Laut sudah kembali menerima orang-orang yang menggantungkan hidup pada hasil menangkap ikan. Gelombang pulih. Cuaca melunak. Badai reda. Orang-orang turun ke laut dengan perasaan yang penuh suka cita. Mereka ke laut membawa pengharapan. Membawa doa. Pun sekarang bertambah lagi membawa cerita.
Kisah kepergian Marianti dari rumah adalah cerita yang masih hangat untuk dijadikan bahan bercakap-cakap di mana saja. Semua orang melakukannya. Semua orang menggunjingkannya. Sebab, inilah untuk kali pertama sepanjang kisah, ada anak perempuan yang terluka hatinya dan memilih pergi dari rumah dikarenakan tak kuat melawan kehendak sang ayah.
“Kasihan betul aku pada Mar. Sampai hati Tuan Haji Abrar itu. Betapa terlalu.”
Kapal motor melaju. Membelah gelombang. Menuju tempat ikan-ikan ramai berkumpul. Seseorang mengemudikan kapal motor dengan tenang. Sesekali mulutnya masih menggumamkan nama Marianti. Seseorang lagi sibuk menyiapkan umpan lalu memasangnya pada mata kail yang berjumlah puluhan.
“Lebih kasihan lagi si Ahmad. Dia sudah kehilangan Mar dua kali. Saat Mar akan dipinang oleh Tuan Haji Mustafa dan saat Mar pergi dari rumah.”
“Betul. Ahmad sudah lebih dulu pergi. Kemana pula perginya pemuda yang baik hatinya itu?”
Yang diajak berbicara mengangkat bahu.
“Sama-sama terluka. Sama-sama pergi meninggalkan kampung. Betul-betul kisah yang buruk bagi hidup mereka dan bagi riwayat kampung kita.”
Yang diajak bicara mengangguk. Lima belas mata kail sudah dipasangi umpan. Siap dilempar.
Di pasar, suasana seperti biasa. Hiruk-pikuk. Penuh dengan suara-suara. Menawarkan dagangan. Memanggil pembeli. Ada juga yang meminta supaya harga sedikit dikurangi. Orang-orang berteriak. Menyebut benda-benda yang mereka jual. Pisau anti karat. Tutup panci. Penambal dandang. Buah nanas yang sudah dikupas. Bawang merah selundupan dari Malaysia. Mangkuk keramik. Ikan lele segar. Mainan anak-anak. Bubur pedas. Kue pukis yang masih mengepulkan uap. Koran hari ini.
Di lapak Sulaiman, orang-orang tidak berteriak. Mereka bercakap-cakap dengan wajar. Di sebelah lapak Sulaiman, lapak Munawar masih belum buka.
“Sejak Ahmad minta izin pada Munawar itu lah. Sejak pertama kali tersiar kabar Mar akan dipinang oleh Tuan Haji Mustafa dari Kampung Kedaung Darat. Sejak itu lapak Munawar tak buka.”
Sulaiman menjelaskan. Beberapa orang mengangguk-angguk.
“Malas aku beli ayam di lapaknya si Panjul itu. Mahal. Selisih tiga ribu dengan Munawar. Pun si Panjul itu tak mau ditawar.”
“Betul. Si Panjul itu tak mau rugi. Timbangannya harus pas di tengah-tengah. Tak mau dia melebihkan secuil daging ayam barang setengah ons saja.”
“Betul. Beda dengan Munawar. Sudah lebih timbangan, Munawar senang betul memberi kita bonus. Tiga atau empat potong kaki ayam. Lumayan untuk dibikin sup.”
“Nah… itu juga betul. Aku malah pernah diberi lima potong kepala ayam. Sisa, kata Munawar. Ditimbang pun tak sampai setengah kilo. Bukan main senangnya hatiku.”
“Ada apa gerangan dengan Munawar?”
“Ah… dia berkawan baik dengan Ahmad. Agaknya Munawar ikut sedih, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh sahabat karibnya itu.”
“Betul juga. Masuk akal.”
“Iya, kan? Makanya tak buka-buka lapaknya ini.”
“Kita yang rugi.”
“Iya betul. Kalau Munawar tak buka juga, mending aku beli ayam ke Pasar Kuala. Sama harganya dengan harga Munawar.”
“Tapi jauh.”
“Tak apa. Sekali-sekali saja.”
“Ah… Gara-gara Ahmad.”
“Eeeh… bukan. Gara-gara Marianti.”
“Eeeh, kudengar Marianti lari dari rumah. Betul begitu, Man?”
Sulaiman mengangkat bahu. Ditimbangnya ubi kayu pesanan Mak Agus tiga kilo. Lalu cabe tiga ons. Juga pesanan Mak Agus. Jeruk sambal setengah kilo. Pesanan Mak Idah. Semua dikemas dengan rapi oleh Sulaiman.
“Mana aku tahu.”
“Kau kan orang Secapah Pesisir, Man. Masa iya kau tak tahu?”