Tapi ternyata aku bermimpi.
Aku melihat diriku sendiri gegas melangkah di jalan setapak yang terhubung dengan bagian dalam hutan. Dia—diriku yang lain itu—menggenggam jaring dan setoples. Sekujur badannya, terutama kaki dan lengannya, penuh plester dan bentol bekas gigitan serangga. Tapi dia tak peduli. Terus saja berjalan di antara pohon-pohon berdahan rendah—berharap menemukan kumbang-kumbang yang nemplok di pepagan atau walang-walang yang ngumpet di jarum-jarum ilalang. Aku mengikutinya, tapi sesungguhnya tidak. Aku hanya sosok di luar cerita—tak terlibat dalam peristiwa. Adegan-adegan berganti seperti kaleidoskop yang mustahil aku kendalikan. Tiba-tiba, pemandangan itu berubah menjadi jalan-jalan setapak yang lain, sepeda Wimcycle kuning yang dijual Ibu sebelum pindah, dan serangga-serangga yang bukan hanya kumbang dan walang—juga sungai yang kerap kita kunjungi saat libur panjang, kunang-kunang yang kita pancing dengan ilalang, segala sesuatu yang ternyata belum sepenuhnya hilang dari ingatan.
Setelah terjaga aku mencatat semuanya di lembar-lembar buku harian—dalam sesuatu yang dalam seni journaling disebut morning pages. Barulah saat mencapai tanda titik di kalimat terakhir, aku menyadari suara hujan sudah mengepung seisi desa. Derunya intim. Pagi jadi terasa wingit, seolah di luar sana tak ada yang lain selain hujan. Aku membuka pintu teras. Sejauh mata memandang, hanya lansekap putih kelabu yang terlihat. Dalam gelap yang seolah abadi, dingin menghunjamkan cakar tajamnya hingga sumsum tulang. Semoga anjing-anjing yang semalam menguasai desa menemukan rumah yang aman dan nyaman entah di mana. Aku mengecek jam. Masih pukul empat subuh, hari belum benar-benar menjadi, baru embrio yang butuh sentuhan akhir untuk lahir. Setelah menyalakan lampu, aku memperbaiki gambar-gambar kemarin dan berharap hasilnya layak. Aku mengurungkan niat mengubah warna apel di jalan masuk desa menjadi merah—dan membiarkannya tetap hijau seperti adanya.
Saat aku meletakkan pensil dan buku sketsa, jam sudah menunjukkan pukul 05.30. Aku menjerang air panas dengan termos listrik dan menyeduh secangkir teh dalam gelas besar, lalu duduk di teras. Meski sudah dilap, bangkunya tetap lembap. Kepul uap putih pada teh dan aromanya menenangkanku, dan kenangan menghangatkanku dari dalam. Samar-samar di kejauhan, terdengar seorang perempuan menyanyikan It is Well with My Soul dengan suara gemetar seolah menahan air mata yang mungkin tumpah tanpa aba-aba. Aku tidak tahu dari mana asal suara itu—dari dalam diri atau luar diri? Tapi aku tidak peduli. Lagu ini sudah berkali-kali menyelamatkanku. Ibu sering menyanyikannya. Dan aku menggantikan Ibu menyanyikannya setelah dia bertemu Bapa di Surga. Sudah lama aku melupakan suara Ibu—dan sia-sia berusaha mengingatnya (Ibu meninggalkan begitu banyak buku dan catatan, tapi tak ada satu pun yang berbentuk suara)—tapi rasanya mirip dengan suara yang saat ini mengisi udara.
Atau mungkin itu memang Ibu?
When peace like a river, attendeth my way
When sorrows like sea billows roll