3
Darah
Sekar lebih suka diam ketimbang membicarakan hal yang tak jelas juntrungannya atau topik yang membangkitkan kembali kenangan di tahun-tahun yang sudah lenyap. Ia akan senang seadainya Musthafa berhenti bicara tentang Kael dan Permasi. Apa yang pernah terjadi di antara dirinya dan Permasi kini tidak lebih dari sekadar reruntuhan sejarah. Ia sama sekali tak punya alasan untuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialaminya. Tapi, ia tak bisa mengendalikan waktu, seperti ia yang tak bisa mengendalikan mulut Musthafa yang terus terbuka seperti kulkas dua pintu.
Musthafa menceritakan semuanya, semua yang pernah ia dengar dan ketahui. Ia memulainya dengan menyulut sebatang rokok dan membanting bungkusnya yang sudah kosong ke atas meja. Sambil mengembuskan asap dari mulutnya, ia bercerita tentang Nasrul Sani, teman mereka saat masih sama-sama aktif di Permasi, yang pernah menulis banyak esai perlawanan di berbagai media: istrinya sudah mengandung setelah mereka menikah lima bulan lalu. Ia juga bercerita tentang Adi Rasa, yang sejak setahun lalu memutuskan untuk memulai bisnis kecil-kecilan di kampung; sekarang dia memiliki sekitar lima ratus ekor ayam petelur di kandangnya dan yang lebih penting, sudah sejak lulus SMA dia membantu ayahnya mengelola bisnis jual-beli beras. Sekar bertanya apakah Adi Rasa juga sudah memiliki anak. Musthafa mengatakan kepadanya bahwa Adi Rasa sudah memiliki anak setelah berusaha menundanya selama enam bulan; sebenarnya dia punya rencana untuk menunda selama setahun, tapi di akhir bulan keenam dia kebablasan.
“Tak baik menunda-nunda punya anak. Ada banyak orang yang sudah lama menikah tapi mereka tak kunjung punya momongan,” kata Sekar. Kata-kata itu, entah kenapa, seperti sebuah senjata yang berbalik kepadanya.
Tapi, Musthafa adalah narator, dalang di balik panggung yang menggerakkan wayang-wayangnya tanpa peduli apa kata penonton. Ia beralih ke cerita lain. Kali ini tentang Suhairi yang membangun usaha kecil di bidang pertanian di Sumenep dan membantu orang-orang di sekitarnya, terutama orang-orang Permasi yang selepas lulus dari universitas bingung mau kerja apa; Suhairi tak kunjung menikah. Sudah berkali-kali seorang kiai besar mengenalkannya kepada banyak perempuan. Tapi ia terlalu ketat memilih perempuan yang akan menjadi istrinya di tengah umurnya yang sudah mendekati kepala empat. Kalau ditanya kenapa belum menikah, ia akan menjawab karena masih ingin fokus mengembangkan usaha agar bisa membantu lebih banyak kaum proletar yang terpinggirkan dari pergaulan kaum berjuis, karena ia sendiri anak proletar yang dimainkan oleh nasib dan sekarang sedang berusaha untuk naik kelas; menjadi kelas borjuis yang mengeksploitasi tenaga dan pikiran kaum proletar, yang sebenarnya adalah teman seperjuangannya di Permasi.
Dari semua pemuda Permasi yang pernah memiliki cita-cita menjadi pelopor kemajuan, tapi akhirnya hanya menjadi tokoh figuran bahkan untuk kemajuan diri mereka sendiri, yang paling sejahtera adalah Rusliadi dan Yakin Luganda; Rusliadi, setelah tidak memiliki jabatan apa pun di Permasi, pergi ke pondok seorang kiai di utara untuk mendalami ilmu agama dan tafsir al-Qur’an. Setelah dua tahun tinggal di pesantren dan pintar membaca kitab kuning dan bahkan beberapa kali diundang menjadi narasumber dalam kajian-kajian kitab Ibnu Atha’illah as-Sakandari, ia berhenti dari pesantren dan bekerja menggarap sawah di dekat rumah mertuanya.
Yang tidak kalah makmur dari Rusliadi adalah Yakin Luganda. Setelah sukses dengan Toko Kenangan yang didirikannya, Yakin Luganda hijrah ke Ibu Kota untuk mencalonkan diri sebagai ketua pusat Permasi. Setelah tiga tahun memimpin Permasi Pusat, Yakin Luganda ditunjuk menjadi staf ahli anggota dewan nasional selama dua tahun, dan empat bulan yang lalu, melalui jaringan orang dalam yang kuat, ia dipanggil untuk menjadi salah satu staf khusus pemerintah. Meskipun hanya sekali muncul di layar kaca televisi—itu terjadi saat Presiden memperkenalkannya untuk pertama kali ke publik—ia sangat bahagia dengan posisi itu: posisi yang hampir semua orang Permasi menginginkannya, tapi sebagian besar dari mereka hanya berkomentar sumbang karena kesempatan itu tak jatuh tepat di pucuk hidung mereka.
Sekali lagi, Musthafa mengisap rokok dan menyemburkan asapnya membentuk bulatan-bulatan kecil yang melesap di udara. Sekar meletakkan tangannya di atas meja. Ia lega meja itu kini hening. Ia tak perlu lagi berpura-pura mendengarkan cerita Musthafa. Ia mengucapkan terima kasih, karena Musthafa sudah menyampaikan informasi yang sudah lama tidak ia dengar. Setelah kejadian mengenaskan itu, kejadian yang mengambil seluruh energi pikiran dan psikisnya, kejadian yang membuatnya tak bisa lagi melihat “laki-laki itu”, ia tak peduli lagi dengan informasi apa pun tentang Permasi. Mengingat ini rasanya ia ingin menangis. Ia melihat ke utara, mencurahkan konsentrasi pada puncak gunung Arjuno yang berada dalam lingkaran awan senja yang indah, dan semakin indah saat cahaya matahari menerpanya. Ia semakin takjub ketika di ujung senja yang cerah itu ia melihat kafe-kafe sudah dipenuhi banyak orang. Mereka orang-orang yang cepat merasa bosan tinggal di rumah, di kamar-kamar kos yang sempit, dengan cita-cita masa depan yang serupa kastil mimpi.
“Ya ampun, aku serius,” kata Musthafa. “Apa kamu punya kabar tentang laki-laki itu?”
“Laki-laki yang mana?” tanya Sekar. “Ada banyak laki-laki yang kamu bicarakan dari tadi.”
“Kael.”
Sekar bertanya apakah jawabannya penting bagi Musthafa. Ketika Musthafa menganggukkan kepala dan berkata bahwa setiap hal yang berhubungan dengan perempuan yang ia cintai sangat penting, Sekar sempat menyunggingkan senyuman kecut. Omongan Musthafa sungguh manis. Manis yang bercampur bau bacin. Musthafa terus bercerita tentang Kael, seperti seorang pengagum yang berkisah tentang idolanya yang berasal dari galaksi lain. Dari cerita tentang Kael ia beralih pada novel Darah dan Mimpi yang ditulis K. Itu novel pertama K, katanya, novel pertama yang membius, yang kelam, yang penuh kesedihan. Tidak sepenuhnya kelam, tidak sepenuhnya sedih, tapi berkumpul jadi satu, menjadi saru. K menulis gambaran menyendihkan tentang cinta yang patah dan penuh darah. Buku pertama yang Musthafa baca hingga selesai tentang rasa sakit dan perjuangan untuk melepaskan. “Dengan alasan-alasan tertentu yang menurutku cukup bisa diterima,” katanya, “Mahrus Ali menghubung-hubungkan K dengan Kael. Kamu ingat Mahrus Ali? Dia satu-satunya teman kita yang paling dekat dengan Kael. Tokoh Aku novel ini memang tidak seluruhnya bisa disamakan dengan sosok Kael, tapi di beberapa bagian, entah kenapa Mahrus Ali, juga aku, menemukan gambaran nyata tentang Kael, tentang kamu, tentang kita.”
“Maksudmu, kamu mau bilang kalau Kael masih hidup?” tanya Sekar. “Kael sudah mati. Kita semua tahu itu.”
“Tidak, tidak, tidak,” kata Musthafa. “Yang kita tahu selama ini Kael hilang. Hanya itu. Kita tak pernah mendengar Kael meninggal.”
“Hilang selama bertahun-tahun sudah cukup untuk menjelaskan bahwa dia sudah mati.” Lalu, Sekar diam.
“Tapi, menurutku, kamu perlu membaca Darah dan Mimpi,” kata Musthafa beberapa saat kemudian. Pembicaraan ini bisa saja tak berlanjut dan terus terngiang-ngiang seandainya Sekar tak berkata dengan enteng, “Setiap orang sudah punya jalan masing-masing. Aku tak perlu memiliki keinginan untuk tahu kehidupan orang lain sementara aku memiliki kehidupanku sendiri”; seandainya laki-laki itu tak terperangah dan berkata, “Kamu harus membacanya. Novel itu berisi cerita luar biasa. Harusnya tahun ini novel itu jadi pemenang penghargaan sastra nasional atau paling tidak masuk nominasi. Aku, memang tak suka Kael... dan anggap saja K memang bukan Kael. Dia orang lain yang kebetulan menulis cerita tentang orang-orang yang memiliki kerumitan hidup seperti kita.”
Sekar masih mendengarkan. Ia menganggap Musthofa menceritakan isi novel itu secara berlebihan, dan sebagai seseorang yang sedang belajar cara berpolitik Musthofa memiliki keahlian itu. Boleh dibilang bukan keahlian mengarang, tapi lebih ke arah membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya tidak lebih dari seujung kuku. Ia berpendapat demikian bukan lantaran ia sudah bosan membaca karya sastra atau lainnya, tapi di tengah kondisinya yang sekarang, ia lebih ingin melakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya berada dalam ketenangan. Dan orang yang ada di hadapannya sekarang tak mengerti apa yang ia inginkan.
“Kamu pergi demi dia. Kael. Aku tahu, aku tak perlu merasa kacau, dan aku sudah memaafkan diriku sendiri karena pernah membenci teman sendiri hanya karena dia telah mengambil perempuan yang kucintai.”
“Aku harus mengatakan ini kepadamu. Ada hal yang perlu kuluruskan dan kamu harus mendengarnya. ‘Laki-laki itu’ tak pernah mengambil apa pun atau siapa pun dari kamu—aku bukan barang yang dengan seenaknya bisa diambil untuk kemudian dibuang,” kata Sekar merasa tak tenang membiarkan Musthofa berbicara seenak mulutnya sendiri. “Kamu tak perlu merasa seperti seseorang yang telah didzalimi. Ketika seorang perempuan pergi dari sisimu ke sisi laki-laki lain, itu bukan berarti laki-laki itu mengambilnya dari kamu. Seharusnya saat itu kamu merenung, apakah kamu cukup pantas untuk dipertahankan atau tidak. Kalau perempuan itu merasa kamu pantas dipertahankan dan diperjuangkan, dia tak mungkin pergi.”
“Ya ampun, Sekar,” kata Musthafa yang berdiri dengan ekspresi wajah penuh kemenangan sehingga Sekar merasa kaget dengan kelakukan laki-laki itu. “Bahkan setelah sekian tahun kalian tidak bertemu dan berbagi kabar satu sama lain, kamu masih bisa berkata atas namanya.”
Sekar mengerti perkataan Musthafa, dan kebencian yang membludak kepada Kael tak pelak lagi merupakan emosi yang terkuat dalam hidupnya, emosi yang membentuk harga dirinya. Entah sejak kapan ia mulai bicara tentang harga diri. Yang jelas ia tak sepenuhnya menerima penilaian Musthafa. Ia lalu memberikan senyuman hambar pada laki-laki itu dan dengan ekspresi wajah sinis yang coba ditahan ia berkata, “Aku serius, Musthafa. Kamu tak perlu melempar comberan ke wajah orang lain atas kekeliruan yang kamu lakukan sendiri.”
Musthafa berhenti terkekeh. Sekar melemparkan pandangannya ke sebuah kafe penuh lampu kecil warna-warni yang terletak di dekat menara telekomunikasi. Memandangi orang-orang yang masuk ke kafe yang tampak murahan itu Sekar membaca sesuatu yang lain dalam kalimat yang keluar dari mulut Musthafa: laki-laki itu tidak menghargainya sama sekali, seperti kebanyakan pikiran laki-laki yang menganggap perempuan sebagai babu, tokoh kedua dalam setiap cerita, dan oleh sebab itu harus selalu bersembunyi di balik ketiak mereka.
***
Yang pertama Sekar lakukan begitu Musthafa meninggalkan kafe adalah berpikir kapan tepatnya ia sadar bahwa penulis novel berinisial K itu kerap dikaitkan dengan seseorang yang sudah mati, Kael. Ia berusaha untuk tidak tahu terlalu banyak tentang segala hal yang masih memiliki sangkut-paut dengan Kael, dengan laki-laki yang sudah menghilang, mati, dihilangkan, atau apa pun istilah yang tepat untuk menggambarkan ketiadaannya yang misterius. Ia bersikap begitu karena tak ingin terlihat jatuh.
Ia meninggalkan kafe pada pukul setengah delapan malam, meninggalkan lampu-lampu yang membebaskan beban pikirannya meskipun hanya beberapa jam. Ia membenahi isi kepalanya saat melintas di dekat Apartemen Begawan, dan ketika sebuah mobil mewah masuk ke gedung itu ia menyadari sesuatu, bahwa pembicaraannya dengan Musthafa tak mengubah pandangannya tentang kebahagiaan. Bahkan kini, ketika terlintas di kepalanya bahwa mungkin hanya dia perempuan yang tak kunjung memiliki anak setelah menikah bertahun-tahun, ia merenungkan betapa pernikahannya tak mendatangkan kedamaian lebih-lebih kebahagiaan yang kerap dibicarakan banyak orang. Banyak orang mengatakan kepadanya kalau menikah akan mendatangkan perasaan tenang dan damai, menjadikan hidup lebih bahagia.
Mengingat kata-kata itu ia merasa ingin muntah. Kebahagiaan diperoleh bukan karena menikah, tapi karena berdamai dengan diri sendiri. Siapa pun yang menikah, kalau ia belum bisa berdamai dengan kenyataan, dengan dirinya sendiri, ia tidak akan pernah bahagia. Meskipun Jumila berkali-kali mengatakan kepadanya bahwa cinta tumbuh seiring seringnya bersama, tapi ia merasa, ia bukan orang yang bisa dengan begitu mudah jatuh cinta. Buktinya, setelah sepuluh tahun menikah dan tidur di atas satu ranjang dengan suaminya, yang tumbuh di hatinya adalah kebencian alih-alih cinta.
Ketika renungan ini selesai Sekar sudah melintas santai di dekat kantor Permasi. Bangunan itu terlihat gelap karena lampu di teras depan mati. Lampu teras depan memang tak pernah dipasang, bahkan sejak sebelum Sekar bergabung. Ia berdiri di depan gedung itu tanpa ada seorang pun yang mengenalinya, bahkan untuk sekadar melirik wajahnya. Ia memandangi gedung itu dari seberang jalan dan mengingat-ingat kembali apa yang pernah terjadi di gedung itu. Dalam sekejap ia sudah mengumpulkan seluruh ingatannya yang ternyata masih utuh setelah bertahun-tahun berlalu. Ia mengingat semua itu seperti kepingan-kepingan puzzle yang saling bertalian.