Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #11

LAKI-LAKI YANG MELAMUN

Tak ada satu orang pun di dunia ini yang sanggup menahan perjalanan waktu. Meski cuma satu detik saja. Tak ada. Meski kadang kala waktu berjalan terasa lambat, tetap saja ia tak bisa ditunda-tunda.

Irham hanya bisa duduk termenung di bawah sebatang pohon kelapa. Pagi masih begitu belia. Sinar matahari menyemburat. Beberapa lariknya jatuh tepat di muka Irham yang sedang tidak melakukan apa-apa.

Nurmala telah pergi. Melanjutkan sekolahnya ke kota. Cepat sekali rasanya. Irham merasa sedang ditipu oleh waktu. Rasanya baru kemarin dia dan Nurmala berjalan bersama, beriringan, pulang dari surau, atau sekedar menghabiskan sore di pelabuhan kecil, sebagai sepasang kekasih. Tertawa bersama. Berbagi cerita. Saling memberi janji untuk tetap bersetia sampai kapan pun. Sekarang Nurmala telah jauh dari jangkauannya. Tak tergapai. Tak terlihat. Seperti tiba-tiba saja lenyap. Hilang. Lalu sepi.

“Abang Irham baik-baiklah di sini. Nur pergi. Tak akan lama. Sekali waktu Nur akan pulang. Menjenguk ayah. Berjumpa dengan Abang Irham juga.”

Suatu malam, dua hari menjelang kepergian Nurmala, gadis itu memberi janji pada Irham. Janji yang membuat dada Irham merasa sedikit tenang.

Sudah dua pekan lamanya Irham tak memetik buah-buah kelapa yang telah mengering. Selama itu, yang dikerjakan Irham hanya mencari air nira saja. Kini, buah-buah kelapa di atas pohon sudah banyak yang siap untuk dipanen. Namun, tak ada semangatnya Irham untuk memanjat pohon-pohon kelapa pagi ini. Pikirannya masih saja tentang Nurmala. Irham benar-benar merasakan kehilangan yang sangat. Sudah tak ada lagi yang memintanya untuk datang ke surau. Sekedar salat berjamaah lalu pulangnya berjalan beriring. Atau untuk mengumandangkan azan. Atau untuk menjadi imam. Tak ada.

Irham berdiri. Berjalan menuju pohon yang paling ujung. Di sebelah utara. Irham mendongak. Melihat-lihat buah yang mana kiranya yang sudah siap diturunkan. Ada tiga tandan dengan buah yang cukup banyak. Irham tersenyum. Nurmala menyemangatinya. Terasa di dalam hati. Kelak, dengan hasil dari sepetak kebun kelapa inilah Irham akan menghidupi Nurmala, andai benar perempuan itu ditakdirkan menjadi istrinya. Membayangkan itu semua, Irham tersenyum lagi. Berkobar-kobar pula semangatnya untuk memanjat pohon kelapa.

Di atas keramba, Munawar menyenang-nyenangkan diri. Ditaburkannya segenggam makanan ikan ke dalam kotak keramba yang berisi ikan-ikan kecil. Ikan-ikan berkecipak. Berebut makanan. Suaranya riuh memecah sepi di sekitaran keramba.

Munawar lalu duduk. Di depan ikan-ikan yang masih timbul-tenggelam memburu sisa-sisa makanan yang mengapung. Di sebelah lanting. Membakar sebatang rokok. Menghembuskannya perlahan. Lalu berdiam diri. Termenung. Melamun. Memikirkan diri. Memikirkan Marianti.

Beginilah hidup. Memang sudah jadi tebiat orang-orang. Di mana juga tinggal. Orang-orang akan sibuk menggunjingkan sebuah peristiwa yang jarang terjadi. Peristiwa yang baru saja dijumpainya. Berhari-hari. Di mana saja. Kapan saja. Dengan siapa saja. Kemudian dengan segera melupakannya. Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Begitu cepat semua menguap. Tak lagi dibicarakan. Tak lagi menarik untuk dibahas.

Sudah delapan bulan lamanya Marianti pergi dari kampung. Orang-orang tak lagi membicarakan nasib perempuan yang malang itu. Kepergian Marianti yang lari dari rumah sebab tak ingin dikawinkan dengan anak juragan kopra dari Kampung Kedaung Darat pada akhirnya akan dipersamakan saja dengan kepergian Lisna, Laksmi, Siti, Nilam, atau Mak Ani, atau juga Mak Uli yang pergi meninggalkan kampung dengan tujuan bekerja ke Malaysia. Orang-orang sudah lupa dengan alasan mengapa sampai Marianti nekat pergi dari rumah. Orang-orang akan ingat dengan Marianti jika mereka tidak disengaja berpapasan dengan Tuan Haji Abrar yang sesekali masih turun ke pelabuhan kecil untuk mengecek kapal-kapal motor miliknya. Kemudian mereka menggunjing lagi. Membicarakan Marianti. Mengata-ngatai Tuan Haji Abrar. Sebentar saja. Tak semenarik dulu, ketika awal mula Marianti lari dari rumah.

“Kurus sekali sekarang, Tuan Haji Abrar.”

“Iya. Agaknya, menyesal kini dia. Itulah. Tak kukira si Mar seberani itu. Nekat betul. Perempuan pula.”

“Betul. Makin lama aku makin kasihan sama Tuan Haji. Sendirian sekarang dia. Istri sudah lama meninggal. Mar lari dari rumah. Nur sekolah ke Pontianak. Hari tua yang menyedihkan.”

“Ah… kalau aku tidak. Aku tidak kasihan sama Tuan Haji Abrar. Dia sendiri yang bikin hidupnya menderita seperti itu.”

“Dia orang kaya. Sampan dan kapal motornya banyak. Dia tidak menderita.”

“Dia menderita. Untuk apa kaya tapi tak punya siapa-siapa? Dia sendirian. Sudah tua. Sendirian di hari tua itu menderita.”

“Betul juga.”

Lalu gunjingan yang cuma sekilas-sekilas saja itu menguap. Tak lagi dilanjutkan. Orang-orang akan sibuk mengerjakan pekerjaannya lagi.

Di pagi yang lain, Irham terlihat tekun mencabuti anak-anak rumput yang tumbuh subur di halaman surau. Munawar rebah di beranda. Memejamkan mata. Tapi tidak tidur. Irham tak bercakap-cakap dengan Munawar. Keduanya larut dalam lamun masing-masing. Irham memikirkan Nurmala. Munawar mengenang Marianti.

“Abang…” Irham memanggil Munawar dari halaman. Munawar tak menyahut.

Lihat selengkapnya