Malam Jatuh di Mempawah

Kakanda Redi
Chapter #20

ISAK TANGIS

Hari baru saja bermula ketika Mak Iting mendengar suara jerit tangis dari sebelah rumahnya. Mak Iting tahu itu suara Mak Idah. Yang Mak Iting belum tahu adalah, apa sebab sepagi ini Mak Idah sudah menjerit-jerit seperti itu? Mak Idah menangis. Melolong-lolong. Meraung. Suara raungannya memecah sepi suasana pagi yang masih begitu belia.

Mak Iting lekas melompat dari tempat dia duduk. Ditinggalkannya televisi yang masih menyala dan menyiarkan berita tentang semakin banyaknya orang-orang yang meninggal di luar sana yang disebabkan oleh virus mematikan. Dengan setengah berlari, Mak Iting menuju rumah Mak Idah. Mak Iting mendapati Mak Idah sudah tergeletak di lantai sembari meraung-raung. Suriana, anak Mak Idah semata wayang, tak melakukan apa-apa selain memeluk tubuh ibunya dan ikut menangis tersedu-sedu. Mata gadis berusia di ambang dua puluh tahun itu terlihat sembab. Telepon seluler tergeletak begitu saja di sebelahnya.

“Ada apa ini, Sur? Apa yang sudah terjadi? Kenapa dengan Hamidah?” Mak Iting memberondong Suriana dengan pertanyaan beruntun. Dihampirinya Mak Idah yang masih saja meraung-raung. Satu dua orang segera muncul dari ambang pintu yang terbuka lebar. Orang-orang itu sama seperti Mak Iting. Mereka juga terkejut sepagi ini mendengar suara Mak Idah yang meraung-raung.

“Bibi Ipah, Mak… Bibi Ipah meninggal…” Suriana menjawab dengan suara bergetar.

Mak Iting lekas menutup mulutnya. Dia seperti tidak percaya dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Suriana ini. Hanipah itu adik kandung Mak Idah yang tinggal di Kampung Senggiring. Belum lama ini Hanipah terlihat berkunjung ke rumah Mak Idah beserta anak dan suaminya. Itu sekira empat hari yang lalu. Sekarang, Suriana memberi kabar kalau Hanipah telah meninggal.

“Kena apa, Sur?”

Suriana menggeleng. Sebuah gelengan kepala yang sulit diterjemahkan oleh Mak Iting.

“Kata Paman Abid, Bibi Ipah terjangkit virus, Mak.”

Mak Iting tersentak sekali lagi. Tak mungkin. Tak mungkin Hanipah terjangkit virus, batin Mak Iting. Jika iya pun, tak mungkin Hanipah akan meninggal secepat ini. Mak Iting menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampirinya Mak Idah yang masih terisak sembari terbaring lemah di lantai. Disabar-sabarkan saja oleh Mak Iting tetangganya itu. Sebab, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menyabarkan diri.

Mak Iting dan semua orang Kampung Secapah Pesisir juga sudah tahu betapa merepotkannya virus ini. Orang-orang yang terjangkit akan segera diasingkan. Diisolasi kata orang-orang televisi. Mereka tak boleh dikunjungi oleh sanak dan kerabat. Hanya petugas medis saja yang boleh bersentuhan dengan orang-orang yang terjangkit ini. Jika mereka, orang-orang terjangkit ini, meninggal, sanak dan kerabat tak boleh mengurus jenazahnya. Jenazah orang-orang yang meninggal akibat terjangkit virus ini akan dimakamkan oleh orang-orang dari rumah sakit. Lebih menyedihkan lagi, sanak kerabat yang ada di rumah tak diperkenankan membuat acara membaca doa bersama untuk mendoakan sanak atau kerabat yang sudah meninggal tadi. Mereka tak diperbolehkan membuat kerumunan. Kejam. Sungguh kejam.

“Sabar lah kau, Dah. Takdir Ipah sudah macam itu.”

Mak Agus yang datang belakangan lekas menyabarkan Mak Idah. Meski bukan kerabatnya yang meninggal, ada juga rasa haru di hati Mak Agus dan orang-orang kampung.

Berhari-hari kemudian yang terjadi adalah, kabar meninggalnya Mak Ipah, adik kandung Mak Idah yang tinggal di Kampung Senggiring, segera saja jadi bahan perbincangan orang-orang kampung. Mereka berjumpa secara sembunyi-sembunyi. Di tempat yang tak terlihat oleh orang-orang rumah sakit atau orang-orang dari kantor pemerintah yang belakangan memang semakin sering berkeliling, melakukan patroli, membubarkan kerumunan orang-orang, dan meminta mereka untuk pulang. Orang-orang kampung juga pandai memilih waktu untuk berjumpa lalu bercakap-cakap. Biasanya mereka bertemu sore hari di kebun kelapa. Atau malam hari di atas sampan sambil memancing udang galah. Tak ada lagi yang duduk-duduk di warung Mak Agus. Nekat duduk-duduk di situ sama halnya dengan mengundang bahaya.

“Kudengar Kampung Senggiring memang sudah merah. Apa betul begitu?”

Seseorang membuka percakapan di sudut kebun kelapa yang buahnya tak lagi dipanen untuk dibikin kopra. Sebab, memang percuma saja. Diolah jadi kopra pun tak akan bisa dijual. Pasar-pasar ditutup oleh pemerintah. Tauke-tauke yang biasa menampung hasil kebun warga kampung seperti kopra, buah pinang kering, buah cengkih, sekarang sudah tak mau lagi ambil resiko. Warga kampung mengeluh. Roda perekonomian sedang berhenti. Tak bergerak. Kehidupan hampir mati.

“Tak tahu lah aku. Yang aku tahu, di Pontianak yang sudah merah.”

Mereka diam untuk waktu yang agak lama. Di pikiran mereka, andai benar Kampung Senggiring sudah merah, sudah sampai di tingkat keterjangkitan yang paling berbahaya, maka besar kemungkinan kampung mereka akan terdampak juga. Sebab, cukup banyak sanak atau kerabat orang-orang Kampung Secapah Pesisir yang tinggal di Kampung Senggiring dan mereka masih saling mengunjungi satu sama lain. Tentu saja hal ini dilakukan secara diam-diam.

“Mak Ipah sudah meninggal. Setelah ini siapa lagi?”

“Heh… jaga mulutmu!”

“Tak usah kau pura-pura kuat. Kau juga lihat sendiri, kan? Orang-orang di tivi memberitakan kalau orang yang sudah terjangkit tak akan lama bertahan hidup. Mereka akan segera meninggal.”

“Maksud kau tadi apa? Kau tanya, setelah ini siapa lagi. Itu apa maksudnya?”

“Apa kau tak takut kalau Mak Idah juga terjangkit? Sebelum meninggal, ada aku lihat Mak Ipah datang ke rumah Mak Idah. Tak mungkin mereka tak bersentuhan. Tak usahlah bersentuhan. Lewat batuk saja virus itu bisa pindah. Apa kau tak takut?”

“Tapi belum tentu juga Mak Ipah meninggal karena terjangkit virus.”

“Maksud kau?”

“Banyak juga aku dengar berita orang yang sakit biasa, tak ada kena-mengenanya dengan virus, begitu dia pergi ke rumah sakit, orang-orang di rumah sakit langsung menuduhnya terjangkit virus.”

Lihat selengkapnya