Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #19

SUNGAI MEMPAWAH

Hari-hari berjalan dengan sangat tidak wajar. Tidak seperti biasanya. Tak ada lagi rasa ceria yang terlihat dari orang-orang kampung yang saling berpapasan di jalan. Tak lagi sering terlihat orang-orang kampung berkumpul, entah itu di pos ronda atau di warung-warung semisal warung Mak Agus. Semua merasakan ketakutan yang sama. Takut akan terjangkit wabah mematikan yang sudah semakin luas persebarannya. Suasana kampung semakin mencekam. Orang-orang semakin bungkam. Tak lagi banyak bercerita. Tak lagi banyak bersenda.

Semua stasiun televisi di dalam negeri tak henti-henti menyiarkan berita wabah mematikan ini. Sejak wabah ini diberitakan sudah menyebar masuk ke dalam negeri, ribuan orang dikabarkan meninggal. Puluhan ribu lainnya dinyatakan terjangkit dan butuh penanganan secara khusus. Pemerintah mulai membatasi pergerakan masyarakat. Himbauan untuk memulai gaya hidup bersih semakin gencar disampaikan. Orang-orang harus rajin mencuci tangan. Mereka juga harus menjaga jarak dengan orang lain. Menutup saluran pernapaan dengan kain tebal jika sedang berada di luar rumah. Semua ini, selain membingungkan orang kampung, juga membuat takut.

“Setelah ini mungkin kita akan semakin sulit untuk berjumpa, Abang.”

Nurmala menyampaikan kegundahan dalam hatinya, di suatu sore, di tepi Sungai Mempawah. Nurmala dan Irham sedang duduk-duduk di geretak kecil, di belakang rumah Haji Aslan. Di hadapan Nurmala dan Irham, Sungai Mempawah mengalir dengan tenang. Tak peduli dengan apa yang sedang terjadi.

“Iya, Nur. Abang juga berpikir seperti itu.” Irham mendesah. Menghembuskan napas panjang dan berat. Irham bukannya tak tahu maksud dari ucapan Nurmala ini.

“Apakah…”

Nurmala menggantung kalimatnya sendiri. Di dalam hati, Nurmala merasa bingung juga takut. Bingung apakah pertanyaan ini layak disampaikan oleh seorang perempuan? Takut kalau-kalau selepas mendengar pertanyaan ini Irham akan semakin menjauh dan semakin sulit untuk dijumpai.

“Apakah apa, Nur?”

“Abang Irham tidak akan marah kalau Nur bertanya tentang ini?”

“Nur bahkan belum menanyakan apa-apa.”

“Berjanjilah, Abang.”

“Berjanji untuk apa?”

“Berjanji Abang tidak akan marah kalau Nur menanyakan hal ini.”

Irham mengangguk. Sedikit banyak, Irham sudah bisa menerka apa gerangan yang akan ditanyakan oleh Nurmala sebentar lagi.

“Iya, Nur. Abang janji. Abang tidak akan marah dengan pertanyaan yang akan Nur sampaikan.”

Nurmala melempar tatapannya ke arus sungai yang tenang. Ada batang pohon pisang yang sudah membusuk lewat di hadapan mereka. Hanyut terbawa air sungai. Bergerak perlahan. Lambat-laun semakin jauh dan hilang dari pandangan.

“Apakah Abang Irham sudah tak cinta lagi dengan Nur?”

Irham lekas menoleh ke arah perempuan yang sangat dikasihinya itu.

“Siapa yang bilang seperti itu, Nur?”

“Tak ada, Abang. Tak ada. Tapi Nur sungguh merasakannya.”

“Katakan pada Abang, Nur. Apa yang Nur rasakan?”

“Abang semakin jauh saja rasanya. Semakin sulit untuk Nur jumpai. Kalau kita berjumpa pun, Abang akan bersikap seperti ini. Abang sering melamun. Tak banyak bicara. Abang seperti sedang sendirian saja. Seolah-olah Nur tak ada di sini.”

Irham lekas menggeleng, “Tidak Nur, tidak seperti itu. Nur salah. Abang masih dan akan selalu cinta sama Nur. Tak ada perempuan lain di hati Abang selain Nur seorang. Bukankah sudah berulang kali Abang katakan ini kepada Nur?”

“Tapi Bang…”

“Nur… dengarkan Abang,” Irham menggeser duduknya lebih dekat ke arah Nurmala, “Abang sedang mengupayakan sesuatu yang layak untuk Abang jadikan pegangan saat Abang meminang Nur nanti. Abang tak ingin kelak nasib Abang sama dengan apa yang dialami oleh Abang Ahmad. Tak mau, Nur.”

“Ayah tak mengatakan apa-apa soal syarat meminang, Abang.”

“Tuan Haji Abrar memang tak mengatakan apa-apa, Nur. Tapi Tuan Haji Abrar bisa saja tiba-tiba mengumumkan kepada seluruh warga Kampung Secapah Pesisir bahwa Nur akan dipinang oleh anak juragan ini dari kampung ini, bahwa si ini yang calon suami Nurmala adalah seorang ini yang sudah punya ini dan itu.”

“Abang…”

“Nur lupa apa sebab Kak Marianti lari dari rumah?”

Nurmala menatap mata Irham lekat-lekat. Diam. Tak mengatakan apa-apa.

“Abang tak ingin hal itu terjadi lagi pada hubungan kita, Nur. Jika Tuan Haji Abrar sampai menjodohkan Nur dengan orang lain, orang yang bukan Abang, demi Tuhan Nur, Abang akan melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah lebih dulu dilakukan oleh Abang Ahmad. Abang akan pergi dari kampung dan tak akan pernah kembali lagi ke sini. Abang tak mau melihat Nur bersanding dengan laki-laki lain. Abang tak kuasa membayangkan Nur menghabiskan sisa usia dengan laki-laki yang bukan Abang.”

Nurmala masih juga seperti tadi. Diam dan sedikit menundukkan kepala.

“Tunggulah, Nur. Tunggulah. Sabarlah sedikit. Abang akan meminang Nur. Abang janji. Sungai Mempawah yang akan menjadi saksi ucapan Abang ini, Nur.”

Nurmala kini semakin menundukkan kepala. Di dalam hati, Nurmala juga mengucapkan janji yang sama. Tak akan diterimanya pinangan laki-laki selain yang datang dari Abang Irham, laki-laki yang paling dikasihinya ini, batin Nurmala mantap.

“Bersediakah Nur menunggu Abang?”

Nurmala mengangkat wajah lalu mengangguk, “Iya, Abang. Asal jangan terlalu lama.” Nurmala menyunggingkan senyum, mencoba menggoda Irham.

“Kenapa pula seperti itu?”

“Umur tak bisa ditunda-tunda, Abang. Waktu akan terus berjalan. Tak bisa kita tahan barang sedetik juga. Nur tak mau menikah dengan abang saat kita sudah tua. Nanti Nur tak cantik lagi.”

Irham mencubit dagu Nurmala dengan cubitan gemas. Nurmala lekas memalingkan wajah. Pipinya bersemu merah.

Di tepi Sungai Mempawah, tak begitu jauh dari geretak tempat Nurmala dan Irham menghabiskan sore yang terang, Munawar duduk di atas keramba. Di depan lanting. Sendirian. Memeluk lutut. Tatapan matanya tancap pada satu titik di tengah sungai. Pikiran Munawar sedang keruh. Sama keruhnya dengan warna air sungai di hadapannya ini.

Situasi semakin kacau. Wabah telah melumpuhkan banyak hal. Orang-orang sudah dihimbau untuk tak lagi membuat keramaian. Pasar-pasar ditutup. Sekolah diliburkan untuk jangka waktu yang entah. Orang-orang yang bekerja di kantor dipaksa bekerja dari rumah. Tempat-tempat ibadah sudah tak boleh lagi digunakan untuk menggelar kegiatan keagamaan. Orang-orang yang sedang berada di luar rumah dipaksa untuk menjaga jarak. Membungkus saluran pernapasan mereka dengan kain khusus yang tebal. Tak boleh bersentuhan. Betapa mengerikannya dunia hari ini, pikir Munawar.

Munawar masih memikirkan Marianti. Menduga-duga kabarnya. Menerka-nerka keberadaannya. Semakin kacau situasi, semakin bimbang juga hati Munawar. Wajah Marianti terus berkelebat dalam ingatan Munawar. Munawar tak tahu lagi mesti melakukan apa. Hanya kepada Irham saja Munawar berani bercerita perihal Marianti. Selebihnya Muawar hanya menjawab sekenanya saja jika ada yang bertanya tentang Marianti.

Beberapa malam yang lewat, Zul datang menjumpai Munawar. Zul datang dengan diam-diam, tanpa diketahui oleh siapa pun. Zul tahu ke mana harus mencari Munawar jika karibnya itu tak ada di rumah dan tak kelihatan juga di warung Mak Agus. Tentu saja Munawar akan berada di tepi Sungai Mempawah. Di atas keramba. Di depan lanting. Tak ada lagi. Pasti di situ.

Zul datang di malam yang belum terlalu larut. Zul mengendap-endap. Dihampirinya Munawar yang duduk sendirian dalam sunyi. Nyala api dari tempat membakar ikan menjadi satu-satunya penerangan di sekitar keramba.

Lihat selengkapnya