Sudah dua pekan Tuan Haji Abrar pergi meninggalkan dunia. Selama itu pula Nurmala tenggelam dan larut dalam rasa sedih yang tak terbilang. Tak berkesudahan. Sekuat apa pun Nurmala menghibur perasaannya sendiri, tetap saja segala kesedihan yang akan kembali datang berkuasa.
Sepeninggal ayahnya, Nurmala sering terlihat duduk-duduk di beranda setiap sore. Sendirian. Termenung. Diingat-ingatnya segala kenangan bersama ayah. Lalu Nurmala menangis. Malam turun. Nurmala masuk ke dalam lalu rebah di pembaringan. Wajah ayahnya melintas. Berganti-ganti dengan wajah kakaknya, Marianti, yang hingga saat ini tak ada kabar beritanya.
Jika kantuk tak juga datang, tengah malam Nurmala akan duduk-duduk lagi di beranda. Tak ada yang dibuatnya selain diam dan melamun mengenang sang ayah yang sudah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Biasanya Nurmala akan tahan duduk di luar hingga pukul tiga.
Sampai pada suatu ketika, pukul dua lewat empat puluh lima, Nurmala masuk. Dikuncinya pintu depan rapat-rapat. Nurmala sudah hendak menuju kamar ketika didengarnya suara mesin mobil menderu-deru masuk ke pelataran rumahnya. Nurmala urung masuk ke dalam kamar. Didatanginya lagi pintu depan. Berdiri Nurmala di situ. Perlahan, Nurmala menyingkap sedikit kain tirai yang menutup kaca jendela ruang depan. Benar. Ada mobil berhenti di depan rumahnya.
Nurmala yang penasaran tak beranjak dari tempatnya berdiri. Mula-mula dilihatnya seorang laki-laki turun dan bergegas menuju pintu tengah. Dibukakannya pintu untuk seseorang. Nurmala tertegun. Seorang anak perempuan turun dari mobil. Berdirinya agak limbung. Mungkin anak itu masih dalam keadaan mengantuk, pikir Nurmala. Tak berselang lama, seorang perempuan dewasa menyusul turun. Degup jantung Nurmala seketika memburu, berdetak begitu kencang. Nurmala lekas membuka pintu dan menghambur ke perempuan dewasa yang baru saja turun dari mobil.
“Kak Mar…”
Cuma dua kata itu yang sanggup diucapkan oleh Nurmala. Selebihnya, hanya suara tangis saja yang terdengar. Tangis Nurmala dan Tangis Marianti.
Laki-laki yang membukakan pintu untuk Marianti tadi sengaja menyingkir. Agaknya dia memang tak ingin mengganggu dua saudara kandung yang baru saja berjumpa setelah terpisah sekian tahun lamanya itu. Tas-tas milik Marianti sudah diturunkan dari mobil. Laki-laki itu segera mengangkut semua tas ke dalam rumah. Setelahnya, dia pamit untuk langsung pergi lagi. Marianti tak dapat mencegah. Setelah berbasabasi sebentar, Marianti melepas laki-laki itu pergi.
Di dalam rumah, Nurmala masih sesenggukan. Ingin benar diajaknya Marianti bercakap-cakap, namun suaranya tak bisa keluar. Nurmala masih memeluk Marianti erat-erat. Nurmala rindu. Nurmala tak mau kakaknya itu pergi lagi.
“Maafkan aku, Nur.” Lirih suara Marianti. Aulia duduk saja di sebelah ibunya. Diam. Bingung. Semua serba asing di matanya.
Nurmala masih memeluk Marianti. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Tangisnya masih kedengaran. Nurmala masih tak mampu untuk berbicara barang sepatah dua.
“Aku tahu ayah sakit. Tapi aku memilih untuk tidak pulang. Aku tahu ayah lumpuh, tapi aku tetap memilih untuk tidak pulang. Berkali-kali aku memimpikan ayah. Berkali-kali aku merasakan firasat buruk tentang ayah. Sampai pada akhirnya, kabar ini datang. Aku terlambat untuk pulang. Maafkan aku, Nur.”
Nurmala kian keras tangisnya. Tubuhnya bergetar. Tersengal-sengal. Suara tangis Nurmala begitu menyayat hati. Berat. Tersedu-sedu.
“Iya, Nur. Aku memang jahat. Tak usah kau bilang lagi. Aku juga menyadarinya.”
“Tidak, Kak. Tidak… jangan bilang begitu lagi.” Akhirnya Nurmala berbicara juga. Suaranya serak. Patah-patah. Lirih. Bercampur dengan isak tangis.
Marianti merangkul pundak anak perempuan di sebelahnya. Pundak Aulia. Anak semata wayangnya dengan Ahmad.
“Nur… kenalkan. Ini Aulia. Anakku. Keponakanmu. Satu-satunya.”
Nurmala menyeka air matanya. Ditatapnya anak perempuan di sebelah kakaknya itu. Meski masih ada sisa tangis, Nurmala memaksakan diri untuk tersenyum juga. Nurmala melambai anak perempuan itu. Memintanya untuk mendekat. Dengan lembut, Nurmala memeluk Aulia. Diciuminya beberapa kali anak kakaknya itu.
“Wajahnya mirip sekali dengan…”
Marianti mengambil napas panjang lalu dihembuskannya pelan-pelan. Dibiarkannya Nurmala menggantung kalimatnya sendiri. Orang-orang yang kenal dengan Ahmad pasti tahu bahwa wajah Aulia sangat mirip dengan wajah Ahmad. Marianti tahu kalau Nurmala juga menyadarinya.
“Benar, Nur. Ini anak Abang Ahmad.”
“Jadi… selama ini… Kak Mar…”
“Benar. Aku menikah dengan Abang Ahmad. Semua berkat pertolongan Zul.”
Nurmala mengusap-usap puncak kepala Aulia. Sesekali masih diciuminya juga rambut anak perempuan itu. Sejujurnya, sejak semula kepergian kakaknya dari kampung dulu, Nurmala memang sudah menduga kalau tindakan kakaknya ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Abang Zul dan Abang Ahmad. Namun, Nurmala tak berani bertanya apalagi menuduh.
“Lantas, bagaimana kabar Abang Ahmad dan Abang Zul? Mengapa mereka berdua tak ikut pulang bersama Kak Mar?”
Marianti menggeleng, “Besok akan aku ceritakan semua kepadamu. Sekarang, aku dan Aulia ingin tidur. Aku mengantuk sekali, Nur. Sepanjang perjalanan tadi, tak bisa kupejamkan mataku barang sebentar saja.”
Nurmala mengangguk, “Tidurlah, Kak. Bawa Aulia ke kamar Kak Mar. Tak usah khawatir. Setiap hari kamar Kak Mar selalu kubersihkan. Sebab, jika sudah tak tertahankan rinduku ke Kak Mar, sesekali juga aku tidur di situ.”
Marianti mengusap rambut Nurmala, “Terima kasih, Nur. Kau baik sekali.”
Di dalam kamarnya sendiri, Marianti rebah di pembaringan. Benar kata Nurmala tadi. Kamarnya sama sekali tak berubah. Masih sama seperti saat dia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Marianti merasakan haru yang teramat sangat. Tanpa terasa, air matanya menetes. Marianti menangis tanpa mengeluarkan suara.
Marianti menoleh ke sebelah kanan. Aulia sudah tertidur dengan pulas. Dengkur halusnya terdengar. Begitu lirih dan sungguh syahdu. Marianti mengusap pipi Aulia. Disengaja atau tidak, pikiran Marianti terbang ke beberapa hari yang lalu.