Malam Kunang-Kunang di Desa Masa Kecilku

Rafael Yanuar
Chapter #1

Pulang—Setelah Sekian Lama

Ketika melewati perkebunan apel di desa masa kecilku, kenangan-kenangan yang lama hilang satu per satu datang kembali. Aku mencoba mengabadikannya dalam gambar-gambar sederhana, sekenanya saja merekam yang tampak. Tapi tanah tak rata menggoyahkan tanganku—memelesetkan garis yang seharusnya lurus, memanjangkan yang semestinya pendek, titik pun jadi en atau em dash. Sukar sekali. "Perlu berhenti, Den?" Tukang becak yang becaknya aku tumpangi, bertanya. Dia mirip Abah di sinetron Keluarga Cemara. Tampak bersahaja, tetapi bijak dan kebapakan. Karena aku minta tendanya dibuka saja, sejak tadi si Abah dapat melihat upaya sia-siaku menarikan pensil. Mungkin tertawa juga dalam hatinya—atau prihatin, justru? Aku menjawab tak apa, lalu menyimpan peralatan gambarku untuk sepenuhnya lebur dalam panorama. Di setiap tiang listrik, selain iklan yang hampir tidak terbaca, ada pula stiker angka yang menandai jumlah tiang yang kami lewati. Kami baru saja melihat tiang ke-65 dan sebentar lagi melewati yang selanjutnya—66. Tidak ada satu pun lampu jalan, hanya tiang-tiang suluh—tongkat kayu yang dipasangi petromaks—yang ada. Saat malam menjelang, selain kaos lampu yang redup melambai, barangkali hanya kunang-kunang, yang menyembul dari balik rerimbun semak, atau rembulan yang mengulas malam menjadi sewarna pualam, yang menerangi langkah. Sebentar lagi, setidaknya begitulah yang si Abah katakan, sekitar lima tiang listrik lagi, aku akan tiba di penginapan kecil dua lantai di tepi hutan. Aku sudah memesannya kemarin.

Benar sudah dekat?

Benar, Den. Tinggal lurus saja beberapa meter.

Oke, kalau begitu.

Aku meminta si Abah berhenti di depan pohon apel yang buahnya banyak sekali dan membayarnya dengan harga yang sudah disepakati. Setelah mengenakan ranselku yang lumayan berat, aku melepas sendal dan merasakan denyut jantung Bumi nan lembut—seperti yang biasa kaulakukan dahulu. Masihkah itu? Selain dikepung hutan yang dipenuhi damar dan cemara-cemara kekar, jalan masuk di desa masa kecilku juga dihiasi perkebunan apel yang menguarkan harum khas seperti campuran vanila yang manis dan karamela. Saat musim panen datang, kelopak-kelopak putih menyelimuti sepanjang laluan bagai hendak menyambut sepasang mempelai di pesta yang aduhai. Sayangnya, jika menghasilkan terlalu banyak buah, agar harganya tetap stabil, berton-ton apel dibuang begitu saja di pinggir sungai, atau dibiarkan membusuk di tanah.

Ibu sering mengajakku melewati jalan ini, dulu sekali. Seraya menggandeng tanganku dia selalu berkata, "Sebutir apel ini bisa melahirkan pohon apel raksasa yang kelak menciptakan jutaan apel lainnya. Dan, masing-masing apel yang terkandung dalam setiap pohon itu dapat menciptakan jutaan pohon lain." Ibu pun memandang pohon-pohon apel yang menghiasi sisi-sisi jalan. Matanya berkilau seperti ingin menangis, dadanya hampir-hampir meledak, tak mampu menampung ketakjuban. Segala sesuatu adalah mukjizat di matanya. "Ajaib, bukan? Sebutir apel yang kecil ini, sanggup menghijaukan seluruh dunia." Ibu mengatakan hal itu berulang kali setiap ada kesempatan. Dan aku tidak keberatan mendengarnya lagi dan lagi.

Udara terasa sejuk bagai mengandung embun. Aroma manis yang lama aku rindu mengendap di udara. Perasaanku sejernih langit sehabis hujan. Semakin jauh aku melangkah, kenangan-kenangan yang lama disembunyikan ingatan semakin jelas terbayang—memantulkan segala yang tentang Ibu, engkau, juga teman-temanku yang dulu. Banyak yang sudah berubah, dan sebagian menjadi penyesalan. Tapi kata-katamu pada suatu ketika—lewat surat yang kautulis secara berkala kepadaku—senantiasa berhasil menarikku dari jurang keputusasaan, "Tak ada yang abadi, kecuali saat ini, bukan?"

Ya. Kau benar.

Lihat selengkapnya