Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #18

SEBUAH BERITA

Munawar duduk. Menyandarkan tubuh di dinding warung. Di hadapannya ada segelas kopi yang masih mengepulkan uap. Masih utuh dan masih panas. Warung Mak Agus agak ramai malam ini. Lebih ramai dari biasanya. Mereka, orang-orang yang datang ke warung Mak Agus itu, bercakap-cakap tentang sebuah berita yang belakangan memang sering muncul di televisi. Sebuah berita yang terlalu berat untuh dibicarakan oleh orang-orang kampung seperti mereka. Orang-orang kampung yang sehari-hari hanya bekerja mencari ikan. Orang-orang kampung yang akrab dengan sungai dan laut. Orang-orang kampung yang sekolahnya tidak tinggi. Bahkan, banyak juga orang-orang kampung yang tidak sekolah. Aneh dan lucu saja jika mereka bercakap-cakap tentang keadaan dunia seperti yang belakangan ini kerap diberitakan di televisi. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, lalu sampai ke pagi lagi. Begitu terus. Tak berhenti-berhenti.

Munawar tak peduli. Meski percakapan orang-orang itu masuk juga ke telinganya, tapi Munawar benar-benar tak ambil tahu. Yang ada di dalam pikiran Munawar hanya Marianti. Sejak dulu hingga saat ini. Tak ada yang lain.

Malam ini Munawar duduk. Memisahkan diri dari lingkaran orang-orang kampung yang bercakap-cakap tentang keadaan dunia yang mulai kacau-balau kata televisi. Munawar tak pernah salah menghitung hari. Terutama hari-hari setelah Marianti pergi dari kampung, lari dari rumah. Munawar tertegun. Sudah tujuh tahun lamanya perempuan yang teramat sangat dikasihinya itu tak ada kabar. Pergi ke mana. Pergi dengan siapa. Di mana sekarang Marianti berada. Apakah sudah menikah atau masih sendiri. Sudah punya anak kah dia. Tak ada yang tahu. Dalam masa pelariannya itu, tak satu kali juga Marianti berkirim kabar kepada ayahnya atau kepada Nurmala adik kandungnya. Sering kali Munawar bertanya pada Nurmala perihal kabar dari Marianti. Namun, Nurmala selalu menggeleng kemudian bersedih. Munawar jadi serba salah.

“Apakah ada kabar dari kakakmu, Nur?”

Tanya Munawar pada suatu ketika di pelataran surau menjelang dimulainya salat isya berjamaah. Anak-anak melantunkan puji-pujian seusai kumandang azan sembari menunggu masuk waktu qomat. Nurmala menggeleng. Munawar tetap bersedih juga meski sebenarnya dia juga sudah tahu jawaban apa yang akan dia terima dari Nurmala.

“Tak ada, Abang. Andai Kak Mar mau pulang sebentar saja, agaknya keadaan Ayah akan membaik. Ayah rindu sama Kak Mar.”

“Tuan Haji Abrar bilang begitu, Nur?”

Nurmala mengangguk, “Iya, Abang. Nur yang tanya, apakah ayah rindu sama Kak Mar. Ayah mengangguk dan bilang iya.”

Munawar tertegun mengenang percakapan dengan Nurmala itu. Dugaan Nurmala memang ada benarnya. Andai Marianti pulang dan berjumpa dengan Tuan Haji Abrar, agaknya akan berbeda keadaan Tuan Haji Abrar sekarang. Tapi, jalan hidup sudah berketetapan seperti itu. Tak ada yang bisa mengubahnya lagi. Semua sudah terjadi. Tak bisa diulang. Hanya bisa dibayang-bayangkan sambil diandai-andaikan saja.

Munawar baru akan menyeruput kopi di hadapannya saat didengarnya suara Mak Idah yang melengking memanggil namanya.

“War… sini lah. Macam orang dari kampung luar saja kau ini. Duduk sendirian. Sini lah, Jang. Ikut cerita-cerita. Penting ini…”

Munawar mengangkat gelas kopinya lalu menyeruput sedikit cairan hitam kental di dalam gelas. Kopi masih lumayan panas. Munawar meniupnya beberapa kali lalu meminumnya pelan-pelan.

“Dengar aku, Mak. Dari sini pun sama saja. Suara Mak Idah itu kencang sekali. Bahkan, kurasa ayahku yang ada di rumah pun bisa dengar suara Mak Idah kalau Mak Idah sedang bercerita macam ini.”

Orang-orang tertawa mendengar seloroh dari Munawar. Beberapa malah ikut membenarkan apa yang dikatakan oleh Munawar tadi. Jika sudah bercerita dan bahan cerita itu menyenangkan, Mak Idah akan bercerita dengan berapi-api dan suaranya sesekali akan menggelegar memecah sunyi malam di Kampung Secapah Pesisir.

Mak Idah melambai Munawar sekali lagi, “Sini dulu kau, Jang. Tak suka aku kalau panggilanku ini tak kau turuti.”

Munawar terkekeh dan akhirnya mengalah juga. Dibawanya gelas kopi ke dalam warung. Munawar duduk di sebelah Mak Idah. Di depannya ada Mak Agus yang punya warung. Di dekat jendela, Pak Hambali dan Pak Marji’un duduk sambil menghembuskan asap rokok pelan-pelan. Lalu ada Uwak Rahmadi dan Mak Pina yang entah kena angin apa malam ini ikut duduk-duduk juga di warung Mak Agus.

“Nah, begini kan bagus juga dilihat sama orang yang lewat. Terlihat akur. Betul tidak, Gus?” Mak Idah menepuk pundak Munawar sedikit agak keras. Munawar pura-pura tersungkur ke depan. Orang-orang tertawa terpingkal-pingkal.

“Betul, Idah. Bagus ini. Lebih bagus lagi, kau ambil bakwan dan ketela goreng yang masih hangat itu untuk kawanmu minum kopi. Ambil. Biar lekas habis jualanku malam ini.”

Uwak Rahmadi tertawa lagi. Terpingkal-pingkal sampai terbatuk kecil beberapa kali. Orang-orang ini pandai betul membuat lucu, batinnya senang.

“Eh War… aku mau tanya sama kau. Tapi kau jangan marah. Masalah pribadi ini.”

Munawar menoleh ke Pak Hambali.

“Apa itu, Wak? Tanya saja lah. Tak akan aku marah. Bukan tabiatku yang seperti itu.”

Pak Hambali berdehem dua kali, “Kapan kau mau kawin, Jang? Kau ini sama seperti Zul. Tak kawin-kawin juga. Tak adakah anak gadis di kampung kita ini yang menarik perhatianmu, Jang?”

Munawar terkekeh sebentar. Diseruputnya lagi kopi  di dalam gelas. Munawar bangkit dari duduknya. Diambilnya beberapa potong ketela dan bakwan. Diletakkannya ke dalam piring.

“”Belum ketemu jodohnya, Wak. Mau bagaimana?” Munawar mengunyah sepotong bakwan yang sudah dia benamkan ke air sambal terlebih dahulu.

“Tak suka kah kau dengan Sutinah anak Pak Handoyo, Jang?”

“Ah… Uwak ini ada-ada saja.”

“Ada-ada saja bagaimana?”

“Masih kecil itu, Wak. Baru juga lulus sekolah menangah atas.”

“Aih… tak masalah itu, Jang. Sutinah tak sekolah lagi. Kukira, sudah cocok dia jadi seorang istri. Mau apa lagi kalau tidak kawin? Disuruh pergi melaut pun tak mau dia.”

“Betul itu, Jang.” Mak Idah mengapi-api. Dicomotnya sepotong bakwan lalu lekas dikunyahnya, “Sutinah itu, Jang, kalau kau mau tahu, dia itu pintar mengayuh sampan dan pintar memancing udang galah.” Sambung Mak Idah.

“Iya, Dah. Betul katamu itu. Tak cuma udang galah saja, Dah. Sutinah itu pintar juga mancing ikan tapah. Dia tau di mana ikan tapah bersarang. Ah… tak taulah aku. Semacam berjodoh saja ikan-ikan tapah itu dengan Sutinah. Setiap dia memancing, pasti ada saja ikan tapah yang dibawanya naik ke darat.” Mak Agus menyiram bensin, mengobarkan lagi api yang tadi dinyalakan oleh Mak Idah.

Munawar hanya senyum-senyum saja. Beginilah nasib berkumpul dengan orang-orang tua, pikirnya. Andai malam ini Irham ada di sini, tentu akan lain jadinya. Jika ada Irham, sudah pasti Irham yang akan dipasang-pasangkan dengan Nurmala. Dipaksa-paksa untuk lekas kawin dengan bungsu Tuan Haji Abrar itu. Munawar membatin lagi.

“Sudahlah, Jang. Ambil saja. Keburu diambil orang nanti si Sutinah itu, Jang.”

Munawar menoleh ke Mak Pina yang sejak tadi hanya tertawa saja kerjaannya. Munawar menggeleng.

“Mengambil anak gadis orang itu tak sama dengan mengambil ketela goreng di warung Mak Agus, Mak Pina. Ketela goreng ini kalau tak habis kumakan, tak masalah. Aku bayar dan aku tinggal pergi. Tak ada yang marah. Mak Pina paham lah maksudku.”

Lihat selengkapnya