1
Terkapar
Kalau ada yang bertanya kenapa ia melakukan itu, inilah penjelasan yang paling sempurna.
***
Beberapa jam yang lalu seorang perempuan dilarikan ke rumah sakit Lowokwaru. Perempuan itu, Sekar, namanya. Usia 33 tahun. Kondisinya sangat mengenaskan. Ia melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak racun tikus yang disimpannya bertahun-tahun di rak lemari dapur. Ketika adiknya, Ayu, melarikannya ke rumah sakit, tubuh perempuan itu sudah kejang-kejang, mukanya membiru, dan lidahnya keluar di antara gigi-giginya. Masih belum diketahui dengan jelas apa alasannya, karena perempuan itu masih terkapar tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit seperti seorang putri yang dikutuk jadi batu.
Itu murni kecelakaan tunggal. Perempuan itu berusaha menghabisi dirinya sendiri. Dalam sejarah kematian, upaya bunuh diri dilatarbelakangi oleh rasa kesepian, putus asa, atau depresi berkepanjangan. Mungkin, pikir orang-orang, salah satu perasaan itulah pendorongnya. Saat dibawa ke rumah sakit, perempuan itu sudah terkapar di ambang kematian. Ada kemungkinan perempuan itu tak akan tertolong jika terlambat sedikit saja. Pihak rumah sakit berkali-kali mengatakan bahwa perempuan itu sangat beruntung karena dibawa ke rumah sakit dan ditangani tepat waktu. Seandainya terlambat sedikit, nasib perempuan itu akan sama dengan orang-orang sebelumnya yang langsung mati di tempat. Pihak rumah sakit mengaku sudah lama tidak punya pasien kritis akibat percobaan bunuh diri. Itu bukan berarti penduduk Lowokwaru bahagia semua, tapi karena rata-rata mereka yang melakukan bunuh diri tak pernah tertolong, tak pernah sempat dibawa ke rumah sakit. Kasus terakhir mengenai percobaan bunuh diri dilakukan seorang pemuda yang berniat meloncat dari atas jembatan Perak di jalan Sorkarno-Hatta. Beruntung seorang pengendara sepeda motor segera berhenti dan menarik kaki pemuda itu sehingga menyebabkan kemacetan panjang dan dalam tempo kurang dari dua jam beritanya sudah tersebar ke seluruh sudut Lowokwaru.
Keberadaan Sekar dan tangisan Ayu menyita perhatian banyak orang di rumah sakit. Meskipun kematian adalah sebuah keniscayaan, namun kebanyakan orang tak bisa menerima jika kematian datang tak wajar. Itulah kenapa orang terkaget-kaget dan merasa kasihan melihat Ayu terus-menerus menangisi keadaan Sekar yang masih terkapar di ranjang. Kendati pihak rumah sakit kemudian mengatakan bahwa untuk sementara Sekar telah melewati masa-masa kritis, namun Ayu tetap tidak tenang. Ia masih memikirkan kata-kata “untuk sementara”, yang itu berarti masih ada kemungkinan Sekar kembali mengalami situasi yang sulit dibayangkan.
Hingga jarum jam menyentuh tengah malam Sekar masih tidak sadarkan diri. Ayu menunggu dan menatapi perempuan itu tanpa sedikit pun berpikir untuk memejamkan mata atau pergi ke luar bangsal untuk menghirup udara segar, yang kemudian ia sadari, tak pernah ada udara segar di rumah sakit. Di luar kamar, aktivitas masih berlangsung. Orang-orang bergerak dari sudut ke sudut. Di emperan rumah sakit dan di taman, orang-orang duduk diselimuti rasa khawatir, wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang memohon, wajah-wajah yang mengharap.
Hingga detik itu Sekar masih terkapar. Otaknya tak dapat merespons suara apa pun: lonceng yang berdentang sebelas kali dari arah gereja, suara sepatu yang bergesekan dengan lantai, atau suara lengking terompet kecil yang ditiup seorang laki-laki setengah gila di bawah pohon tanjung sambil sesekali memaki pengendara yang melintas di dekatnya. Dr. Farihah, seorang perempuan usia 42 yang mengambil tindakan atas tubuh Sekar yang kaku dan membengkok, yang sudah tiga tahun bekerja di rumah sakit itu tidak lama setelah berhenti dari rumah sakit tentara di Kacuk, melakukan segala usaha untuk membangunkannya. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa bangga karena gagal membuat Sekar tersadar dari koma.
Melihat kenyataan itu Ayu mencoba bersikap wajar dan dewasa. Namun, di balik sikapnya yang tegar, ia menanggung guncangan dan ketakutan yang hebat; suatu kondisi yang membuatnya tak berpaling sedikit pun dari wajah Sekar. Ia ingin segera melihat Sekar membuka mata atau paling tidak mengerakkan tangan. Ia merasa harus terlibat sepenuhnya dalam keadaan ini. Ia tidak mau hal buruk terjadi pada Sekar dan semua yang terjadi pada mereka berubah jadi kenangan yang tak berarti. Ia membayangkan, kenangan, betapa pun sangat indah, adalah barang mati. Cepat atau lambat kenangan akan berdebu, membusuk, dilupakan, dan yang pasti tak bisa menerima keuntungan dari masa depan.
Tapi, apa pun itu, ia terus meyakin-yakinkan diri bahwa Sekar akan segera bangun. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Pukul sebelas malam.
“Saya khawatir Bu Sekar menderita penyakit lain,” kata Dr. Farihah.
“Penyakit lain?” Ayu merasa perlu mengulang di bagian itu.
Dr. Farihah mengangguk. “Mungkin bukan penyakit, tapi tekanan. Pikirannya terlalu penuh. Dadanya sesak.”
Ayu tidak mengerti kata-kata Dr. Farihah yang mencoba menabrak batas pengetahuan yang paling jauh, seolah predikat yang menempel di pundak perempuan berambut sebahu itu telah membuatnya memiliki kuasa untuk menerobos batas-batas pengetahuan orang awam. Berusaha memahami maksud Dr. Farihah, Ayu mengulang-ulang kalimat yang didengarnya pada bagian dua kalimat terakhir. Kalimat itu ia ulang-ulang sampai bosan, sampai kata per katanya keluar dari struktur kalimatnya, menjadi kalimat asing yang membuatnya merasa terlempar dari ruang yang tercipta di antara sela-sela huruf kalimat itu. Ia berusaha membaca sesuatu apa yang kira-kira telah membuat sesak kepala Sekar.
“Tolong katakan pada saya, Dokter, apa yang bisa membantu Mbak saya cepat bangun?”