Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #6

KABAR BURUK

Belum juga genap satu bulan tersebarnya cerita pilu perkara Tuan Haji Abrar yang menolak mentah-mentah pinangan Ahmad pada Marianti, kini warga Kampung Secapah Pesisir telahpun dikejutkan lagi dengan berita yang kurang sedap untuk mereka. Utamanya untuk Ahmad, laki-laki yang baik dan rajin, yang dicintai oleh orang-orang Secapah Pesisir. Tuan Haji Abrar menerima pinangan Tuan Haji Mustafa, juragan kopra yang paling kaya di Kampung Kedaung Darat.

Anak semata wayang Tuan Haji Mustafa, Ridwan Azmi, baru saja tamat sekolah tingginya. Mulia sekali nama Ridwan Azmi di tempat dia tinggal tersebab amat sangat jarang ada orang di situ yang sanggup bersekolah sampai sekolah tinggi dan selesai pula. Ridwan Azmi adalah satu dari yang tak banyak itu.

Maka nyaris sempurna segala apa yang melekat pada diri Ridwan Azmi. Dialah pewaris tunggal usaha ayahnya kelak. Jika memang tak ingin dikerjakannya usaha pembuatan kopra itu, mudah saja baginya untuk mengupah orang sebab tak lama lagi Ridwan Azmi akan bekerja di kantor pemerintahan.

Perkara paras, tak usah ditanyakan lagi. Ridwan Azmi adalah pemuda yang rupawan. Bersih kulitnya meski rajin juga dia menolong ayahnya mengolah kelapa jadi kopra. Tak jadi apa-apa pun Ridwan Azmi nanti, selagi masih seperti ini parasnya, banyak orang mengira akan dengan mudahnya dia mencari pendamping hidup dan akan senang hati pula gadis-gadis belia itu dinikahi oleh Ridwan Azmi. Perempuan mana yang tak suka bersuamikan laki-laki yang tampan dan rupawan? Anak tunggal seorang juragan kopra pula.

Lantas, kabar akan masuk meminangnya Ridwan Azmi bersama sang ayah ke rumah Tuan Haji Abrar dalam waktu dekat, suka tak suka sudah membuat keadaan sedikit gaduh. Banyak orang yang menyebut betapa beruntungnya Marianti sebab dia dipinang oleh laki-laki yang begitu terang-benderang masa depannya. Namun, tak sedikit pula yang menyayangkan sikap dan tebiat Tuan Haji Abrar. Tindakan yang semacam ini sungguh tak sedikitpun memberikan kesempatan bagi Ahmad untuk menunjukkan keseriusannya untuk meminang Marianti kembali. Tuan Haji Abrar terlalu terburu-buru, kata orang-orang. Sementara mereka tahu betul apa yang dikerjakan oleh Ahmad seusai kisah penolakan yang begitu menyakitkan itu.

Ahmad sendiri bukan tak tahu akan berita yang mengejutkan ini. Gelisahnya tak main-main lagi. Apa saja yang sedang dikerjakannya selalu tak kena dan tak selesai. Pikirannya melayang dan hinggap pada paras Marianti seorang. Sudah dibayangkannya tak lama lagi Marianti, kekasihnya itu, akan dibawa ke Kampung Kedaung Darat, menjadi istri seorang yang terpandang di sana, kemudian kekasihnya itu beranak pinak, hidup berkecukupan, tak kurang kasih sayang dari suaminya pula. Aduh.

“Aku tahu perasaanmu, Mad. Tapi tak ada yang bisa kau upayakan lagi. Punya dua kapal motor pun kau sekarang, tak akan menang kau melawan Tuan Haji Mustafa.”

Munawar duduk menunggui Ahmad yang tak selesai-selesai mencabuti bulu ayam di kandang. Bukan cuma Ahmad yang akan sedih jika berita ini jadi kenyataan, tetapi juga dirinya. Cintanya pada Marianti belumlah surut meski selama ini ditahan-tahannya demi menjaga hubungan baik dengan Ahmad.

Ahmad diam. Dibenarkannya segala perkataan Munawar. Dua kapal motor sangat tidak sebanding dengan satu gelar yang didapat oleh Ridwan Azmi dari sekolah tinggi yang sudah ditamatkannya itu. Lebih-lebih, Ridwan Azmi akan bekerja di kantor pemerintahan, tempat orang-orang berseragam yang ketika lewat dan tak melakukan apa-apa pun orang sudah menunduk hormat dan merasa segan untuk sekedar menyapa saja. Makin remuk redamlah hati dan perasaan Ahmad sekarang ini.

“Apa yang akan kau buat selanjutnya, Mad?”

Ahmad menggeleng. Tangannya masih saja mencabuti bulu ayam. Pelan-pelan. Satu demi satu. Tak selincah biasanya. Tak secepat biasanya. Tidak pula Munawar marah atau menegur kerja Ahmad yang sungguh membuang-buang waktu ini. Sebab, hati dan perasaannya pun sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Ahmad.

“Tak tahu lah aku, War. Duniaku sudah selesai rasanya. Tak bisa kubayangkan andai benar sebentar lagi Marianti dikawini oleh anak juragan kopra itu.”

“Tak menolakkah Marianti, Mad?”

“Ah… macam tak tahu saja kau tebiat Tuan Haji Abrar.”

Munawar mengangguk-anggukkan kepala.

“Menolak pun, Marianti tetaplah Marianti. Tak ada yang bisa dibuatnya untuk melawan ayahnya itu. Terlebih ini urusan jodoh. Urusan masa depan.”

Munawar masih mengangguk-anggukkan kepala.

“Kalau boleh, hari ini aku minta izin tak menolongmu jualan dulu, War. Sedang tak enak perasaan dan pikiranku. Takut nantinya aku tak beres kerja. Rugi kau.”

Munawar tersenyum. Ditepuknya pundak Ahmad pelan.

Lihat selengkapnya