Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #12

ROMANTISME SUNYI

Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar begitu nyaring. Bersahut-sahutan. Ada juga sekali-sekali terdengar suara burung-burung malam di kejauhan. Kesiur angin yang singgah di daun-daun sawit menciptakan bunyi desir kemerasak yang syahdu. Kemudian, sesekali pula terdengar lolong anjing. Mendayu-dayu. Di kejauhan. Entah di barak berapa.

Ahmad duduk. Menghadap ke pintu rumah yang sengaja dibuka. Melempar tatapan kosong ke luar. Berdiam diri di atas kursi. Memeluk lutut. Segelas kopi yang tinggal sedikit masih ada di atas meja. Pun demikian dengan sepiring ketela goreng. Tinggal beberapa potong saja. Di atas piring kecil. Bersebelahan dengan segelas kopi.

Di luar, gelap meraja. Tak ada siapa-siapa lagi yang berkeliaran pada jam segini. Entahlah. Mungkin jam sebelas atau jam dua belas. Sudah begitu larut. Namun, mata Ahmad belum hendak terpejam. Kantuk belum datang. Sudah dalam beberapa pekan Ahmad mengalami ini. Susah tidur. Jika tidur pun Ahmad akan terbangun dengan tiba-tiba. Lalu berkeringat. Lalu mata kembali terjaga. Sering kali hingga pagi tiba.

Ahmad bangkit dari duduknya, berdiri lalu berjalan pelan menuju pintu kamar yang hanya bertutupkan kain tirai lusuh. Di dalam kamar, Marianti sudah pulas. Mendengkur kecil. Tubuhnya berselimutkan kain tipis. Selimut pembagian dari perkebunan. Di sebelah Marianti, seorang bocah perempuan tertidur tak kalah pulas. Manis sekali. Usianya masuk enam tahun. Tiga bulan lagi. Ahmad tersenyum lalu kembali ke tempat semula dia duduk, kemudian tatapan matanya kembali terlempar ke luar. Ke gelapnya malam. Ke sepi suasana sekitar. Ke hamparan pohon kelapa sawit yang ribuan jumlahnya.

Jika sudah begini, Ahmad seperti sedang terkena sihir. Sekuat apa pun Ahmad menolak, pikirannya akan terbang ke masa-masa sekitar tujuh tahun yang lalu. Masa-masa di mana dia masih tinggal di Kampung Secapah Pesisir. Demi apa pun yang sedang melintas saat ini, Ahmad rindu dengan kampungnya itu. Ahmad rindu sungai. Ahmad rindu memancing udang galah. Ahmad rindu mendayung sampan. Ahmad rindu duduk-duduk di atas keramba, di depan lanting milik Munawar. Ahmad rindu berjualan ayam potong lagi. Ahmad rindu mengumandangkan azan di surau kecil yang letaknya tak jauh dari pondoknya. Ahmad rindu duduk-duduk di warung Mak Agus ketika malam sudah larut sambil makan beberapa potong ketela goreng dan menyeruput segelas kecil kopi panas.

Ada kalanya Ahmad ingin benar melupakan itu semua. Namun, Ahmad tak pernah punya daya upaya. Meski rindunya kerap terbang lalu hinggap ke sepenggal kisah yang mengharu biru itu, tak dapat dibohonginya hati bahwa ada juga rasa bencinya yang muncul saat dikenangnya lagi apa-apa saja yang ada di kampung. Benci itu akan berkumpul dan mengerucut pada satu nama saja; Tuan Haji Abrar!

Betul. Sampai detik ini, rasa benci Ahmad pada ayah dari istrinya itu masih membuncah, meluap-luap jika teringat, kemudian akan jadi dendam kesumat yang rasanya begitu ingin segera dia balaskan. Entah pembalasan dalam wujud apa, pembalasan dengan cara yang bagaimana. Entah.

Ahmad masih ingat saat pertama kali didengarnya kabar buruk tentang rencana Tuan Haji Mustafa yang hendak meminang Marianti untuk anak semata wayangnya, Ridwan Azmi. Kala itu, hati dan perasaan Ahmad sakit bukan main. Ahmad merasa sedang dipermainkan oleh Tuan Haji Abrar. Sudah dikatakannya pada ayah dari perempuan yang waktu itu adalah kekasihnya, belum dikawininya, bahwa dalam waktu dekat dia akan membeli sebuah kapal motor. Ahmad ingat betul ketika itu Tuan Haji Abrar memujinya sebagai laki-laki yang tekun dan pekerja keras.

“Tuan Haji…”

Tuan Haji Abrar menoleh sekilas. Sekilas saja. Hanya untuk memastikan siapa gerangan orang yang sudah menyapanya di sore yang terang ini. Tuan Haji Abrar tengah melihat-lihat orang-orang suruhannya yang sedang membersihkan kapal.

Ahmad tersenyum. Dikuat-kuatkannya hati.

“Mungkin bulan depan saya akan membeli sebuah kapal motor, Tuan Haji. Insyaallah uang saya sudah cukup. Saya akan melaut. Saya akan mengumpulkan uang lagi. Seperti kata Tuan Haji kemarin itu.”

“Oh… bagus… bagus kalau begitu.” Tuan Haji Abrar menepuk pundak Ahmad. Lalu katanya, “Eh… Ahmad…”

“Saya, Tuan Haji.”

“Kau adalah laki-laki yang gigih. Tekun. Pekerja keras. Aku suka dengan laki-laki sepertimu. Aku jadi ingat akan diriku sendiri ketika muda dulu. Ya… kurang lebih macam kau ini lah. Tak mudah patah semangat dan bekerja keras untuk mewujudkan apa yang kau inginkan. Aku menunggu kabar baik darimu, Bujang. Aku menunggu kau berdiri di atas kapal motor milikmu sendiri. Secepatnya.”

“Saya, Tuan Haji.”

Ahmad membungkuk takzim. Senang betul rasanya ketika itu dia dipuji seperti itu oleh orang yang sebelumnya telah mengata-ngatainya dengan kalimat-kalimat yang sangat membuat sakit hati. Ahmad seperti mendapat kekuatan baru. Kekuatan lebih. Ingin betul rasanya dia bekerja siang dan malam, agar lekas terbeli olehnya sebuah kapal motor. Tak perlu menunggu sampai sebulan lagi. Jika boleh, pekan depan saja. Bahkan, jika bisa, hari itu juga akan dibelinya sebuah kapal motor lalu akan ditunjukkannya kepada Tuan Haji Abrar.

Kemudian, yang terjadi sungguh di luar sangka. Di luar kira. Tersebar berita bahwa Marianti akan dipinang oleh anak dari juragan kopra. Dalam rentang waktu yang tak terlalu lama. Ahmad merasa sangat marah, sangat sakit di hatinya. Rasa benci di dalam dada pada Tuan Haji Abrar berkobar-kobar. Ahmad merasa dikhianati. Ahmad merasa dipermainkan oleh seseorang yang sedianya sangat dia hormati. Seseorang yang merupakan ayah dari perempuan yang sangat dia kasihi.

Setelahnya, tak ada lagi semangat Ahmad dalam bekerja. Kepala Ahmad terasa panas. Dadanya juga. Ahmad ingin berteriak marah di depan muka Tuan Haji Abrar. Tapi masih ditahan-tahannya. Rasa santun dan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua masih mampu mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang disebut orang sebagai perbuatan yang kurang ajar.

Namun, rasa benci di dalam dada Ahmad seperti sudah tak dapat disembunyikan lagi manakala didengar juga olehnya perkara Tuan Haji Abrar yang sudah menentukan hari dan tanggal pertunangan anak dari juragan kopra dengan Marianti, kekasih belahan jiwanya. Ahmad memilih pergi. Menghilang. Tak muncul-muncul lagi di kampung. Di surau. Di pasar. Di sungai.

Kepada Munawar, Ahmad minta izin untuk tidak membantu karibnya itu berjualan untuk sementara waktu. Dititipkannya juga kepada Munawar uang yang selama ini sudah dengan susah payah dia tabung. Uang yang sedianya untuk membeli kapal motor. Kemudian Ahmad menyepi. Menyembunyikan diri dari pemberitaan acara pertunangan Marianti yang kian hari kian dekat. Ahmad sudah tak peduli. Ahmad sudah tak mau tahu lagi.

Sampai pada suatu ketika, seorang karib yang lain tiba-tiba saja muncul di hadapan muka Ahmad. Tak dapat disembunyikan, Ahmad terkejut bukan kepalang ketika itu. Karibnya itu adalah Zul.

“Kau… bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini, Zul?”

Zul menerobos masuk ke dalam rumah pondok milik Ahmad. Tak peduli Ahmad masih setengah ternganga mulutnya.

“Kau terlalu banyak pikiran, Mad.”

“Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku, Zul. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada di sini?”

Zul tertawa kecil. Disulutnya sebatang rokok lalu duduk dia di sebuah kursi reyot yang ada di ruang tamu yang tak seberapa luas ini.

“Saat kita kanak dulu, aku pernah ikut almarhum kakekmu ke sini. Kau yang mengajakku. Ketika itu, di sini masih hutan. Banyak pohon durian. Kakekmu punya beberapa batang pohon durian yang ketika itu sedang berbuah. Banyak sekali. Sudah ada yang jatuh. Kita berdua memunguti buah durian yang bergelimpangan itu ke sini, ke dalam rumah ini. lalu dengan tangkasnya kakekmu mengupaskan beberapa buah durian untuk kita santap. Kita senang bukan main waktu itu, Mad. Kau lupa?”

Ahmad menepuk kepalanya sendiri. Dia betul-betul lupa dengan peristiwa yang terjadi di masa mereka masih kanak dulu. Memang, seingat Ahmad, tak ada kawan-kawannya, seorang pun, yang dia ajak pergi ke kebun durian milik kakeknya, di Kampung Antibar Dalam ini. Benar kata Zul. Ketika itu, Kampung Antibar Dalam masih hutan. Belum banyak pondok yang berdiri. Terlebih lagi rumah. Ketika Ahmad masuk sekolah menangah, Kampung Antibar Dalam mulai ditinggali secara permanen oleh orang-orang yang punya kebun dan ladang di sini. Itu pun masih yang bagian depan saja. Bagian tanah yang tak jauh jaraknya dari jalan raya. Sementara, kebun milik kakek Ahmad ada di bagian yang agak masuk ke dalam. Lumayan jauh dari jalan raya.

“Aku benar-benar lupa, Zul. Maafkan aku.” Ahmad duduk di hadapan Zul. Waktu itu malam hari. Rumah pondok Ahmad tak ada penerangan listrik. Hanya ada lampu pelita yang berpendar tak begitu terang di dinding ruang depan.

“Sudahlah, Mad. Tak perlu kau minta maaf. Kukira kau juga sudah tahu tujuanku datang ke sini untuk apa.”

Ahmad lekas menggeleng, “Demi Tuhan, aku tidak tahu maksud dan tujuanmu datang ke sini, Zul. Katakanlah. Barangkali kau sedang butuh bantuanku.”

Zul malah tergelak. Ahmad semakin bingung.

“Kau yang butuh bantuanku, Mad.”

“Ah… kau ini, Zul. Ada-ada saja. Bahkan uangku pun sudah aku titipkan ke Munawar. Saat ini, aku sedang tidak ingin apa-apa. Tidak butuh apa-apa. Aku ingin sendiri saja, Zul.”

“Uangmu yang ini?”

“Oh…” Ahmad terperanjat, “Bagaimana bisa uang itu ada denganmu, Zul?”

“Munawar yang titip. Mau kau ambil lagi?”

Ahmad menggeleng, “Munawar tahu aku di sini, Zul?”

Kali ini Zul yang menggeleng.

“Terima kasih. Terima kasih, Zul. Jangan kau beri tahu siapa pun akan keberadaanku. Aku tak ingin berjumpa dengan siapa-siapa. Aku ingin sendiri.”

“Tak ingin jumpa juga dengan Marianti?”

“Marianti?”

“Iya. Marianti. Apakah kau sudah tak ingin hidup bersamanya lagi?”

“Zul…”

“Untuk urusan ini aku datang menemuimu, Mad. Kukira kau akan butuh bantuanku.”

“Macam mana, Zul? Lekas kau kasih tahu aku!”

Zul membenarkan letak duduknya. Dipandangnya Ahmad lekat-lekat. Pendar cahaya pelita sesekali bergoyang sebab tersambar kesiur angin yang masuk.

“Berat, Mad. Berat. Setidaknya, kau harus punya rasa tega dan sedikit jahat. Apa kau bersedia?”

“Untuk Marianti, Zul. Apa pun itu.”

“Baiklah,” Zul membakar lagi sebatang rokok yang dia ambil dari saku baju, “Kita akan menculik Marianti.”

“Menculik Marianti?”

Zul mengangguk, “Membawanya lari dari sini. Membawa Marianti keluar dari Mempawah. Berdua dengan kau, Mad. Ke tempat yang jauh. Apa kau bersedia?”

Ahmad teringat dengan Tuan Haji Abrar. Barangkali, inilah cara yang dikirim oleh Tuhan untuk membalaskan rasa sakit hatinya yang dia pendam selama ini. Jangan kata sedikit lebih jahat. Jadi jahat seutuhnya pun Ahmad bersedia.

“Aku mau, Zul. Aku mau.”

“Bagus.”

“Caranya, Zul?”

“Begini,” Zul membuang abu rokoknya ke lantai tanah rumah pondok Ahmad, “Besok malam, kau tunggu saja di tepi jalan raya. Kau bawa pelita itu. Nyalakan. Kau tunggu. Seseorang akan menjemputmu dengan mobil. Pelita itu adalah tanda. Jika ada yang bertanya, katakan saja kau sedang menunggu seorang kawan yang akan memberimu tumpangan.”

Ahmad mengangguk-anggukkan kepala, “Apa ini tidak akan berbahaya, Zul? Aku takut orang-orang kampung akan curiga.”

“Kau bahkan sudah lebih dulu menghilang dari kampung, Mad. Siapa yang akan curiga? Justru, menurut perkiraanku, orang-orang kampung akan bersimpati kepadamu dan rasa simpati orang-orang kampung akan jatuh kepada Marianti, kelak, setelah dia lari dari rumah. Percaya sama aku, Mad. Tak akan ada yang curiga kepadamu. Orang-orang akan menaruh rasa benci pada Tuan Haji Abrar. Tentu saja sebab Tuan Haji Abrarlah Marianti pergi dari rumah. Kau paham dengan maksudku, Mad?”

Dengan segera Ahmad menganggukkan kepalanya untuk kesekian kalinya di malam yang pekat ini. Apa yang baru saja dijelaskan oleh Zul sungguh masuk benar dihitung-hitungan logikanya.

“Baik, Zul. Aku bersedia. Aku setuju.”

Zul mengangguk mantap, “Besok malam, sekitar jam satu dinihari, kau tunggu di pinggir jalan raya. Seperti kataku tadi. Sementara itu saja dulu yang harus kau lakukan.”

Baik, Zul.”

Lihat selengkapnya