Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #9

SEPUCUK SURAT

Nurmala masuk ke dalam rumah dengan sedikit mengendap-endap. Dipastikannya terlebih dahulu ayahnya sudah masuk ke dalam kamar, baru setelahnya Nurmala bersijingkat menuju kamar Marianti. Diketuknya pelan pintu kamar. Nurmala sangat yakin kakaknya belum tidur dan tidak akan tidur seawal ini.

Pintu kamar dibuka. Nurmala menempelkan telunjuk ke bibir, meminta supaya Marianti tak bersuara. Marianti mengangkat dagunya sedikit. Alisnya bertaut.

“Ada yang ingin bertemu dengan Kakak. Seseorang. Di tepi pelabuhan kecil. Sekarang.” Nurmala membisikkan kalimat-kalimat pendek itu persis di depan telinga Marianti. Sesekali kepalanya menoleh ke pintu kamar ayah.

Demi mendengar pesan rahasia ini, mata Marianti terbelalak. Dibekapnya erat-erat mulutnya sendiri. Untuk beberapa jenak, Marianti tak dapat berkata-kata.

“Lekaslah. Malam semakin larut.”

Marianti mengangguk. Pada mulanya, Marianti berniat hendak berganti pakaian. Namun, dengan sigap Nurmala mencegah dan segera menarik tangannya.

“Tak usah. Pakai baju itu saja. Tak mengapa.”

Marianti mengangguk lagi. Lalu, berdua mereka kini mengendap-endap. Melewati pintu kamar ayah dengan berusaha tak menimbulkan suara sedikitpun. Andai ayah mereka tahu, Nurmala sudah menyiapkan jawaban yang wajar dan sama sekali tidak mencurigakan.

“Kami ingin minum es kelapa muda dan makan ketela goreng di warung Mak Agus, Yah…”

Kurang lebih seperti itu jawaban yang sudah Nurmala siapkan di dalam kepalanya.

Pintu ditutup dengan perlahan. Setengah berlari, Nurmala dan Marianti menuju pelabuhan kecil. Jalanan kampung terasa gelap. Hanya satu dua rumah saja yang memasang lampu di depan rumah, di tepi jalan. Selebihnya hanya pekat yang terlihat.

Di depan sana, di warung Mak Agus, masih terlihat ada orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan, yang salah satunya adalah Mak Agus, sedang duduk-duduk di situ. Satu orang laki-laki berdiri. Menyerahkan beberapa lembar uang ke Mak Agus. Lalu terlihat bergegas keluar. Pas benar dengan Nurmala dan Marianti yang tiba di muka warung.

“Hei… mau kemana kalian malam-malam begini? Tegur laki-laki yang baru saja keluar dari dalam warung Mak Agus tadi. Laki-laki itu adalah Zul.

“Zul… bikin aku terkejut saja.”

Zul meremas-remas perutnya sendiri, “Mau ke mana, Mar?”

“Ke rumah Kak Halimah, Abang. Tapi biarlah Kak Mar sendiri yang ke sana. Tak terlalu jauh.” Nurmala yang memberi jawaban.

“Berani kau, Mar?”

Marianti tersenyum, “Aku lahir dan besar di kampung ini, Zul. Apa yang harus aku takutkan?”

Zul terkekeh, “Kau sendiri? Akan sangkut di mana kau, Nur?” kini tatapan mata Zul sudah pindah ke Nurmala.

“Di sini lah, Abang. Nur ingin makan ketela goreng dan minum es kelapa muda.”

Zul meremas-remas perutnya lagi.

“Abang mau ke mana?”

“Pulang, Nur. Tak enak sekali rasa perutku ini. Sudah di ujung tanduk saja rasanya.”

“Ah… sayang sekali…”

“Ada apa rupanya, Nur?”

“Tak ada lah yang membayar jajanku nanti,” Nurmala mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali, bermaksud menggoda Zul.

“Ah… kalau soal itu…” Zul segera merogoh saku celananya, “tak usah lah kau risau. Makanlah ketela goreng sepuasmu. Ini… ambil…” Zul mengangsurkan selembar uang kertas berwarna biru.

“Aih… jangan lah, Abang. Nur cuma bercanda saja. Nur ada bawa uang. Betul. Ini… ini lihat, kalau Abang Zul tidak percaya…” Nurmala mengeluarkan uang dari saku bajunya.

Zul terkekeh lagi, “Cuma dapat dua potong ketela goreng dan setengah gelas es kelapa muda saja itu uangmu. Ambil ini. Ah… malu-malu pula adek Abang ini…” Zul menjejalkan uang ke tangan Nurmala, “Sudah. Abang pulang dulu. Kau Mar, hati-hati ya.” Selesai berkata begitu, Zul melesat pergi. Setengah berlari. Menembus pekat gelap malam jalanan kampung.

Nurmala masuk ke warung Mak Agus. Dikatakannya kepada Marianti supaya berhati-hati. Marianti mengangguk.

“Tak mengapa. Barangkali rindu betul si Mar pada Halimah. Sudah lama tak kulihat Mar bercakap-cakap dengan Halimah. Biasanya, ada saja yang mereka jadikan bahan cerita jika sudah berjumpa di surau.” Mak Agus bercakap-cakap dengan Nurmala sepeninggal Marianti yang sudah hilang ditelan gelapnya malam.

Nurmala sendiri segera mengambil beberapa potong ketela goreng yang masih hangat dan beberapa potong bakwan juga. Tak ketinggalan, Nurmala menuang sambal cair ke dalam mangkuk kecil yang disediakan oleh Mak Agus di atas meja. Senang betul hati Nurmala malam ini. Meski perkara uang bukanlah sebuah masalah bagi Nurmala dan juga Marianti, mengingat ayah mereka adalah seorang juragan yang kaya, tapi, saat ditraktir macam ini tetap saja membuat hati bahagia.

“Zul memang baik, Nur. Dari dulu. Tak pernah berubah.”

Pak Hambali, yang duduk di pojok kiri warung, berkata pada Nurmala. Laki-laki paruh baya itu menghisap asap rokoknya dalam-dalam. Sekejap saja, asap putih dan tebal segera berhamburan.

“Iya, Uwak…” sahut Nurmala. Lazim halnya laki-laki yang sudah berusia lanjut dipanggil dengan sebutan ‘uwak’ di kampung ini, sebagai pengganti sebutan ‘kakek’.

Ucapan Pak Hambali dibenarkan oleh Pak Marji’un. Laki-laki paruh baya juga. Usianya tak jauh berbeda dengan usia Pak Hambali.

“Selama Zul pulang kampung dan ikut duduk-duduk di warung ini saat malam begini, apa yang kami makan dan apa yang kami minum, semua dibayar sama dia. Siapa pun yang kebetulan datang, boleh makan apa saja dan minum apa saja. Zul yang bayar.”

Pak Hambali menggumam, “Agaknya, besar betul gaji Zul di perkebunan sawit sana.”

“Ah, tentu saja besar. Kalau tidak, tak akan sebanyak itu uang Zul,” Mak Agus yang menyambar gumaman Pak Hambali. Pak Marji’un mengacungkan jempolnya.

Nurmala hanya diam saja. Dalam sekejap, tiga potong ketela goreng telah tandas disantapnya. Dua potong bakwan menunggu giliran. Nurmala mengakui, sambal racikan Mak Agus ini nikmat betul rasanya. Itulah sebab ketela goreng dan bakwan di warung Mak Agus ini begitu disukai oleh orang-orang kampung.

Sementara itu, lepas dari warung Mak Agus, Marianti berjalan dengan sangat tergesa. Sesekali malah terlihat Marianti berlari. Bukan, bukan karena takut akan gelapnya malam. Tapi, Marianti ingin benar segera berjumpa dengan seseorang yang dikatakan oleh adiknya tadi. Di tepi pelabuhan kecil? Ah… siapa lagi kalau bukan Abang Ahmad, batin Marianti. Ada secercah harapan dalam diri Marianti. Harapan untuk berjumpa lagi dengan Ahmad setelah sekian lama Ahmad hilang dari hidup orang-orang kampung. Marianti ingin menjelaskan perkara pertunangannya nanti, meski dirasanya Ahmad tak akan banyak berkata-kata. Marianti yakin betul bahwa Ahmad juga sudah tahu kapan hari pertunangan terkutuk itu akan dilangsungkan. Tak mengapa andai sebentar lagi Ahmad akan marah kepadanya, akan memaki-makinya, akan menuduhnya telah berkhianat pada sumpah dan janji yang sudah terucapkan di tepi pelabuhan kecil kapan hari itu, tak mengapa, Marianti akan sangat ikhlas menerima semuanya, batin Marianti lagi.

Mata Marianti yang sudah terbiasa melihat dalam gelap membuatnya tak sulit untuk menangkap sosok yang berdiri membelakanginya di situ, di tepi pelabuhan kecil, di tepi kapal-kapal motor yang berjajar yang sesekali saling beradu dinding saat gelombang yang sedikit besar datang menghantam. Marianti semakin bergegas. Ingin diteriakkannya nama Ahmad, tapi urung. Marianti memilih untuk mendekat saja terlebih dahulu. Barangkali, setelahnya Ahmad akan merentangkan kedua tangannya. Marianti akan langsung menghambur ke dalam pelukan Ahmad andai saja itu yang akan terjadi.

Dengan napas yang terengah-engah, Marianti sudah berdiri di belakang seorang laki-laki yang Marianti tahu betul itu bukan Ahmad kekasihnya, melainkan…

Laki-laki di hadapan Marianti membalikkan badan, “Iya, Mar. Ini aku.”

Marianti menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.

“Zul… ada apa dengan semua ini? Kau kah yang merencanakannya?”

Zul mengangguk. Untuk sementara, dibiarkannya saja Marianti mengatur napas sembari memulihkan lagi rasa terkejutnya yang masih begitu kentara. Dalam hening, Zul teringat kejadian tadi, seusai salat isya, di surau. Zul menghampiri Nurmala. Dimintainya tolong adik Marianti itu untuk memanggilkan Marianti, membawanya keluar rumah. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Marianti, kata Zul dengan setengah berbisik. Kepada Irham, Zul memintanya untuk pulang terlebih dahulu. Irham mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan oleh Zul.

“Abang Ahmad kah?”

“Ssssttt… aku tak bisa mengatakannya di sini, Nur. Terlalu berbahaya kalau sampai ada yang dengar.”

“Ooohhh…” Nurmala mengangguk.

“Sekarang, tugas Nur hanya menjemput Marianti. Bawa dia keluar dari rumah. Katakan pada Marianti, seseorang ingin bertemu dengannya. Malam ini juga.”

“Di tempat biasa Abang Ahmad berjumpa dengan Kak Marianti kah?”

“Astaga Nur… jangan kau sebut nama itu di sini. Bahaya.”

“Oh… maaf, Abang.”

“Memangnya di mana Ahmad dan Marianti biasa berjumpa?”

“Di tepi pelabuhan kecil, Abang.”

Zul mengangguk mantap, “Persis. Sampaikan begitu pada Marianti.”

“Baik, Abang.”

“Eeehhh… tunggu sebentar,” Zul menahan lengan Nurmala yang hendak pergi dari hadapan Zul, “Nanti kau tak usah ikut Marianti ke pelabuhan kecil. Kau tunggu saja di warung Mak Agus.”

“Iya, Abang. Nur memang tak pernah ikut kalau Kak Mar berjumpa diam-diam dengan Abang Ahmad. Kak Mar yang melarang.”

Zul tersenyum kecil, “Nah, bagus itu. Bocah kecil tidah boleh ikut campur urusan orang dewasa. Ngerti, Nur?”

“Enak saja. Nur sudah besar. Sebentar lagi Nur sekolah ke kota, Abang.” Nur pura-pura merajuk. Zul semakin lebar senyumnya.

“Sudah sana, jemput Marianti. Kalau ini berhasil, nanti aku kasih upah.”

“Betul?”

Lihat selengkapnya