Sudah lama Marianti tak datang ke surau untuk salat berjamaah. Semenjak pinangan Ahmad ditolak oleh ayahnya, tentu saja. Marianti tak ingin terlihat bersedih di hadapan orang-orang. Sementara dirinya sungguh tak kuat untuk terus-terusan menyembunyikan kesedihan. Meski disadari oleh Marianti bahwa orang-orang itu seperti maklum akan keadaannya, tapi tetap saja Marianti lebih memilih untuk mengurung diri saja. Keluar rumah pun hanya sekali-sekali. Jika sudah tak tertahankan benar rasa rindunya pada Ahmad. Atau saat Marianti ingin membeli sesuatu. Atau ketika dirinya diberi tahu oleh Nurmala bahwa Ahmad mengajaknya berjumpa di tepi pelabuhan kecil. Begitu saja.
Sore ini, usai salat asar sendirian di rumah, Marianti ingin benar pergi ke luar rumah. Berjalan-jalan ke pelabuhan kecil. Membelanjakan uangnya untuk membeli beberapa ekor ikan segar lalu pulang dan memasak ikan asam pedas kesukaan Ahmad. Atau Marianti bisa bergeser sedikit ke selatan. Ada pantai kecil di situ. Pantai Tanjung Burung. Tempat orang-orang menghabiskan waktu sore mereka sembari menikmati suasana laut yang menyenangkan. Atau Marianti akan duduk-duduk saja di tepi pelabuhan kecil. Melihat deretan kapal motor yang tidak dibawa berangkat melaut oleh pemiliknya. Melihat orang-orang mengayuh sampan dengan ketenangan yang mengagumkan. Melihat anak-anak mengadu nasib dengan melempar mata kailnya jauh-jauh ke tengah laut, barangkali ada satu dua ekor ikan yang bernasib kurang mujur tersangkut pada mata kail mereka.
Marianti tersenyum di depan kaca. Didandaninya wajahnya sendiri dengan riasan yang alakadarnya. Dipakainya baju terusan yang sedikit panjang mendekati mata kaki dan berbahan sejuk. Meski matanya masih sembab, Marianti tetap terlihat cantik dengan rambut panjang yang diikat ke belakang.
Marianti keluar dari rumah. Dimintanya Nurmala yang baru pulang dari surau untuk menemaninya. Maka Nurmala akan dengan senang hati menemani kakaknya yang dalam beberapa hari terakhir ini hanya mengurung diri saja di dalam kamar.
“Kemana kita, Kak?”
“Terserahmu lah, Nur. Aku hanya ingin menghirup udara segar. Itu saja.”
“Ke warung Mak Agus kah kita? Sore-sore begini, makan bakwan dan ketela goreng di warung Mak Agus sungguh nikmat, Kak. Ada juga es kelapa muda di sana.”
Marianti tersenyum, “Bolehlah, Nur. Ayo. Lekas sedikit. Biar nanti kutraktir kau.”
Nurmala menggandeng lengan kakaknya. Dikembangkannya tawa lebar-lebar meski di dalam hati Nur tahu benar bahwa saat ini kakak terkasihnya ini hanya ingin menyenang-nyenangkan dirinya saja. Beban berat yang menggumpal di dalam dadanya sudah tak terkira lagi. Nurmala tahu benar akan hal itu.
“Apa kabar Abang Ahmad, Nur?”
Mulanya Nurmala enggan menjawab. Namun, Marianti terus saja menanyakan kabar laki-laki yang teramat sangat dirindukannya itu.
“Abang Ahmad sudah tak pernah terlihat lagi datang ke surau, Kak. Sejak tersiarnya berita Abang Ridwan Azmi hendak meminang Kak Mar, tepatnya.”
Marianti terdiam. Warung Mak Agus sudah tak jauh lagi.
“Ada yang tahu di mana sekarang Abang Ahmad berada?”
Nurmala menggeleng, “Tak jelas, Kak.”
“Tak jelas?”
“Tak jelas, Kak. Tak pernah lagi Nur lihat Abang Ahmad membantu berjualan Abang Munawar. Tak pernah lagi Abang Ahmad menjadi imam di surau. Bahkan, di rumahnya pun Abang Ahmad sulit untuk dijumpai. Abang Irham pernah mencari Abang Ahmad ke rumahnya. Namun, Abang Ahmad sering tak ada di rumah. Sudah beberapa kali.”
Marianti tertunduk. Sesekali dibalasnya orang-orang yang menyapa dengan memanggil namanya. Untuk saat ini, pikirannya tak jauh-jauh dari Ahmad. Hanya Ahmad yang ingin dia jumpai.
Tengah Marianti didera rindu dalam lamun yang panjang, pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang. Marianti terperanjat.
“Zul? Kapan kau datang, Zul?”
Zul tersenyum. Disapanya Marianti dan Nurmala.
“Barusan, Mar. Sekira satu jam yang lalu.”
“Rasanya belum lama Abang Zul pulang. Sekarang sudah pulang lagi. Ada urusan kah?”
Zul tersenyum ke arah Nurmala, “Iya, Nur. Ada sedikit urusan. Harusnya Abang ke Pontianak bersama kawan-kawan. Tapi Abang memilih tinggal saja di Mempawah. Sebab, Abang rasa kawan-kawan Abang sanggup menyelesaikan pekerjaan itu. Lumayan kan Nur, bisa pulang sebentar sambil menengok kakakmu yang cantik ini?” Zul menggoda Marianti.
Nurmala tertawa, “O… begitu.” Nurmala lalu melirik sesuatu yang ada dalam genggaman tangan Zul, “Itu apa, Abang?”
“Oh… ini?” Zul mengangkat sesuatu yang dia pegang, “Ini bumbu ikan bakar. Abang ingin benar makan ikan bakar di sore yang terang ini. Tentu nikmat sekali rasanya. Akan lebih nikmat lagi kalau kalian ikut serta. Ayo, ikut.” Zul menepuk pelan pundak Marianti, “Ayo ikut, Mar. sudah lama aku tak bercakap-cakap dengan kau. Tak rindukah kau bercakap-cakap dengan aku?” Zul tertawa. Marianti juga.
“Ah… kau ini, Zul. Tentu saja aku kangen. Baiklah. Aku dan Nurmala ikut. Sudah lama juga aku tidak makan ikan bakar.”
Lalu bertiga mereka berjalan menyusuri jalan kampung yang teduh oleh deretan pohon kelapa yang tumbuh di kiri dan kanan jalan. Mereka bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa dari Zul dan Nurmala. Sedang Marianti hanya tersenyum sedikit-sedikit saja.
“Kemana kita ini, Zul?” tanya Marianti pada Zul. Dia heran sedikit. Jalan ini bukanlah jalan menuju rumah Zul. Jalan ini menuju ke tepi sungai.
“Tak usah kau khawatir, Mar. Aku dan Nurmala pernah dan sering ke sini. Ke keramba milik Pak Anwar Sodiq. Ada lanting di situ. Dan yang paling penting, cuma di keramba milik Munawar saja yang ada tungku kecil untuk bakar ikan. Sukakah kau makan ikan bakar di tepi sungai, Mar?”
Marianti kemudian mengangguk juga. Ada sedikit rasa yang tidak nyaman di dalam hatinya saat ini. Dulu, sering benar Zul dan Ahmad mengajaknya makan ikan bakar di atas keramba milik Munawar. Tapi Marianti selalu saja menolak.
Perjalanan hampir sampai. Sungai sudah terlihat. Juga keramba. Juga lanting di atas keramba. Juga seseorang yang terlihat duduk berdiam diri sambil memandangi sungai di depan lanting.
Zul turun pelan-pelan. Diinjaknya dengan hati-hati lantai keramba. Nurmala juga. Marianti juga. Meski sepelan apa pun mereka bertiga menyentuh lantai keramba, bilah-bilah papan itu akan tetap bergoyang sebab bilah-bilah itu disusun di atas drum-drum plastik yang mengapung di sungai.
Seseoang yang duduk di tepi sungai terlihat terkejut lalu segera membalikkan badan.
“Zul? Kau…”
Munawar lekas berdiri. Munawar takjub bukan kepalang. Sahabat karibnya, Zul, sudah berdiri di sebelahnya.
Agaknya, keajaiban telah terjadi di keramba yang sepi, di sore yang sejuk ini. Zul tidak sendiri. Zul membawa serta beberapa orang lagi. Ada Nurmala yang tersenyum. Dan… ada Marianti yang terlihat sangat memaksakan diri untuk tersenyum.