Irham menduga-duga dan segera disetujui oleh Ahmad dengan anggukan kepala. Sementara hari mulai terang.
Ahmad menoleh ke Munawar. Dipanggilnya sahabatnya itu. Diajaknya berbincang juga.
“Tak ke lapak kah kita hari ini, War?”
Munawar menggeleng lemah.
“Belum ada aku ke kandang sejak kemarin sore, Mad. Kawan-kawan yang jaga kandang juga belum ada kasih aku berita apakah ayam-ayam dari peternakan sudah dikirim atau belum. Kau saja lah Mad, yang ke kandang. Andai ayam-ayam itu sudah dikirim, boleh lah kita jualan hari ini.”
Ahmad mengangguk. Tak ditunda-tundanya lagi perintah Munawar. Untuk urusan kandang, ayam, lapak, dan jualan, Munawar adalah juragan bagi Ahmad. Jika tidak sedang turun melaut seperti sekarang ini, maka dari Munawarlah Ahmad dapat uang untuk ditabungnya. Ada juga sebagian untuk makan sehari-hari.
Ahmad menepuk lutut Irham, “Abang ke kandang dulu ya. Kau temanilah dulu Abang Munawar. Kau ajak dia bercakap-cakap. Agak berat kulihat masalahnya kali ini.”
Irham mengangguk, “Iya, Abang.”
Lantas, sepeninggal Ahmad, Irham bangkit dari jongkoknya. Ditepuk-tepuknya kedua tangan supaya gugur sisa-sisa tanah yang masih melekat. Irham masuk ke beranda surau. Duduk dia di dekat Munawar yang masih memeluk lutut. Diam. Tatapan matanya terlempar jauh ke depan.
“Tak biasanya Abang seperti ini. Tentu Abang sedang ada masalah berat. Ceritalah. Sekiranya Abang percaya sama aku.” Irham membuka percakapan. Satu dua burung gereja hinggap di ranting pohon kersen yang tumbuh subur di sudut kiri surau. Burung-burung itu lalu terbang lagi. Berputar-putar. Agaknya sedang berbahagia menyambut datangnya pagi.
Munawar meluruskan kakinya. Disandarkannya tubuh ke dinding. Laki-laki yang tak banyak bicara di pagi yang sejuk ini menguap panjang.
“Eh, Ham… macam mana kisah hubungan cintamu dengan Nurmala? Lancar kah?”
Irham terkekeh. Setiap hal yang ada kaitannya dengan Nurmala akan selalu membuatnya bahagia. Usianya baru tujuh belas tahun berjalan. Perkara asmara adalah perkara yang menyenangkan dan Nurmala adalah pusat semesta bagi segala kehidupan Irham saat ini.
“Ada lah, Bang. Tak lancar, tapi tak juga ada kendala yang berat. Kurasa, jika kuutarakan perasaanku ke Nurmala, diterimanya aku, Bang.” Irham terkekeh lagi. Yang demikian sungguh berhasil membuat Munawar tersenyum juga pada akhirnya. Senyum pertama Munawar di pagi ini.
“Masa begitu?”
“Iya lah, Bang. Kutengok dan kurasa-rasakan, Nurmala juga suka sama aku, Bang. Aih…” Irham menepuk pahanya sendiri lalu tertawa malu-malu.
Munawar ikut tertawa. Senang hatinya melihat Irham tersipu. Lalu, ditanyakannya perkara yang sangat berlainan dengan urusan Nurmala, tapi masih satu kisah cerita juga.