Kabar kepulangan Marianti disambut dengan sukacita sekaligus rasa sedih yang dalam oleh warga Kampung Secapah Pesisir. Orang-orang senang Marianti akhirnya kembali ke kampung. Di lain sisi, mereka juga sedih mendengar kabar buruk yang dibawa oleh Marianti. Tentu saja kabar tentang Zul dan Ahmad yang telah berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Dalam rentang masa kurang dari satu bulan, kabar buruk datang silih berganti. Seperti tak putus-putus. Kesedihan seperti sedang diulur-ulur. Tak habis-habis. Orang-orang hanya bisa pasrah dan menduga-duga, siapa gerangan setelah ini yang akan dipanggil oleh Sang Pencipta.
Munawar bertandang ke rumah Marianti pada suatu malam yang hening. Bersama Nurmala dan Aulia, Munawar duduk-duduk di ruang depan, berhadap-hadapan langsung dengan Marianti. Pada mulanya mereka hanya bercakap-cakap hal yang ringan saja. Kemudian, pembicaraan sampai kepada kisah kehilangan yang dialami oleh Marianti.
“Aku ikut sedih, Ti. Kau kehilangan suami. Aku kehilangan kawan yang begitu baik. Dua orang sekaligus.”
Marianti tertegun. Wajah Ahmad melintas lagi di ingatannya. Berganti-ganti dengan wajah Zul dan ayah. Kesedihan belum hilang benar dalam diri Marianti.
“Aku sama sekali tak punya firasat apa-apa malam itu, War. Seingatku, babi hutan yang datang hanya merusak kebun, memporakporandakan tanaman. Berkali-kali. Bahkan, kebunku yang sudah dipagari oleh Abang Ahmad saja masih bisa diobrak-abrik sama babi hutan. Tak pernah terpikirkan olehku kalau babi-babi itu senang juga menyerang manusia.”
Munawar menyabarkan hati Marianti, meminta perempuan itu untuk mengikhlaskan yang sudah pergi. Ahmad. Zul. Tuan Haji Abrar.
“Iya, War.” Sahut Marianti lirih, “Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini selain berusaha untuk ikhlas.” Marianti lalu memeluk pundak Aulia yang duduk di sebelahnya.
Malam turun. Semakin larut. Munawar minta diri pada Marianti dan Nurmala.
Kurang dari satu pekan lagi bulan suci ramadan akan tiba. Orang-orang resah. Tak cuma warga Kampung Secapah Pesisir saja. Orang-orang di berbagai negara juga merasakan hal yang sama. Punya keresahan yang sama. Untuk tahun ini, tempat-tempat ibadah ditutup oleh pemerintah dan orang-orang dihimbau untuk tidak menyelenggarakan kegiatan keagamaan di tempat ibadah. Tarawih akan dilaksanakan di rumah masing-masing. Tadarus akan dilantunkan sendiri-sendiri. Jika keadaan terus seperti ini, bukan tidak mungkin pemerintah juga akan melarang pelaksanaan ibadah salat ied berjamaah. Orang-orang tak boleh mudik. Yang di dalam kampung tak boleh keluar. Tak akan ada takbir keliling menyambut malam satu syawal. Tak akan ada kegiatan silaturahmi, saling mengunjungi di hari lebaran. Sudah dipastikan orang-orang akan takut untuk saling bersalam-salaman.
Dalam situasi yang serba menakutkan itu, Marianti sudah bersepakat dengan Pak Marji’un sebagai satu-satunya kerabat yang dituakan dan yang masih tersisa. Marianti akan menikahkan Nurmala dengan Irham. Secepatnya, kata Marianti. Sebelum masuk bulan suci ramadan.
“Tak perlu dibesar-besarkan, Uwak. Sepasang mempelai. Mas kawin. Penghulu. Saksi. Ijab qabul. Cukuplah. Yang penting sah secara agama dan tercatat oleh negara.”
Pak Marji’un mengangguk-angguk mendengar penuturan Marianti. Di dalam hatinya, Pak Marji’un sangat setuju. Andai tak terhalang oleh rasa jumawa dan ego Tuan Haji Abrar, barangkali Nurmala dan Irham sudah menikah. Barangkali juga, andai Tuan Haji Abrar tak bersikap mengikat dan keras pada Marianti, boleh jadi Marianti dan Ahmad tak perlu lari dari kampung dan menikah di tempat yang jauh. Kemungkinan lagi, saat ini bisa saja Ahmad masih hidup.
Pak Marji’un lekas menepis pikiran buruknya terhadap Tuan Haji Abrar. Bagaimanapun juga, takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Garis hidup sudah ditarik. Lurus atau belok, hanya Tuhan yang tahu semuanya. Manusia hanya bisa membuat rencana. Terjadi atau tidak, Tuhan juga yang punya ketetapan.
Maka di sebuah sore, selepas salat asar berjamaah di rumah Marianti, Pak Marji’un mempertemukan Nurmala dengan Irham. Uwak Ibrahim, penghulu kabupaten, dijemput untuk membimbing ijab qabul, menikahkan Nurmala dan Irham. Ayah dan ibu Irham ada juga datang. Lalu Munawar, Pak Anwar Sodiq, Mak Idah, Mak Agus, Haji Sohir, dan Pak Hambali pun terlihat hadir. Seperti yang diminta oleh Marianti. Acara ini tak perlu dibesar-besarkan.
Irham dan Nurmala telah resmi menjadi suami-istri. Wajah keduanya begitu terang. Terlihat sangat berbahagia. Irham tersenyum tak sudah-sudah. Pipi Nurmala bersemu merah. Di balik segala musibah, Tuhan memang selalu menyelipkan selembar hikmah.
Satu hari menjelang masuknya bulan suci ramadan, Munawar mengajak Marianti berjalan-jalan. Berdua mereka menuju keramba. Munawar cemas. Khawatir Marianti tak bersedia. Namun, ternyata Marianti tak menolak. Munawar dan Marianti duduk-duduk. Kaki keduanya tenggelam di dalam air sebatas betis. Sore masih begitu terang. Udara sejuk. Langit terlihat cukup cerah. Di atas sana, burung-burung terbang berputar-putar. Sementara itu, di bawah, di dalam petak-petak keramba, ikan-ikan berkecipak, memperebutkan sisa-sisa makanan yang tadi dilemparkan oleh Munawar.