2
Semua Sudah Berakhir
Dua minggu sebelumnya, dua minggu sebelum dilarikan ke rumah sakit, Sekar pergi ke rumah orangtuanya. Ia duduk di teras rumah memperhatikan daun-daun pohon tabebuya, ditemani aroma kopi hangat yang ia seduh sendiri. Di tepi halaman terdapat bekas kolam ikan yang mengering dan sisa-sisa bunga yang sudah tidak terawat. Halaman rumah itu dikelilingi pagar setinggi dada orang dewasa. Sekar menyeruput kopinya. Tapi, dilihat dari caranya duduk, ia jelas merasakan kegelisahan yang tak bisa ditahan.
“Aku sudah tidak tahan hidup begini, Bu,” ujar Sekar kepada Jumila dengan susah payah. Akhirnya ia mengatakannya setelah bertahun-tahun mengumpulkan keberanian dan memikirkan dengan masak-masak akibat yang mungkin bisa terjadi atas omongannya itu.
Jumila tidak mengeluarkan respon apa-apa. Bahasa tubuh, wajah, dan tatapan matanya adalah penolakan. Seluruh yang ada pada dirinya adalah ketidakmungkinan yang sulit ditembus.
Dari awal mengambil keputusan untuk membicarakan masalah rumah tangganya, Sekar dirundung firasat buruk. Ia melihat aura keras dan kebengisan di wajah Jumila, aura yang menampakkan ketidaknyamanan. Jumila berdiri di atas pendiriannya yang lalu-lalu, yang kokoh, dan tak bisa diubah. Jumila lebih mementingkan martabat keluarga daripada kebahagiaan anak sendiri. Jelas-jelas Jumila tahu, setiap perjalanan rumah tangga memiliki kemungkinan untuk gagal, apakah dari pihak perempuan yang menarik diri dari bangunan rumah itu atau dari pihak laki-laki yang menghancurkannya lebih dulu. Tapi, sebagaimana biasa, Jumila memilih untuk tidak memutar kepala ke belakang, tidak mau melihat apa pun selain masa depan.
Itu dapat dimaklumi karena Jumila tidak mau memiliki menantu dua kali. Itu tidak berkaitan dengan apakah Sekar bahagia atau tidak. Baginya, di atas segala hal, nama baik keluarga adalah yang paling penting. Runtuhnya bangunan rumah tangga atau putusnya hubungan suami istri berarti lepasnya ikatan dua keluarga. Itu bukan peraturan atau bunyi undang-undang, tapi kesepakatan rahasia yang muncul begitu saja dan diwariskan secara turun-temurun. Yang lebih penting dari itu semua adalah, sebelum sebuah pernikahan yang sangat meriah digelar pada suatu hari baik yang didasarkan pada perhitungan kalender dalam kepercayaan Jawa Kuno dan dihadiri oleh tamu-tamu istimewa dari kedua belah pihak, Karim sudah berkali-kali membawa beras, lemari gantung yang hanya bisa diperoleh dari pengusaha mebel kelas atas di Jepara, sofa-sofa empuk, mug-mug indah edisi terbatas, dan dua pesawat televisi ke rumah Jumila. Satu televisi berukuran besar ditaruh di kamar Sekar, sedangkan yang lebih kecil diletakkan di ruang keluarga. Tapi Sekar tak pernah menyalakan televisi itu. Ia tak pernah menyentuh barang-barang yang berasal dari Karim.
Hari itu Sekar berdebat dengan Jumila, dan kemudian Suwarno, yang baru pulang menyingkirkan semak belukar di dekat hutan untuk membuka ladang baru karena tanah-tanah di pinggiran kota sudah diganti dengan perumahan-perumahan bergaya modern. Di selatan kota, lahan luas yang dulunya ditanami tebu, kini sudah dijadikan empat sampai lima kompleks perumahan. Di dekat pintu masuk kota, berhektar-hektar sawah disulap jadi kompleks wisata kuliner, mulai dari kedai kopi, rumah makan, hingga panti pijat. Hal yang paling mencolok di tengah kompleks itu adalah rumah penggilingan batu yang sudah berdiri sejak kompleks itu masih berupa hamparan sawah yang lapang. Meskipun sekarang di kiri, kanan dan seberang jalan dikelilingi kedai-kedai kopi bergaya modern yang menawarkan pertunjukan musik saban malam, rumah penggilingan batu itu masih terus melakukan aktivitas produksinya tanpa merasa terganggu atau ketinggalan zaman. Dan yang lebih mencolok lagi tapi kemudian menjadi semacam pemandangan biasa adalah setiap hari pengemis keluar masuk kompleks itu. Semakin hari jumlah mereka semakin banyak, seperti sebuah organisasi besar yang anggotanya tersebar di seluruh kota.
“Sudah bertahun-tahun kalian menikah,” kata Jumila. “Kau harus sabar. Tidak semua masalah rumah tangga selesai dengan bercerai.”
Sudah ditebak. Itu yang Jumila selalu katakan. Sekar harus bertahan, bagaimana pun caranya. Tapi, hati Sekar tidak terbuat dari batu atau kayu. Ia tidak dapat menahan kecewa karena, seperti biasa, mengobrol dengan Jumila tidak menghasilkan tawaran apa-apa. Tidak ada solusi. Hari itu, setelah pembicaraan yang tetap menyebalkan itu, ia meninggalkan rumah orangtuanya dengan hati penuh gemuruh. Ia pergi ke wilayah barat dan duduk di sebuah kafe hingga malam runtuh ke seluruh bumi. Ia membebaskan diri dengan menikmati pijar lampu di kejauhan, memperhatikan juru parkir yang sibuk mengatur kendaraan, pengunjung yang terus berdatangan, pengemis yang setiap lima menit datang bergantian, dan ia biarkan dirinya berpikir tentang kematian atau tentang cara mengakhiri dua buah kehidupan pada suatu malam yang jahanam. Ia menghabiskan waktu hingga Subuh, hingga matahari terbit lagi, mencoba memikirkan sesuatu yang salah, sesuatu yang berbeda dari penampilan benda-benda, berharap menemukan sesuatu yang ajaib dengan matanya yang mulai menyipit karena kantuk. Tetapi ia tidak boleh mengantuk. Ia harus pergi ke sekolah untuk mengajar murid-muridnya, dan pagi itu, ia sudah bertekad satu hal: mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru Matematika di SMA 15.
Di SMA 15, Sekar adalah guru favorit. Itu bukan saja karena ia guru paling berbakat, tetapi juga karena kecantikannya yang mampu membius para guru dan hampir seluruh siswa. Beberapa dari siswa laki-laki mengiriminya surat cinta, sedang beberapa yang lain datang langsung ke rumahnya dengan alasan ingin menanyakan materi pelajaran yang sulit dipahami. Bahkan sebuah kejadian konyol pernah terjadi di kelas. Seorang siswa yang juga pengurus OSIS secara terang-terangan membacakan surat cinta di depan kelas. “Saya hanya ingin membuktikan bahwa cinta mampu menghapuskan jarak usia,” katanya. Kendati begitu, Sekar tak menanggapi tingkah murid-muridnya. Mereka masih anak-anak dan ia merasa tak perlu menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Setelah kejadian konyol itu ia kembali ke ruang guru dengan sebuah ide yang terus ia pikirkan sepanjang malam tentang bagaimana agar murid-muridnya bisa terus fokus pada pelajaran dan menjadi orang yang berguna setelah lulus.
Ketika kembali masuk kelas, setelah bekerja keras dan memikirkan kemungkinan tingkat keberhasilan idenya, pada suatu hari yang mendung, di sela-sela mengajar, Sekar menjelma seorang ibu. Ia bukan lagi seorang guru Matematika, tapi lebih dari itu. Ia mengatakan di depan kelas bahwa ilmu pengetahuan adalah hal yang ajaib, dan mereka harus bekerja keras menguasainya tanpa terecoki oleh hal-hal lain di luar pelajaran. Murid-murid harus lebih rajin pergi ke perpustakaan, mendirikan laboratorium-laboratorium pribadi untuk meneliti kelemahan-kelemahan ilmu pengetahuan yang dianggap mapan dan sudah merentang sekian ratus tahun ke belakang. Untuk pertama dan terakhir kalinya, terinspirasi dari surat cinta yang pernah dibacakan muridnya, ia mengatakan kalau ilmu pengetahuan sudah menghapuskan jarak, membuat manusia beramai-ramai melakukan migrasi ke dunia maya, dan mencari rumus ajaib untuk membuka lahan kehidupan baru di bulan dan Mars.
Sekar mengatakan ini sambil membayangkan citra dirinya sebagai seorang musafir yang berusaha pencari tempat paling damai di bumi yang akan membuatnya hidup bahagia. Ia membayangkan sebuah dunia yang indah, mungkin di suatu tempat yang jauh dari tempatnya selama ini tinggal. Ia membayangkan dirinya berdiri di atas sebuah jembatan, mendengarkan suara jejatuhan air terjun atau gemericik air yang mengalir di bawah tebing. Di sebuah dunia yang hanya ada dalam fantasinya, ia membayangkan tidak ada orang miskin, tidak ada orang tua yang memaksakan kehendak pada anaknya meskipun dengan alibi demi kebahagiaan si anak, tidak ada seorang laki-laki yang memukul wanita yang dicintainya, tidak ada kebohongan dan pengkhianatan. Ia merenungkan apakah mungkin ada tempat sedamai itu di dunia. Ketika tersadar dan memandang ke wajah murid-muridnya yang sebagian sudah memeluknya, ia yakin bahwa tempat itu pasti masih ada di bumi. Mungkin ia akan menemukannya di balik hutan di utara atau di balik dataran tinggi dan bebukitan berlembah-lembah yang terletak di lereng dua pegunungan Arjuno-Welirang dan Butak-Kawi-Panderman.