Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #17

JEMBATAN KUALA

Nurmala berdiri di sini. Di atas Jembatan Kuala. Sendirian. Sengaja ditunggunya Abang Irham melintas. Biasanya, menjelang petang seperti ini, Abang Irham akan pulang dari memancing udang galah. Abang Irham akan melintas di bawah jembatan sambil mengayuh sampannya. Jika Abang Irham mendapati Nurmala berada di atas jembatan, Abang Irham akan mengangkat dayungnya tinggi-tinggi, menyapa Nurmala dengan sebuah teriakan, lalu akan diangkatnya tinggi-tinggi pula udang-udang hasil memancing hari ini. “Nanti akan Abang antar udang ini ke rumah Nur.” Lalu Nurmala akan tersenyum senang.

Dan… benar saja. Di bawah sana, di Sungai Mempawah yang keruh, sampan Abang Irham melintas. Dilihatnya pujaan hatinya itu segera mendongak ke atas, ke arah jembatan. Nurmala sudah siap dengan lambaian tangannya.

Abang Irham mengangkat dayungnya tinggi-tinggi lalu berteriak, “Nur… Abang dapat udang galah. Cukup banyak. Nanti Abang antar udang-udang ini ke rumah Nur. Tunggulah.”

Nur mengangguk. Senyumnya kembang.

“Nur pulanglah. Tunggu Abang di rumah.”

Sampan Abang Irham semakin menjauh. Teriakan laki-laki yang berbinar-binar matanya itu semakin nyaring saja. Nurmala melambaikan tangannya lagi. Lalu, bergegas Nurmala berlari. Pulang. Bersiap menunggu kedatangan sang pujaan hati. Membawa udang galah atau tidak, kedatangan Abang Irham akan selalu Nurmala tunggu-tunggu.

Jika kebetulan Abang Irham tak membawa hasil tangkapan yang banyak dan kekasihnya itu mengatakan tidak akan datang ke rumah jelang magrib, Nurmala akan berteriak dari atas jembatan, mengingatkan kekasihnya itu untuk datang ke surau. Entah pada saat salat magrib atau salat isya. Abang Irham kekasih Nurmala akan mengangguk dengan segera sembari melambaikan tangannya seiring sampan yang semakin menjauh.

Di rumah, Nurmala mendapati ayahnya duduk-duduk saja di atas kursi roda. Ditanyakannya apakah ayahnya itu minta diajak jalan-jalan atau tidak.

“Mumpung sore masih terang, Ayah.”

Tuan Haji Abrar menggeleng. Sama seperti tadi, selepas asar, sebelum pada akhirnya Nurmala minta izin untuk pergi sebentar.

“Ayah… bolehkah Nur pergi sebentar?”

Dengan gerakan bibir yang sudah terlihat begitu payah, Tuan Haji Abrar mengucapkan sepatah kata pada Nurmala. Tak begitu jelas kedengaran tapi Nurmala paham maksudnya apa. Tuan Haji Abrar bertanya Nurmala hendak kemana.

“Ke Jembatan Kuala, Ayah. Nur mau lihat Abang Irham pulang dari memancing. Boleh, Ayah?”

Tuan Haji Abrar mengangguk.

“Semoga Abang Irham dapat udang galah yang banyak. Nanti Nur buatkan udang goreng kesukaan Ayah.”

Tuan Haji Abrar mengangguk kembali. Membiarkan Nurmala bergegas pergi. Melesat menuju Jembatan Kuala. Setelah sebelumnya Tuan Haji Abrar menggeleng saat Nurmala bertanya sekali lagi apakah dirinya minta diajak jalan-jalan sore atau tidak.

Tak berselang lama, Irham datang tergopoh-gopoh. Setengah berlari. Di tangan kanannya ada sekantung penuh udang galah berukuran cukup besar.

“Selamat sore, Tuan Haji,” Irham membungkukkan badan sedikit. Tuan Haji Abrar membalas salam Irham dengan menaikkan sedikit alis matanya. Bibirnya tak bisa lagi tersenyum.

“Banyak dapat udang galah hari ini, Abang?”

Irham tersenyum kepada Nurmala, “Cukup banyak, Nur. Rejeki Nur dan Tuan Haji,” Irham menyerahkan sekantung udang galah pada Nurmala.

“Terima kasih, Abang.”

Irham mengangguk kemudian pamit.

“O iya, Bang. Nanti Nur tak pergi ke surau. Nur salat di rumah saja. Usai isya, Abang datanglah ke rumah. Kita makan bersama. Rasanya udang galah ini terlalu banyak untuk Nur dan ayah.

Irham melepaskan senyumnya, “Baik, Nur. Selepas isya Abang akan langsung ke sini.” Irham membungkuk ke Tuan Haji Abrar, “Saya pamit, Tuan Haji.”

Sama seperti tadi. Tuan Haji Abrar hanya mengangkat sedikit alis matanya.

Malam harinya, selepas isya, Irham menepati janjinya memenuhi undangan Nurmala untuk makan malam bersama. Dengan tak disangka-sangka oleh Irham, rupanya sudah ada juga Munawar, Pak Hambali, Pak Marji’un, Pak Anwar Sodiq, dan Haji Sohir di situ. Di ruang makan rumah Tuan Haji Abrar.

“Wah… sudah ramai rupanya. Saya ketinggalan.” Ucap Irham setelah sebelumnya mengucap salam kepada mereka yang sudah hadir terlebih dahulu. Irham duduk di sebelah Munawar. Ditepuknya kaki Munawar dengan perlahan, “Pantas saja tak kulihat Abang Munawar di surau. Sudah di sini rupanya.”

Munawar terkekeh, “Tadi, dekat magrib, aku disuruh sama ayah untuk mengantarkan ikan nila ke rumah Tuan Haji Abrar. Nur bilang, kau baru saja pulang. Ada juga Nur bilang kau bawa udang galah yang cukup banyak. Sebab lauk untuk makan malam sangat melimpah, Nur memintaku dan ayah makan bersama di sini. Nah, kebetulan juga di rumahku ada Uwak Hambali, Uwak Sohir, dan Uwak Marji’un. Kubawa sekalian mereka kemari.”

Irham mengangguk-angguk saja. Tak berselang lama, Nurmala keluar dari ruang dapur sambil membawa sepiring besar udang galah goreng dan ikan nila yang juga di goreng. Di meja makan sudah tersedia nasi dan sayur nangka. Ada sambal juga di situ, di sebelah mangkuk sayur nangka. Semuanya Nurmala yang memasak.

Lihat selengkapnya