Aku masih berdiri di sini, dan menunggumu.
Gerbang itu masih terbuka, tetapi kakiku seakan lumpuh saat mencoba melangkah meninggalkan tanah yang kupijak saat ini. Aku hanya terdiam di sini sembari menatap ke arah gerbang, memandang pilar-pilar besar itu dengan berbagai macam rasa yang bergelonjak di hati.
Rasa menyesal, kecewa sekaligus gagal bercampur di dalam diriku, rasa itu berpadu serasi dan mencipatakan sebuah harmoni yang penuh rasa sakit.
Dadaku sesak karena harmoni rasa yang kau ciptakan, aku tak pernah merasakan hal sesakit ini sebelumnya. Dia adalah orang yang sangat berbeda dari sekian banyak manusia yang kutemui, bagiku dia itu istimewa.
Mungkin aku adalah orang bodoh, karena berfikir gadis itu istimewa hanya dalam satu pertemuan.
Mengapa aku bisa terpesona hanya karena menatap matanya dalam satu detik?
Segala macam bentuk emosi memuncak dalam diriku, irama penyesalanku turun naik saat mengingat kembali wajahmu.
Semua kegilaan ini membuatku ingin menangis dan berteriak sekencang kencangnya. Dadaku sesak, dan tubuhku seakan tidak berdaya hanya karena tak menatapmu sedetik saja.
Apa yang salah dengan diriku?!
Sial! Apa aku gila?!
Ini bukan diriku. Apa ini? Perasaan apa ini?
Matahari bodoh!! Bangun, dan sadarlah!!
Sang Matahari tak'kan tenggelam begitu saja.
Aku tidak boleh tenggelam dalam lautan penyesalan! Jika aku tenggelam, lantas siapa yang menerangi semesta?
Aku bersumpah akan menemukan dia, aku akan mencarimu sampai ke ujung semesta.
Lantas kenapa kau masih berada di sini dan meratapi nasibmu, Matahari?!
Melangkahlah ke dalam semesta, gerbangnya terbuka menyambutmu. Tunggu apa lagi? Disana kau bisa menerangi begitu banyak manusia.
“Sadar dan bergeraklah, Matahari,” ucapku sembari menampar wajahku dengan kedua telapak tanganku. Cara itu sangat ampuh untuk menjernihkan pikiranku.
Aku pun memutuskan untuk melewati gerbang itu. Gerbang tertutup otomatis sesaat setelah aku melewatinya.
Aku terdiam dan terbelalak melihat bangunan besar berbalut warna putih itu. Saat aku melihat lebih jelas, itu bukan hanya besar tetapi juga luas.
Pepohonan yang rimbun serta hamparan rumput hijau menyegarkan mataku. Dari sini, aku dapat melihat sebuah lapangan besar yang sangat luas, lapangan itu biasa di gunakan untuk upacara.
Aku pun penasaran dan mencoba untuk melihat lapangan itu dari jarak yang lebih dekat.
Sialan! Lapangan itu penuh dengan ribuan manusia, mereka hampir terlihat seperti semut dari atas sini.
Yah, aku hanya bisa berdiri dan menatap mereka dari sini karena aku datang terlambat.
Kedua mataku masih berusaha mencari keberadaannya di antara ribuan manusia yang berdiri di lapangan itu.
Aku bisa merasakan hawa keberadaannya, bahkan jika dia tidak ada di sana, aku pasti akan mencari dirinya. Aku 'tak akan segan mengobrak-abrik seisi semesta untuk menemukan dirinya.
Aku sungguh menyesal karena membiarkan dia pergi begitu saja, jika aku dapat menemukannya, aku 'tak akan pernah melepaskannya.
“Bro, kamu kenapa?” ujar seorang pria yang kebetulan berada di sebelahku.
Karena terlarut dalam penyesalan karena tak kunjung menemukan dirinya, aku sampai tidak menyadari orang yang berada di sekitarku.
“Aku tidak apa-apa,” jawabku.
Suara berat khas miliknya itu membuatku penasaran akan sang empunya. Aku mencoba menatap ke arahnya, dan ternyata suara itu berasal dari pria yang rupanya memiliki wajah tampan.
Matanya memancarkan cahaya yang terang, sama sepertiku. Wajahnya kuning langsat, layaknya sang bintang. Senyumannya sangat indah, seakan-akan mengajakku untuk tersenyum bersamanya.
“Terang sekali,” cetusku pelan.
“Kamu juga terang. Bukan terang, tapi bercahaya,” ucapnya sembari tersenyum lebar ke arahku.
“Namaku Bintang Krishnamurti, panggil aku Bintang. Namamu?” lanjutnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku.
“Aku Mattea Hariendra, panggil saja aku Matahari. Salam kenal ya,” ucapku sembari tersenyum lebar dan menyambut tangannya.
Kami pun akrab dalam sekejap, seperti sudah mengenal satu sama lain. Sepertinya kami pernah bertemu dulu? Tapi aku tidak tahu kapan, tapi rasanya dia sangat tidak asing bagiku. Mungkin di kehidupan sebelumnya kami pernah bertemu satu sama lain.
Terimakasih semesta, karena kau telah mempertemukan kami dengan benang takdir yang telah kau pintal.
Aku merasakan sesuatu yang sangat hangat ketika berada di sisinya. Pancaran sinarnya hampir persis seperti milikku.
Kami tidak segan bertanya dan bersanda gurau bersama-sama. Kami sudah seperti sahabat kental, saat pertama kali berjumpa.
“Apakah kau siswa baru disini?”
“Iya, aku siswa baru yang di undang oleh semesta. Mungkin semesta takjub akan gemilangnya prestasiku.”
“Sial! Bisa-bisanya kau sombong seperti itu, Mat. Memang takdir telah mempertemukan kita bersama.”
“Hei hentikan itu! Kau terlihat seperti seorang gay.”
“Aku bukan seorang gay!! Jangan menyulut api milikku atau nanti kau akan menyesal.”
“Hahaha aku bercanda, Tang. Jangan serius gitu dong.”
“Apakah kamu juga siswa jalur undangan, Tang?”
“Wah pasti dong! Aku kan seorang bintang.”
“Asik akhirnya aku dapat teman sebangku yang pas. Semesta pasti beruntung memiliki dua orang yang bercahaya seperti kita.”
“Aku terima tawaranmu. Tapi, kamu harus menunjukanku jalan ke kelas. Aku tidak mengerti isi peta ini.”
“Hah peta?! Sekolah ini bahkan punya peta? Sial.”
“Tentu saja punya. Apakah kau tidak mendapatkannya?”
“Aku hanya mendapatkan secarik kertas. Aku tidak tau bahwa itu berisi denah sekolah ini.”
“Ah akhirnya aku bertemu orang yang sama gobloknya denganku. Aku beruntung bertemu denganmu.”
“Tapi tenang saja. Selagi sang Matahati masih ada di sisimu, semua akan beres.”
Di hari pertama saja aku sudah mendapatkan sahabat, apalagi beberapa bulan ke depan, mungkin aku akan mendapatkan banyak gadis di sini.
Upacara yang membosankan itu perlahan menjadi sangat asyik saat berdiri di sebelahnya. Aku sangat beruntung bertemu denganmu, Bintang.
Tidak terasa aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol bersamanya, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa upacara sudah hampir selesai.
“Bintang, tadi apa yang disampaikan sama Pak kepala sekolah?”
“Yah gak tau. Kan kita dari tadi ngobrol.”
“Oh iya ya.”
Kami bahkan tidak mencerna sama sekali apa yang terjadi saat upacara berlangsung. Ah ternyata benar, mengobrol itu bisa buat orang lupa waktu dan tempat. Apalagi ketika kau berada di dekat orang yang hiperaktif seperti dia.
Ribuan manusia yang awalnya berbaris rapi di lapangan itu, kini berhamburan keluar dari lapangan sekolah. Tapi berbeda halnya dengan kami berdua, kami harus menerima beberapa hukuman dari para guru. Ah betapa sialnya.
“Apakah kalian tau kesalahan kalian!” teriak Pria galak itu kepada kami berdua.
“Tau pak,” teriak kami serentak.
“Jangan terlambat lagi! Ini adalah yang pertama dan terakhir untuk kalian berdua! Apa kalian mengerti?” teriak Pria itu sembari menunjuk kami berdua.
“Siap mengerti, Pak!” teriak kami serentak.
Pria galak itu ternyata mempunyai hati yang cukup baik, dia tidak menghukum kami. Terima kasih banyak, Semesta. Akhirnya kau sedikit berpihak padaku.
Beberapa detik yang lalu dia berpihak kepadaku, dan sekarang dia malah berpaling dariku. Aku sudah seperti orang dungu yang sedang tersesat.
Sialan! Aku sama sekali tidak mengerti isi peta ini, begitu banyak kelas di sana. Aku bahkan tak tahu di mana lokasiku pada peta itu.
“Tang, ini dimana?”
“Nggak tau. Sepertinya kita masih di sekolah deh.”
“Bukan begitu maksudku!!”
“Jadi apa?”
“Nggak jadi.”
Sialan! Ternyata dia sudah berubah menjadi orang dungu juga. Sudah hampir tiga puluh menit kami berputar-putar di sini, dan masih belum menemukan keberadaan kelas sialan itu.
Aku berjalan di samping dirinya, sembari menatap ke arah peta terus menerus. Tiba-tiba angin yang berhembus pelan itu mulai menggila. Angin itu berhembus sangat kencang hingga menerbangkan sehelai kertas yang kugengam dengan erat.
“Ah cobaan apa lagi ini.”
“Kenapa?”
“PETAKU TERBANG, BINTANG!”
“Oh gitu. Jadi kenapa?”
"Kalau peta itu terbang dan lenyap, kita bisa terjebak di sekolah ini selamanya."
“ADUH GAWAT! KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI?!”
“Apa salahku, Tuhan?”
Setelah beberapa kesialan yang terjadi di hari ini, ini adalah kesialan yang benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra. Dua orang dungu kini berlari hanya untukmengejar sehelai kertas yang tertiup oleh kencangnya angin. Angin sialan itu menerbangkan kertas itu cukup jauh, dan membuat kami kelelahan mengejarnya.
Angin yang gila itu berubah menjadi baik, peta yang terbang kesana-kemari kini terjatuh di tanah tepat di depan gadis dengan rambut terurai itu.
Hembusan angin itu seolah-olah membawa kami untuk bertemu dengan gadis itu. Siapa dia? Aku harap dia adalah orang yang baik.
“Hei!!” teriakku dari kejauhan sembari melambaikan tangan ke arah gadis itu.
Gadis itu menoleh ke arahku, dari sini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya cantiknya membuat kekesalan di hatiku sirna, senyumannya menyejukan hatiku, dan sedikit hembusan angin membuat rambutnya terlihat sangat indah.
Dia terlihat seperti angin, sejuk dan menenangkan.
Kami pun berlari menghampiri dirinya, dan aku pun memutuskan untuk berbincang-bincang ringan dengannya.
Gadis itu pun menyerahkan selehai kertas itu sembari berkata, “Ini punyamu.”
“Terima kasih,” ucap kami berdua serentak.
“Matahari dan bintang?” cetusnya.
Aku dan bintang menatap satu sama lain dengan wajah yang kebinggungan. Dari wajah kami bisa terlihat jelas suatu pertanyaan, “Bagaimana gadis misterius itu mengetahui namaku sebelum aku memperkenalkan diri?”
“Kalian siswa jalur undangan kan?” lanjutnya.
Kok dia bisa tau segalanya?! batinku.
“Cukup! Apakah kau seorang peramal?” teriak Bintang.
“Aku tau dari sini,” ucapnya sembari menunjukan sehelai kertas yang di dalamnya berisi lebih dari dua puluh nama siswa.
“Bagaimana kamu mendapatkan itu?” tanyaku.
“Kertas ini di bagikan saat upacara tadi. Ini berfungsi untuk mengenali setiap orang yang ada di kelas,” ucapnya.
“Jadi kita berada di kelas yang sama? Dan kau juga salah satu siswa jalur undangan?” tanya Bintang.
Gadis itu menganggukan kepalanya.
“Namamu?” tanyaku penasaran.
“Namaku, Windy Gandatia. Windy artinya berangin. Kalian bisa memanggilku Windy,” ucapnya.
“Sudah kuduga. Kamu persis seperti angin, sejuk dan menenangkan,” cetusku.
“Kalian berdua juga terlihat sangat bercahaya,” pujinya.
“Jadi apakah kau tau dimana kelasnya?” tanya Bintang.
“Tentu saja! Hanya orang bodoh yang tidak tau kelasnya sendiri,” ucapnya sembari tertawa terbahak-bahak.
Aku dan bintang hanya terdiam dan menatap satu sama lain. Wajahnya seakan-akan berbicara, “Apakah kita termasuk ke dalam kategori orang bodoh?”