Hari-hari berjalan seperti biasanya. Satu demi satu angka-angka di kalender berguguran. Lepas. Menjadi kenangan. Berganti cerita. Masuk hari baru. Orang-orang bersiap untuk mengukir kisah baru. Menuliskan ceritanya sendiri-sendiri. Sampai esok. Sampai yang hidup harus kembali. Pulang. Menghadap Sang Pencipta. Entah bila. Tak ada yang tahu.
Di tahun ketiga kepergian Marianti, Tuan Haji Abrar mulai terlihat goyah. Tubuh tegap dan rasa jumawanya tak kelihatan lagi. Kini, tubuh yang semula masih terlihat gagah itu berangsur-angsur mulai ringkih. Kesehatan Tuan Haji Abrar menurun. Sangat drastis. Sangat kentara.
Orang-orang mulai menaruh rasa iba. Orang-orang mulai menggunjing lagi. Menggunjing tentang kesehatan Tuan Haji Abrar. Kemudian akan disangkutpautkan dengan kepergian Marianti.
“Kurasa mulai rindu dia dengan si Mar.”
“Sudah sejak lama, kurasa. Cuma, baru terlihat sekarang akibat buruknya.”
“Ah kau ini.”
“Sudah tiga tahun Mar pergi. Tiga tahun berjalan. Sebentar lagi masuk tahun keempat. Sudah lama juga. Tak mungkin baru sekarang Tuan Haji Abrar baru merasakan rindu.”
“Betul juga. Pasti Tuan Haji Abrar kesepian.”
“Tentu saja. Nur juga jarang pulang.”
“Mana bisa Nur pulang terlalu sering. Dia sekolah. Pontianak itu jauh. Tak bisa dipaksa si Nur pulang sepekan sekali. Kasihan dia.”
“Aku tak menyuruh begitu.”
“Aku cuma kasih tahu saja. Tak usah kau marah.”
“Siapa yang marah? Untuk apa aku marah? Kita sedang membicarakan Tuan Haji Abrar. Tak ada hubungannya sama kita.”
“Betul juga.”
Mula-mula satu dua saja orang kampung yang datang menjenguk. Kini, orang-orang mulai rajin. Datang silih berganti. Agaknya khawatir juga mereka dengan kondisi kesehatan orang paling kaya di kampung mereka itu.
Tuan Haji Abrar sendiri sudah tak kuat lagi untuk berjalan jauh. Tubuhnya mulai terlihat bungkuk. Berjalan pun harus dibantu dengan tongkat. Kulit muka Tuan Haji Abrar terlihat semakin keriput. Kesan raut tua datang lebih cepat. Belum lagi ditambah dengan batuk Tuan Haji Abrar yang semakin sering. Semakin kencang. Napas Tuan Haji Abrar sering terlihat terengah-engah meskipun hanya duduk-duduk saja kerjanya. Kelopak matanya kerap terpejam walau sebenarnya Tuan Haji Abrar tidak sedang tertidur. Melihat itu semua, orang-orang semakin merasa iba.
Pak Marji’un adalah orang yang paling rajin mengunjungi Tuan Haji Abrar ke rumahnya. Diajaknya bercakap-cakap keluarga jauhnya itu. Meski tak selalu ditanggapi, tak selalu dijawab oleh Tuan Haji Abrar, Pak Marji’un tetap saja mengajaknya berbincang. Itu supaya Tuan Haji Abrar tak banyak diam sambil melamun.
“Sudah mandi, Ji?”
Tanya Pak Marji’un pada sebuah sore yang terang. Pelataran rumah Tuan Haji Abrar terasa teduh sebab lumayan juga banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di sekitar situ. Daun-daunnya menahan tikam sinar matahari sore yang menyengat.
Tuan Haji Abrar mengangguk. Pandangan matanya lurus ke depan. Pak Marji’un duduk di sebelah kanan Tuan Haji Abrar. Kali ini tak merokok dia.
“Nanti malam ikut saya, Ji. Kita makan ketela goreng di warung Mak Agus. Minum es kelapa muda juga. Mau, Ji?”
Agak lama Tuan Haji Abrar diam. Tak menanggapi.
“Mau, Ji?” Pak Marji’un bertanya sekali lagi.
Tuan Haji Abrar akhirnya mengangguk. Pak Marji’un tersenyum.
Lain waktu, Pak Hambali yang menemani Tuan Haji Abrar bercakap-cakap, saat Pak Hambali tidak turun melaut. Pun sering kali pada sore hari saja Pak Hambali dan orang-orang kampung bertandang ke rumah Tuan Haji Abrar. Sepulang dari melaut atau ketika memang tidak sedang melaut. Seperti yang dilakukan oleh Pak Hambali kali ini.
“Kulihat kapal motormu sering tertambat di tepi pelabuhan. Tak disewa orang kah kapal-kapal motor milikmu, Ji?”