Ketika mendengar kabar bahwa desa masa kecilku tak lama lagi akan sepenuhnya tiada, aku memutuskan untuk sekali lagi—barangkali untuk yang terakhir kali—pulang kepadanya. Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukannya. Mungkin sentimentalitas belaka atau sekadar nostalgia. Namun, saat melewati jalan yang sisi-sisinya ditanami pepohonan apel itu, kenangan-kenangan yang lama hilang satu per satu bermunculan. Aku pun mengambil buku sketsa di dalam ransel dan menggurat dengan pensil gambar-gambar acak dan sederhana, sekenanya saja merekam yang tampak.
Pemandangan berkelebat dari atas roda, bergulir perlahan seperti film yang sunyi. Aku berharap tukang becak menghentikan kayuhannya sejenak, tapi memutuskan untuk tidak memintanya. Tanah tak rata membuat genggaman tanganku goyah dan akibatnya, pensilku kerap memelesetkan garis yang seharusnya lurus. Aku pun menyimpan kembali buku dan pensilku untuk sepenuhnya menikmati pemandangan yang terhampar di hadapanku.
Di setiap tiang listrik, selain iklan yang hampir-hampir tak terbaca dan spanduk-spanduk pemilu beserta jargon-jargon politiknya, ada pula stiker angka yang menandai jumlah tiang yang kami lewati. Aku baru saja melihat tiang yang ke-65 dan sebentar lagi akan melewati yang selanjutnya—66. Tapi tidak ada satu pun lampu jalan yang tampak, yang membuat tempat ini pasti gelap saat malam menjelang—apalagi pada musim hujan seperti sekarang. Mungkin hanya diterangi kunang-kunang di balik rerimbun semak, atau rembulan yang mengulas malam menjadi sewarna pualam. Mungkin juga tidak.
Buah-buah apel yang bergelantungan di dahan berwarna hijau, tak ada yang merah, jenisnya berbeda, dan itu membuatku sedikit kecewa. Aku berencana mengubah warnanya menjadi merah saat menggambarnya kelak.
Tiang listrik ke-68 terlewati sudah. Sebentar lagi, setidaknya begitulah yang tukang becak katakan, sekitar lima tiang lagi, aku akan tiba di penginapan kecil dua lantai, yang dibangun di sebelah perkebunan apel itu. Ketika menemukannya di Internet, aku terkejut desaku ternyata sudah memiliki hotel.
Aku meminta tukang becak berhenti di pertengahan jalan, dan membayarnya dengan harga yang sudah disepakati, lalu menempuh sisa jarak dengan berjalan kaki. Aku melepas sendal dan merasakan denyut jantung Bumi nan lembut—kebiasaan yang kerap membuat teman-teman memandang aneh kepadaku.