MALAM : Matahari Tak'Kan Tenggelam

Ivory Gracia
Chapter #3

Galaksi

Brak!

Suara pukulan keras itu terdengar jelas di setiap sudut ruangan, memecah suasana gaduh sekaligus menenangkan nya.

“Kenapa ribut-ribut?” ucap seorang pria yang berada di dahan pintu.

“Duduk di tempat masing-masing!” finalnya.

Pria itu bukanlah seorang siswa seperti diriku, sepertinya ia wali kelasku. Badan atletisnya terbungkus rapi dengan kemeja putih, serta banyaknya buku yang ia genggam terlihat cocok dengannya.

Aku mengedipkan mata dan tak lupa tersenyum manis kepada Mailamy sebelum beranjak dari tempatnya. Ia menatapku tajam sembari mengacungkan jari tengahnya kepadaku.

Ah sial dia benar-benar gila.

Berlari kecil menuju sebuah bangku kosong tepat di sudut kiri kelas, untung saja mereka sudah menyiapkan bangku untukku.

“Woah gila sih tuh orang,” cetus Langit.

Angkasa berbalik, dan menepuk bahuku, “Mundur, Mat. Dia itu gila.”

Sedangkan Bintang masih asyik tertawa melihat video memalukan itu.

Aku hanya termenung dan masih sibuk menatapi gadis itu dari kejauhan. Ia hanya diam membeku di mejanya, dia sangat tenang dan cantik.

Brak!

Kali ini pria itu memukul papan tulis dengan mistar panjang miliknya. Suara itu sangat menggangguku, dan aku sangat membencinya.

“Dengarkan aku!” pekiknya.

Aku memandangi wajahnya, ia sangat tampan, ditambah lagi tidak ada kerutan yang menghiasi wajahnya. Dia lebih cocok menjadi kakak kelas daripada guruku.

Ia membuka tutup spidol itu, dan mulai menggoreskannya ke papan tulis itu, “Namaku, Damar Galaxy. Kau harus memanggilku ‘Bapak,’ karena aku adalah guru bukan kakak kelasmu!”

Ia berhenti, mengambil nafas sejenak sekaligus merapihkan beberapa helai rambutnya, “Aku ini tampan, dan muda. Tapi ingat aku ini gurumu.”

Pak Damar kini duduk di bangkunya, ia mengeluarkan secarik kertas yang tampak tak asing lagi bagiku. Ya, kertas absensi sialan itu.

Kertas absen pembawa petaka itu benar selalu menghantuiku! Kini ia mulai melirik kertas itu dan sesekali menatap satu-persatu wajah kami.

Brak!

Dia kembali menggebrak meja, berharap semua mata tertuju padanya. Padahal sedari tadi kami tak berhenti berkedip karena menatapnya!

Pak Damar berdiri, mengambil napas panjang, tak lupa mengeluarkan kertas kecil dari saku celananya.

“Selamat datang! Kalian adalah orang yang terpilih dari beribu-ribu pesaing sengit di penjuru kota ini.” Kini matanya menatap ke arahku, “Aku tau, mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya tentang sekolah dan kelas ini. Disini aku akan menjelaskan semuanya, tapi sabar. Aku mau minum dulu, haus.”

Kini dia beralih ke sebuah dispenser, dan meneguk santai gelas yang berisi air putih. Bagaimana bisa ia bersantai-santai ria sedangkan kami disini hanya menggelengkan kepala, karena geli dan kesal melihatnya.

Bintang menyenggol lenganku, membuat diriku kehilangan keseimbangan, sekaligus kesabaran.

“Apa?”

Ia menahan tawanya, dan menggerakkan tangannya seolah menyuruhku mendekat.

Aku mendekatinya, dan ia berbisik pelan di telingaku, “Sepertinya asik punya wali kelas seperti dia.”

Aku menghela nafas panjang mendengar perkataan, bisa-bisanya ia berpikir begitu. Ya, wajar saja sih, dia kan polos.

“Hm. Bisa jadi,”

Langit dan Angkasa kini berbalik dan menatap tajam ke arahku, aku bisa melihat bibir mereka yang terkunci rapat. Mereka sedang berusaha menahan rasa geli yang membuncah di dadanya.

Langit berbisik, “Gila sih, minum air putih aja kaya gitu.” Angkasa membungkamnya, dan berkata, “Shh.. Aku tau itu lucu, kau diam saja!”

“Diam, dan jangan menatap ke sini! Nanti kalian akan menjadi sasaran empuk baginya,” bisikku.

Brak!

Dan ya! Ini ke-tiga kalinya ia menciptakan suara itu. Aku mengerutkan keningku, suara itu sangat mengganguku.

Ia melepaskan kancing kerah bajunya, dan mengeluarkan kalung yang melingkar di lehernya sedari tadi, “Lihat ini!”

Kalung itu terlihat biasa saja, tapi sebuah liontin yang tergantung di rantai kalung itu sangatlah indah. Liontin itu berwarna Galaxy, percampuran antara ungu dan pink sangatlah indah.

Aku sangat ingin memilikinya!

“Aku akan memberikanmu masing-masing satu. Ambil dan jaga ini baik-baik. Jika kalian menunjukkan liontin ini, kalian dapat bebas mengakses segala sesuatu di sekolah ini,” ucap Bapak serius.

Tapi ada sebuah hal yang mengganjal di hatiku, jadi aku memutuskan untuk angkat bicara.

Aku berdiri dan mengacungkan jariku keatas, semua mata tetuju kepadaku, “Mau tanya pak. Liontinnya cuma itu?”

Ia menepuk dahinya, dan berkata, “Oh iya lupa! Ketinggalan di ruang guru!”

“Kamu ikut bapak ke ruang guru!” lanjutnya.

Wajah boleh muda, tapi ingatannya sudah seperti lansia. Aku hanya menganggukan kepalaku, dan bergegas pergi bersamanya.

Menyusuri jalan bersama dengan guru terasa sedikit canggung bagiku. Tapi ini adalah saat terbaik untuk mendapatkan simpatinya!

“Umur bapak berapa?” tanyaku.

Ia menoleh dan tersenyum manis kearahku, “Kalau aku bilang tujuh belas tahun, pasti kau tak percaya.” Aku terdiam sejenak, sedangkan ia tertawa terbahak-bahak, “Hei, jangan terlalu serius! Aku cuma bercanda.”

Aku tersenyum kecil sembari menutupi rasa dongkol dihatiku. Bapak ini sangat menyebalkan.

Aku menghela napas panjang, dan kembali mencoba bertanya hal yang sama untuk kedua kalinya, “Jadi, umur bapak berapa?”

“Umurku dua puluh lima tahun,” ucapnya.

“Namamu?” tanyanya padaku.

Aku tersenyum kecil sembari menatap wajahnya, “Namaku, Mattea Hariendra. Panggil saja aku matahari, Pak.”

Ia menghentikan langkahnya, menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk menatap wajahku, kemudian berkata, “Apa kau ingin mengetahui sesuatu?”

Aku mengangguk, dan mendekat ke arahnya.

“Matahari dapat menyinari semesta. Tapi, ia juga bisa menghancurkan semesta,” Ia menghela nafas panjang, dan mencengkram bahuku, “Kau ditakdirkan untuk mengubah semesta ini.”

Aku temenung dan masih mencerna apa yang ia bicarakan, tapi hasilnya nihil.

“Maksudnya, Pak?” tanyaku.

Ia menggelengkan kepalanya, dan memukul bahuku, “Entahlah, Nak. Terkadang aku tak mengerti apa yang kubicarakan.”

“Kenapa, Pak?” tanyaku.

“Itu adalah respon ku saat menatap sesorang. Setiap kata yang terlontar dari bibirku kala menatap wajahmu, adalah kebenaran.” ucapnya.

Dia meneruskan langkahnya, sedangkan aku masih membeku disini. Setiap kata yang ia lontarkan masih menggema di gedang telingaku.

“Woi! Cepat kemari, ini sudah sampai!” pekiknya dari kejauhan.

Aku segera berlari, dan meninggalkan sekelebat kebingungan yang menaungi pikiranku. Aku terbelalak saat menginjakkan kakiku ke dalamnya, ruangan itu terlalu besar untuk ruang guru.

Ruangan itu tertata dengan rapi, kecuali meja itu. Meja di sudut kiri, dan itu adalah meja miliknya. Buku-buku menumpuk ibarat gunung, serta beberapa kardus usang yang memenuhi mejanya.

Hanya ada satu kardus yang terlihat sedikit berbeda dari yang lainnya, kardus itu bertuliskan ‘Galaxy’

Ya, mungkin itu adalah paket miliknya?

Ia mengambilnya, dan melemparkan kardus itu tepat di wajahku. Untung saja tangan ini sempat menangkapnya.

“Pak, apa ini?” tanyaku.

Ia menoleh, “Liontin.” Mendekatkan dirinya, dan melepaskan selotip yang menempel erat pada kardus itu, “Lihat! Liontin bukan?”

Aku hanya bisa diam membisu saat menatap isi kardus itu. Semua liontin itu berwarna hitam legam! Sangat jauh dari ekspetasiku.

“Loh kok hitam pak?” tanyaku.

“Nggak usah banyak tanya. Ayo kembali ke kelas,” finalnya.

***

Setelah menyusuri sepanjang jalan sembari membawa kardus kecil ini, akhirnya kami sampai ke kelas.

Aku menaruhnya di atas meja, dan kembali ke tempat dudukku. Baru saja beranjak satu langkah, dan suara menyebalkan itu terdengar lagi.

Brak!

Aku menoleh kesal, hampir saja aku mematahkan leherku sendiri dibuatnya.

Ia mengulurkan tangannya, dan berkata, “Urusanmu masih belum selesai, Mat.”

Aku menghela napas panjang, rasa dongkol dihatiku semakin menjadi-jadi. Dia sungguh menyebalkan! Sudah tua, rempong lagi.

Aku menghentak kakiku sebal sembari menuju ke arahnya. Sedangkan ia masih berdiri dan memberi penjelasan.

“Kelas ini bernama Galaksi. Kalung dan liontin ini adalah identitasmu, kau bebas mengakses apapun jika memperlihatkan kalung ini,” ucapnya.

Ia menatap ke arahku, “Matahari, bagikan kalungnya.” Ia menggeprak meja, sembari berkata, “Buka telapak tangan kalian lebar-lebar!”

Semua mengikuti instruksi darinya, sedangkan aku membagikan sebongkah batu hitam yang tergantung pada rantai kalung ini pada mereka.

Ahh, pasti mereka akan sangat kecewa.

Kalung pertama aku persembahkan untuk Aqua. Kenapa? Karena aku ingin melihatnya kecewa, sekaligus memastikan kekuatan ‘magis’ miliknya itu.

Tangannya terbuka lebar, sedangkan matanya berbinar-binar menandakan kegembiraan hatinya. Aku pun meletakkan kalung itu ke atas tangannya.

Dia kecewa kala melihat batu pertama yang ia nantikan ternyata tak seindah ekspetasinya, tapi perlahan-lahan ia menarik sudut bibirnya.

Kini sebuah senyuman indah terukir di wajahnya. Aku terdiam dan terbelalak kala melihat batu legam itu berubah menjadi berwarna biru terang. Itu sangatlah indah, seperti laut yang terpantul oleh sinar matahari.

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa batu legam itu bisa berubah seketika saat menyentuh telapak tangannya.

Itu terlihat sangat ganjal. Oh tuhan! Ini kedua kalinya aku menghadapi kejanggalan ini. Lama kelamaan mungkin aku akan menggila.

“Matahari! Gerakkan kakimu!” pekik pria itu.

Dan ya, dengan berat hati aku kembali berjalan dan membagikan kalung itu kepada setiap orang yang ada di kelas.

Aku membagikannya kepada Windy, dan batu itu berubah menjadi warna putih. Terlihat seperti gumpalan awan, atau seperti sebuah tornado.

Kini adalah giliran Langit, batu itu berubah menjadi biru langit berpadu dengan warna putih. Ya, itu terlihat seperti langit berawan.

Batu itu juga berubah warna kala Angkasa menyentuhnya. Batu legam itu menjadi warna biru dongker, dengan sedikit perpaduan warna putih. Benar-benar terlihat seperti angkasa.

Aku meletakkan kotak itu di atas meja Angkasa, dan membuka lebar-lebar tanganku.

“Sa, ambil kalung itu dan berikan padaku,” ucapku.

Angkasa mengikuti perkataanku, sedangkan aku hanya menutup mataku rapat-rapat, berharap batu legam itu berubah menjadi indah.

“Bagus banget gila!!” pekik Angkasa.

“Mat, tukaran yahh,” mohon Langit.

Aku membuka mataku perlahan, sembari mengintip ke arah telapak tanganku. Aku terbelalak kala menatap Liontin itu, itu lebih indah daripada milik Pak Damar.

Liontinku berwarna kuning, bercampur oranye, belum lagi liontin itu sangat bercahaya! Itu sangat mirip dengan Matahari.

“Mat, aku belum dapat kalung loh,” cetus Bintang.

Dengan segera aku memberikan kalung itu kepadanya. Lagi-lagi batu legam itu berubah warna, kini warnanya berubah menjadi kuning terang. Sama sepertiku, tapi cahayanya lebih redup.

Kini aku beranjak ke tempat pujaan hatiku, sepertinya ia sudah menatapku sedari tadi. Hmm, apakah dia menyukaiku?

Maafkan aku Mailamy, aku harus memberi kalung ini kepada Chandra dulu. Aku meletakkan kalung itu di telapak tangan Chandra, dan batu legam itu berubah menjadi warna kuning pucat dengan sinar yang remang.

“Mailamy, giliranmu,” ucapku

Ia menutup rapat kedua tangannya, seolah tak ingin mendapatkan kalung indah ini. Aku membuka paksa tangannya, tapi dia menghempaskannya begitu saja.

Brak!

Pria menyebalkan itu lagi-lagi memukul meja, dan berpekik, “Hei gadis! Buka tanganmu.”

Dia memutar bola matanya malas, dan membuka tangannya lebar-lebar, “Oi sialan, jangan menyentuh tanganku.”

Aku menghela napas, dan menggelengkan kepala sebal, “Tidak akan kusentuh, Sayang.”

Lihat selengkapnya