Selepas asar, Irham mengajak Nurmala duduk-duduk di tepi keramba milik Haji Sohir. Matahari sedikit meredup. Sore yang tak terlalu panas. Angin juga datang dengan semilir, banyak singgah di tepi-tepi sungai, memberi rasa segar bagi beberapa orang yang sejak tadi terlihat tekun menyulam jala. Ikan-ikan di keramba saling kejar. Berputar-putar. Timbul-tenggelam. Satu dua ekor ikan-ikan yang masih kecil mati mengambang.
Irham duduk bersebelahan dengan Nurmala. Tak terlalu rapat. Supaya tak mengundang curiga dan cibiran orang yang melihat. Kaki keduanya masuk ke dalam air. Di hadapan mereka, satu dua sampan melintas. Orang-orang pulang dari memancing udang. Mereka saling menyapa dan melepas seulas senyum. Sampan menjauh. Sampan lain datang melintas. Terjadi percakapan yang ala kadarnya. Lalu sepi. Agak lama.
“Abang tidak memancing hari ini?”
Irham menggeleng. Kakinya bermain-main di dalam air.
“Tadi pagi Abang habis bantu ayah panen buah kelapa. Banyak sekali kelapa yang sudah tua. Sayang kalau dibiarkan terlalu lama.”
Nurmala mengangguk. Ada juga dia tahu bahwa ayah Irham punya kebun kelapa. Tak luas. Tapi, kata Irham, kebun itulah yang membantu menghidupinya sekeluarga.
“Apakah selepas sekolah SMA nanti Nur akan ke Pontianak?” kali ini Irham yang melempar tanya. Irham melirik kaki Nurmala yang juga bermain-main di dalam air.
Nurmala mengangguk, “Iya, Abang. Ayah tentu akan memaksa Nur untuk melanjutkan sekolah sebab Abang Irham tahu sendiri Kak Marianti tak mau melanjutkan sekolahnya. Kak Marianti tak mau berpisah dengan Abang Ahmad.”
“Dia bilang begitu?”
Nurmala mengangguk.
“Apakah… apakah kelak Nur mau berpisah dengan Abang?”
Nurmala menghentikan gerak kakinya di dalam air, “Maksud Abang?”
“Eh… itu Nur… maksud Abang…”
Sebuah sampan mendekat. Nyaris tak disadari oleh Irham yang gugup. Sampan merapat ke tepi keramba. Seseorang naik lalu menambatkan sampan.
“Abang Zul?” Irham memekik, menyapa orang yang baru saja naik ke keramba.
“Ham…” orang yang dipanggil Abang Zul oleh Irham tadi mendekat, “Belum lama kalian kutinggalkan, sudah kelihatan besar saja.” Zul berseloroh pada Irham dan Nurmala.
“Kapan Abang datang?”
“Semalam, Ham. Kudengar kabar ayah sedang sakit. Makanya aku pulang. Barangkali lusa aku sudah harus kembali ke Plangor lagi. Kau tahu sendiri Ham, buruh tak boleh libur lama-lama. Tak gajian nanti,” Zul terkekeh.
“Abang ini pandai melucu,” sambar Nurmala, juga sambil tersenyum kecil.
“Eh… Nur, macam mana kabar kakakmu si Marianti itu? Masihkah dia pacaran dengan Ahmad?”
Nurmala mengangguk, “Masih, Abang. Ada apa rupanya? Apakah Abang Zul masih cinta dengan Kak Marianti?” Nurmala menggoda Zul. Zul segera mengibaskan tangan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Sudahlah, Nur. Masa lalu itu. Cerita zaman SMA. Lagi pula, Ahmad itu kawan baik Abang. Tak elok rasanya kalau Abang masih memelihara rasa cinta Abang ke kakakmu.”
Nurmala mengangguk sedikit, “Iya Abang. Abang memang laki-laki yang baik.”
“Sudah, Abang naik dulu.” Zul menoleh ke Irham, “Jangan lama-lama kau bawa keluar anak perempuan kesayangan Tuan Haji Abrar ini, Ham. Ingat… ayahnya garang.”