Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #16

SEPEDA JENGKI

Pada hari pertama Ahmad menjadi suami bagi Marianti, Ahmad mengajak Marianti bercakap-cakap di rumahnya sendiri, tak lagi menumpang tidur di rumah Tarmin.

“Selamat pagi, Nyonya Ahmad,” Marianti tergelak mendengar suaminya itu berseloroh.

“Selamat pagi juga, Suamiku Terkasih,” sahut Marianti. Lalu keduanya tertawa bersama-sama.

Ahmad mengajak Marianti duduk di bawah pohon rambutan yang sedang tidak berbuah. Hari masih pagi. Embun menggantung di pucuk-pucuk daun. Semilir angin sesekali datang bertandang membawa hawa dingin yang segar. Lalu ada juga suara cericit burung yang membuka hari dengan riang.

“Senangkah Mar jadi istri Abang?” tanya Ahmad dengan lirih disertai dengan seulas senyum.

Marianti lekas mengangguk, “Senang sekali, Abang. Ini impian Mar. Sudah sejak lama. Pernah pada suatu malam Mar berikrar dalam diri Mar sendiri, kalau tidak dengan Abang Ahmad, Mar tak akan kawin sampai Mar mati.”

Ahmad mencolek hidung Marianti, “Masa iya?”

“Betul, Abang. Abang Ahmad tidak percaya?”

“Aih… tentu Abang percaya. Jika tidak, Mar tak akan ada di sini sekarang. Mar tak akan menikah dengan Abang semalam. Bukan begitu?”

Marianti mengangguk dan tersenyum. Satu dua dedaun kering gugur dan jatuh persis di depan Ahmad dan Marianti. Burung-burung tadi yang menjatuhkannya. Mereka hinggap di ranting-ranting kemudian berkelebat terbang lagi untuk hinggap lagi di ranting-ranting yang lain.

“Apa rencana Abang hari ini?”

Ahmad menarik napas panjang. Tatapannya terlempar lurus ke depan, ke pohon-pohon sawit yang berjajar dengan rapi.

“Abang akan ke Barak Tiga Puluh Empat. Menemui Zul. Zul bilang, di rumahnya ada bahan makanan yang bisa kita pakai untuk beberapa hari ke depan.”

“Abang tidak kerja?”

Ahmad menggeleng, “Belum. Pak Baskoro bilang, kita bulan madu saja dulu. Pak Baskoro kasih waktu tiga hari. Begitu katanya semalam saat Abang mengantarkan beliau menuju mobil.”

“Wah… baik sekali Pak Baskoro itu ya, Bang?”

“Betul, Mar. Kita di sini dikelilingi sama orang-orang baik. Zul baik. Tarmin apalagi. Pak Baskoro juga. Semoga suatu saat kita bisa membalas kebaikan yang sudah mereka beri untuk kita ya, Mar.”

“Iya, Abang.”

“Kalau Mar sendiri? Apa yang akan Mar lakukan hari ini?”

Ditanya oleh Ahmad seperti itu, seketika mata Marianti berbinar-binar.

“Mar akan mengemaskan rumah kita ini, Abang. Akan Mar tata kembali supaya semakin nyaman untuk kita tinggali. Kemarin ada Mar lihat peralatan berkebun di dapur. Mar ingin menanam bunga yang banyak di pelataran ini, Abang.”

Ahmad tertawa, “Iya. Nanti Abang carikan bibit bunga. Terus terus?”

“Hmmm… Mar mau tanam sayuran di belakang rumah.”

“Apakah itu artinya Abang juga harus mencari bibit sayuran?”

“Apakah Abang tega membiarkan Mar mencari bibit sayuran itu sendiri?”

Ahmad tergelak lagi, “Tentu tidak, Mar. Jangan marah begitu. Abang cuma bercanda saja.” Ahmad mengusap-usap pundak Marianti.

Marianti pura-pura cemberut.

“Lalu… Mar mau apa lagi?”

“Mar ingin pergi ke Barak Tiga Puluh, Abang. Mar ingin berbelanja. Tapi Abang belum punya uang.”

Ahmad menjentikkan jari, “Soal uang, Mar tak usah khawatir.”

“Maksud Abang?”

Lihat selengkapnya