Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #15

SEBUAH KEPUTUSAN

Irham duduk berdiam diri di ruang depan rumah Tuan Haji Abrar. Sementara itu, Munawar juga melakukan hal yang sama. Duduk-duduk saja. Yang berbeda adalah, Munawar duduk berdiam diri di teras rumah Tuan Haji Abrar. Hari belumlah malam benar. Isya baru saja lewat.

Irham teringat kejadian tadi pagi. Irham sudah naik ke atas sampan. Rencananya tadi pagi dia akan pergi memancing udang galah ke hilir Sungai Mempawah. Cuaca sedang bagus dan kondisi air sungai juga demikian. Sungai Mempawah sedang pasang tapi tidaklah tinggi-tinggi benar. Sangat pas untuk memancing udang galah. Tali sampan sudah Irham lepaskan dari tambatan saat dua orang kawannya di kampung datang tergopoh-gopoh mencarinya.

“Ham… di sini rupanya kau!”

Irham lekas menyahut, “Ada apa, Run? Sepertinya ada sesuatu yang gawat?”

“Tuan Haji Abrar, Ham. Sudah dibawa ke rumah sakit. Baru saja. Kau disuruh oleh Uwak Marji’un untuk menghubungi Nurmala. Lekaslah, Ham. Kami akan menyusul ke rumah sakit.”

Begitu Irham mengiyakan dan terlihat bergegas naik kembali ke darat, Baderun dan seorang lagi temannya lekas kembali. Irham juga tak membuang masa lagi. Dengan gerakan yang sigap dan terburu-buru, diikatnya lagi tali sampan ke tiang tambatan kemudian Irham juga segera berlari pulang. Dengan meminjam sepeda motor milik ayahnya, Irham segera menuju rumah sakit.

Munawar, Pak Hambali, dan beberapa warga kampung yang tadi ikut mengantar Tuan Haji Abrar ada di ruang tunggu Unit Gawat Darurat begitu Irham sampai di rumah sakit. Sementara Pak Marji’un tak kelihatan di situ.

“Bagaimana kondisi Tuan Haji Abrar, Abang?”

Irham bertanya pada Munawar. Wajah Munawar terlihat cemas.

“Sedang ditangani oleh dokter. Kita berdoa saja. Semoga Tuan Haji Abrar tidak kenapa-kenapa.”

Irham mengangguk lalu tak banyak bertanya lagi.

Malam ini, Irham dan Munawar mendapat perintah dari Pak Marji’un untuk menjaga rumah Tuan Haji Abrar saja. Urusan rumah sakit sementara akan ditangani oleh Pak Marji’un dan Pak Hambali. Irham setuju. Munawar juga.

Irham keluar dari ruang tamu menuju teras. Irham duduk di sebelah Munawar. Mula-mula tak ada percakapan apa-apa. Namun, agaknya tak enak juga rasanya suasana yang terlalu lama dikuasai oleh sepi seperti ini.

“Kenapa aku tak boleh menghubungi Nurmala, Abang?” Irham membuka percakapan.

Munawar menarik napas panjang dulu lalu menghembuskannya perlahan baru menjawab pertanyaan Irham, “Kata Uwak Marji’un, keadaan Tuan Haji Abrar tidaklah parah benar. Dokter bilang, Tuan Haji Abrar hanya keletihan saja. Itulah sebab ada baiknya Nurmala tak diberi tahu terlebih dahulu. Supaya jangan sampai kabar ini jadi beban pikiran Nurmala di sana.”

Irham mengangguk-angguk.

“Baiklah, Abang.”

Pada malam yang sama, tempat yang berbeda, terpisah jarak ratusan kilometer jauhnya, Zul bertandang ke rumah Ahmad. Lampu di ruang depan menyala dengan terang. Marianti datang sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi panas untuk Zul dan Ahmad dan segelas teh hangat untuk dirinya sendiri.

“Terima kasih, Mar.”

Marianti mengangguk. Lalu, Marianti duduk di sebelah Ahmad. Berhadap-hadapan dengan Zul.

“Ada bawa berita apa kau Zul? Wajahmu tak seceria biasanya.”

Zul melemparkan tatapan matanya ke luar. Malam begitu gelap. Pekat.

“Aulia sudah tidur?”

“Sepertinya sudah. Barusan dia masih menyanyi lagu Burung Kakak Tua. Sudah tak kedengaran lagi suaranya. Barangkali sudah terlelap.”

Zul diam lagi. Membiarkan Ahmad dan Marianti menunggu kabar yang akan dia sampaikan sebentar lagi. Namun, sejujurnya Zul tak tega untuk mengatakannya. Tapi ini harus. Harus Zul sampaikan. Bagaimanapun juga, Marianti harus tahu sebab kabar ini berkaitan dengan ayahnya.

“Ayahmu masuk rumah sakit, Mar.”

Lihat selengkapnya