Munawar telahpun memainkan bidak caturnya dengan sangat baik. Ketika didapatinya Ahmad tengah bersedih kemudian laki-laki yang terluka hatinya itu meminta izin untuk tidak membantu berjualan, maka dengan serta-merta Munawar menutup pula lapak jualannya untuk beberapa hari. Orang-orang tak perlu lagi bertanya mengapa Munawar melakukan hal yang sedemikian itu. Jawabannya sudah sangat terang.
“Agaknya Munawar turut bersedih juga melihat keadaan karibnya si Ahmad itu.”
Orang-orang berbincang-bincang di lapak Sulaiman. Satu dua mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa diam saja. Tapi, hampir semua yang ada di situ membenarkan.
“Tak lain dan tak bukan.”
“Ah… baik betul hati si Munawar itu.”
“Baik. Sangat baik.”
Kecuali Irham, tak ada lagi yang tahu bahwasanya alasan Munawar menutup lapak adalah sebab hatinya pun ikut remuk juga demi mendengar rencana Tuan Haji Mustafa yang akan meminangkan Marianti untuk anaknya, si Ridwan Azmi. Munawar tak mengatakan kepada siapa-siapa lagi perkara ini. Irham tahu kalau Munawar sedang remuk hatinya. Bahkan, ketika Irham mengajaknya berbincang soal Marianti pun Munawar sudah mulai enggan menanggapi. Semacam ingin benar si Munawar itu melupakan Marianti dengan lekas.
“Belum terjadi, Abang. Janganlah Abang macam ini. Curiga nanti orang-orang. Nurmala juga.”
Begitu perkataan Irham pada suatu malam di pos ronda yang sepi. Tak ada siapa-siapa lagi di situ selain Irham dan Munawar.
“Kau sudah bilang pada Nurmala soal perasaanku pada Marianti?”
“Ah… tentu tidak lah, Bang. Mana berani aku. Ini kan rahasia kita berdua saja.”
Munawar menghembuskan napas panjang, “Baguslah kalau begitu.”
“Nurmala bertanya kepadaku, apa sebab lapak Abang tutup beberapa hari ini?”
“Terus, apa jawabmu?”