Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #14

TENTANG SEBUAH JATUH CINTA

Meski sudah berselang sekira tujuh tahun lamanya, Marianti tetap saja masih mengingat peristiwa perjumpaannya dengan Zul, di malam yang gelap dan sunyi, di tepi sebuah pelabuhan kecil, ketika itu. Waktu itu terasa benar ketulusan hati Zul hendak membantunya bertemu dengan Ahmad, yang pada saat itu menghilang entah ke mana. Lenyap begitu saja. Tak tahu rimbanya.

Marianti duduk sendiri. Di bawah pohon rambutan yang rindang dan tengah berbunga. Di pelataran rumah kecilnya. Di dalam belantara perkebunan kelapa sawit. Di Barak Tiga Puluh Lima. Baru saja dibersihkannya pelataran yang tak terlalu luas ini dari sampah-sampah daun kering yang berguguran. Dibakarnya sampah dedaun kering itu di sudut kiri pelataran. Dekat dengan jalan yang biasa dilalui oleh para buruh perkebunan.

Aulia bermain-main sendiri. Menggali tanah dengan sendok yang sudah tak terpakai lagi. Mengumpulkan tanah hasil galiannya. Memasukkannya ke dalam wadah bekas kaleng susu kental manis. Memadatkannya. Kemudian mengeluarkannya lagi menjadi tanah padat berbentuk tabung seukuran kaleng susu. Aulia tertawa terbahak-bahak saat tiba-tiba saja tanah yang dia tuang tadi runtuh.

Melihat itu semua, Marianti ikut-ikutan tertawa. Kemudian dia terdiam. Seketika saja. Melamun lagi. Termenung dalam duduknya. Pikirannya terbang ke suatu masa. Terbang ke peristiwa yang menjadi awal mula kesepakatannya dengan Zul.

“Kau belum begitu yakin, Mar.”

“Tidak Zul… kau salah. Aku sudah sangat yakin. Biarlah kutinggalkan semua ini. Bukan lantaran aku tak cinta lagi dengan kampungku, tapi lebih dari itu, aku tak mau kawin dengan laki-laki yang tidak aku kenal. Tak mau!”

“Berarti kau siap?”

Marianti mengangguk mantap.

Zul berdiri. Diajaknya Marianti pulang.

“Zul… bagaimana dengan Ahmad?”

Zul mengangguk, “Aku sudah berjanji. Aku akan membantumu.”

Marianti masih begitu mengingat percakapan rahasia dengan Zul waktu itu. Ingat dengan begitu terang. Tak ada sepatah kata juga yang terlupa.

Lantas, usai berkata hendak membantu Marianti, Zul mengajak Marianti pulang. Dalam perjalanan yang sesekali mengendap-endap, Zul menceritakan siasatnya pada Marianti.

“Aku akan menculikmu, Mar!”

Marianti tersentak. Terkejut benar. Ditolehnya Zul yang masih berjalan sembari kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Takut benar dia perjalanannya dengan Marianti ini dilihat oleh orang kampung, terlebih sampai-sampai kalau percakapan kali ini ada juga yang mencuri dengar. Zul tak mau itu terjadi.

“Betul, Mar. Malam ini juga.”

“Malam ini juga?”

Zul mengangguk.

“Tengah malam nanti, kutunggu kau di belakang rumah Uwak Rahmadi. Kita akan ke jalan raya lewat jalan tembus saja. Upayakan pelarianmu ini jangan sampai diketahui oleh seorang pun. Tak usah berlari. Berjalan saja seperti biasa. Supaya nanti andai ada yang melihatmu, katakan saja kau hendak menghirup udara segar atau apa. Orang-orang tak akan begitu menaruh curiga. Mereka mengerti keadaanmu saat ini. Kau mengerti, Mar?”

Marianti mengangguk.

“Sekarang temui Nur di warung Mak Agus. Jangan bilang ke Nur kalau kau bertemu denganku. Jika ada yang bertanya, katakan saja kau baru pulang dari rumah Halimah. Setelah itu segera saja kau pulang ke rumah.”

Marianti mengangguk lagi.

Marianti masih mengenang peristiwa setelah itu. Ingat benar Marianti ketika itu degup jantungnya berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya. Marianti akan melarikan diri dari rumah. Sebuah perbuatan yang sama sekali tak pernah dia pikirkan sebelum ini. Sejujurnya, Marianti merasa sangat takut. Takut untuk melakukannya. Takut kalau-kalau ayah atau Nurmala memergoki upaya pelariannya. Tapi waktu itu Marianti betul-betul telah membulatkan tekad. Ini bukan tentang perbuatan jahat. Ini tentang pemberontakan seorang anak perempuan yang tak mau dijodohkan dengan seorang laki-laki asing, laki-laki yang tidak dia kenal. Ini tentang mempertahankan sebuah pilihan. Ini tentang sebuah jatuh cinta yang mesti dipertahankan. Mesti benar-benar diupayakan.

Sampai di rumah, Marianti segera masuk ke dalam kamar. Kepada Nurmala dikatakannya bahwa sesungguhnya dia tidak bisa tidur, namun akan diupayakannya untuk segera memejamkan mata.

“Tidurlah.”

“Kakak belum akan tidur?”

“Belum. Kantukku belum datang. Mungkin sebentar lagi.”

“Baiklah. Jangan tidur terlalu larut. Tak bagus untuk kesehatan Kak Mar.”

“Iya.”

Saat sudah berada di dalam kamar, hati Marianti tidak tenang. Marianti gelisah. Keputusannya yang sudah bulat tadi tiba-tiba saja menjadi goyah. Marianti takut akan terjadi apa-apa pada ayahnya kelak. Tapi, mengingat bahwa ayahnya sudah berbuat jahat kepadanya, tekad Marianti untuk lari bersama Zul kembali teguh. Demi apa pun juga, Marianti tak mau hidup bersama orang asing. Marianti tak mau menggadaikan masa depannya sendiri. Marianti hanya mau hidup bersama Ahmad seorang. Tak ada yang lain. Apa pun caranya.

Marianti mengambil secarik kertas. Lekas ditulisnya sebuah pesan singkat untuk ayahnya dan Nurmala. Dengan tangan gemetar dan hati yang dikuat-kuatkan Marianti menulis surat pendek yang dia tujukan terkhusus untuk ayahnya. Tanpa Marianti sadari, sudah tetes dua air bening dari pelupuk matanya. Lekas dihapusnya air mata itu. Marianti tak mau menangis. Marianti tak mau niatnya yang sudah sangat kuat untuk lari dari rumah ini menjadi goyah lagi.

Tengah malam. Pukul dua belas lebih sedikit. Marianti keluar dari rumah. Sungguh celaka. Saat pintu depan terbuka, Nurmala keluar juga dari dalam kamarnya. Marianti berusaha bersikap wajar. Berdiri dia di teras sembari merapatkan baju hangat yang dia kenakan. Nurmala bertanya hendak kemana. Marianti menjawab dengan suara perlahan, tak kemana-mana. Hanya di sini saja. Mencari udara segar dan menunggu kantuk datang. Nurmala masuk kembali ke dalam kamar tanpa ada rasa curiga. Diam-diam Marianti menghembuskan napas lega.

“Tak usah terlalu lama di luar, Kak Mar. Angin malam tak bagus untuk tubuh Kak Mar.”

Begitu kata Nurmala sebelum dia masuk kembali ke dalam kamarnya.

Sepeninggal Nurmala, Marianti mulai bergerak. Pelan-pelan. Dengan gerakan yang sangat wajar. Seperti orang yang sedang jalan-jalan biasa. Tak tergesa-gesa. Pandangannya lurus saja. Tak menoleh ke kiri atau ke kanan. Marianti menuju jembatan kecil di dekat rumah Uwak Hamdan, lalu belok kiri menuju rumah Uwak Rahmadi. Di belakang rumah Uwak Rahmadi memang ada jalan tembus menuju ke jalan raya. Jalan setapak. Bergelombang. Jalan ini sering digunakan orang untuk mengangkut buah kelapa dari kebun menuju tepi jalan raya. Jalan ini tak banyak dilalui orang. Hanya mereka yang punya kebun kelapa di sekitaran sini saja yang menggunakannya.

Marianti berjalan menyusuri jalan kecil yang dipenuhi rumput-rumput setinggi mata kaki. Mata Marianti mulai terbiasa dengan gelap malam, mulai awas, dan bergerak kesana-kemari mencari Zul. Di dekat pondok kecil, Marianti mendengar suara orang memanggil namanya dengan lirih.

“Mar…”

“Zul? Kaukah itu?”

“Sssttt… Tak usah banyak bicara. Ayo. Lekas kita ke jalan raya. Kawanku sudah menunggu di sana.”

Tangan Zul segera memegang pergelangan tangan Marianti. Kini, keduanya berjalan dengan tergesa-gesa. Saat dirasakan jalanan setapak itu mulai rata, tak ada lagi rumput-rumput kecil, Zul mengajak Marianti berlari. Meski tak terlalu kencang, berlari di tengah gelap malam bukanlah perkara yang gampang. Beberapa kali kaki Marianti terbentur pada ujung pelepah daun kelapa yang melintang. Malah beberapa kali pula kaki Zul tanpa sengaja menyepak buah kelapa kering yang tergeletak tepat di tengah jalan setapak.

Zul dan Marianti sampai di tepi jalan raya. Napas keduanya terlihat memburu. Terengah-engah. Zul berjalan. Masih digandengnya tangan Marianti. Mereka menuju sebuah mobil yang berhenti tak jauh dari mulut jalan setapak tempat mereka keluar tadi.

Seseorang keluar dari dalam mobil. Lekas dibukanya pintu tengah. Zul segera meminta Marianti untuk masuk dan duduk. Marianti masuk dan menggeser duduknya. Zul masuk dan duduk di sebelah Marianti. Seseorang yang membukakan pintu tadi pun segera masuk kembali. Duduk di belakang kemudi. Diam. Tak bersuara sama sekali.

“Mar, dengarkan aku,” Zul mengatur napasnya sebentar, “Ini Adrian. Panggil saja Ian. Ian kawanku bekerja di perkebunan kelapa sawit. Kelak Ian akan jadi kawanmu dan kawan Ahmad juga. Ian akan mengantarkanmu ke Barak Tiga Puluh Lima. Kukira tak akan ada orang yang sudi mencarimu sampai jauh ke dalam perkebunan kelapa sawit sana. Untuk sementara, kau akan aman.”

Marianti mengangguk cepat. Detak jantungnya masih memburu. Berdegup kencang.

“Ian, ingat, jemput Ahmad. Ahmad menunggu di Kampung Antibar Dalam. Ahmad akan berdiri di pinggir jalan tembus menuju Kampung Anjungan Tengah. Ahmad bawa pelita. Itu ciri-cirinya.”

Ian mengacungkan jempolnya.

“Mar, begitu kau sampai di Barak Tiga Puluh Lima, kau dan Ahmad tak usah melakukan apa-apa. Tunggu aku datang. Aku akan segera menyusul. Secepatnya.”

“Maksudmu? Kau tak ikut bersama kami malam ini?”

“Tentu tidak, Mar. Orang-orang kampung akan curiga kalau aku ikut menghilang bersamaan dengan kau lari dari rumah.”

“Oh… iya. Betul juga. Aku terlalu takut. Maaf.”

Lihat selengkapnya