Malam Penghabisan

LF
Chapter #4

Pertemuan Pertama

4

Pertemuan Pertama

 

Sekar lahir di Kanigoro, Kediri, pada suatu petang beberapa menit sebelum fajar menyembul di langit timur, pada pertengahan tahun 1986. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Dua kakaknya Badali dan Mayasari. Badali bekerja sebagai satpam di sebuah bank swasta, sedang Mayasari seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus dua anaknya yang baru berumur sepuluh dan lima tahun. Sekar dilahirkan sebagai seorang anak yang aktif, dan sejak diberikan keleluasaan untuk bermain di halaman rumah, ia lebih banyak dikelilingi anak laki-laki. Sejak usia tiga tahun ia sudah memiliki daya tarik yang mampu membuat kedua orang tuanya tersenyum bahagia dan kakak-kakaknya jengkel setengah mati menghadapi tingkahnya. Ia usil dan pandai menari. Di sekolah, ia kerap memenangkan lomba menari, dan yang pasti, juga menyihir orang-orang dengan pesona kecantikannya.

Jauh sebelum menyadari bahwa ia memiliki paras yang cantik, ia tahu kecantikan tidak bisa dijadikan satu-satunya tumpuan untuk menjalani kehidupan yang keras. Ia punya pandangan sendiri tentang dunia bahwa di atas langit masih ada langit. Ia tak peduli pada pendapat dan ketakjuban orang-orang kepadanya. Ia bertingkah seperti anak-anak seumurannya, kerap membuat Mayasari gemas dan tak jarang jengkel kepadanya. Ia akan mengerlingkan matanya dengan jenaka, menowel hidung Badali, atau yang lebih sering menggigit pantat Mayasari yang sebesar buah labu saat Mayasari menimba air ketika mereka mandi di sumur belakang rumah. Kadang, ia menyelinap ke belakang kursi dan mencubit pantat laki-laki yang mengapeli Mayasari tiap Sabtu malam.  

Senyuman Sekar adalah yang termanis di antara senyuman anak-anak perempuan di usianya. Bibirnya dipahat dengan bentuk yang indah. Setiap ibu-ibu yang berpapasan dengannya akan berkata, duh ayune. Ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki akan berkata, gelem ya sampean tak tunangne karo anak lanangku? Sedangkan ibu-ibu yang tidak memiliki anak laki-laki akan berkata, coro aku duwe anak lanang. Dan setiap kali melihat Sekar berjalan di sisi ibunya dengan tanpa malu mereka akan berkata, Duh pantesan anake ayu, bake nurun ayune ibuke.

Sekar masih belum cukup mengerti akan maksud pujian-pujian yang datang kepadanya. Terlebih lagi Arum tak pernah membahasnya ketika ia duduk di dapur membuat kue dadar gulung dan kue lapis, yang akan dititipkan toko-toko untuk dijual, sementara Sekar hanya duduk di lantai bermain congklak. Sore hari Sekar duduk teras rumah menunggu Pujiono, bapaknya, pulang dari ladang. Sebelum melihat Pujiono muncul di ujung halaman ia tak akan berhenti mengusili kedua kakaknya sampai Arum menarik lembut tangannya dan menceritainya dongeng Timun Mas. Di hari-hari terakhir Sekar tinggal di Kanigoro, ketika sedang membuat jajanan pasar, Arum berkata seolah kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah memaksa anak-anaknya menjadi seperti dirinya, seorang perempuan yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima apa yang sudah digariskan. Arum berjanji akan membiarkan anak-anaknya memilih masa depan mereka sendiri. Bertahun-tahun kemudian ketika Sekar mengenal puisi, ia memiliki pendapat bahwa perkataan Arum ini adalah terjemahan bebas dari puisi Khalil Gibran: Your children are not your children. They are the sons and daughters of Life’s longing for itself. Sejak itu ia paham apa yang dikatakan Arum, dan ia tahu arti penerimaan sejak saat itu.

Arum adalah perempuan paling sabar. Ia bangun pagi, membuat kopi untuk Pujiono, memasak, menyajikan sarapan di meja makan, dan melakukan segala hal yang termasuk ke dalam tugas seorang istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Ia melakukan semuanya tanpa sedikit pun rasa sesal dan lelah. Semua dilakukan dengan sikap penerimaan seorang perempuan yang berbakti kepada suami dan leluhur, atau sebenarnya pada institusi pernikahan. Arum perempuan yang cantik sejak dari rahim. Tapi, sebagaimana banyak perempuan lainnya, ia tidak bisa memilih dalam hal pernikahan. Ia dijodohkan dengan laki-laki lain saat ia sedang menjalani masa-masa pacaran yang manis dengan teman kelasnya di sekolah menengah pertama. Ia dipaksa menikah dengan laki-laki yang tak dikenalnya selepas ikut ujian, dan laki-laki itu adalah Pujiono, seorang laki-laki yang sudah membuatnya melahirkan tiga orang anak.

Sebagai seorang gadis Arum hanya bisa menerima perkawinan itu, meskipun, sebagaimana yang dikatakannya kepada Sekar, ia sedikit pun tak pernah mencintai Pujiono. Ia memang melayaninya setiap malam, melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, tapi ia tak pernah melakukannya dengan suatu perasaan yang disebut cinta. Ia melakukannya semata untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga tidak tahu apakah ia masih pantas menyebut dirinya seorang istri setelah apa yang dilakukannya pada Pujiono selama ini, bahwa ia tak pernah mencintai laki-laki itu, bapak dari anak-anaknya. Di kampung tempatnya tumbuh besar memang lumrah seorang gadis dijodohkan dengan lelaki yang tak dikenal, terutama di tahun-tahun ketika aliran listrik belum masuk ke pelosok-pelosok, ketika Arum belajar dibantu damar templek sebagai penerang di malam hari.    

Jauh sebelum berusia tiga belas Sekar tahu bahwa ia memiliki sesuatu yang lain dalam dirinya. Ia dapat melihat hal-hal yang tak tampak. Satu waktu di awal suatu petang di rumahnya, ia melihat bayangan seorang gadis berambut panjang berjalan ke kamar mandi. Itu mungkin bukan bayangan, melainkan sesosok tubuh yang gaib. Ia dua kali melihatnya di waktu yang berbeda. Sejak saat itu ia tahu kalau rumah itu ada penunggunya, seorang gadis kecil berambut panjang warna legam. Mengenai ini, ia pernah mengadukannya kepada Arum, dan wanita yang seolah tidak pernah ceria itu, kecuali di depan anak-anaknya, membenarkan kalau di depan kamar mandi rumah mereka memang terdapat hantu gentayangan seorang gadis. Arum mewanti-wanti kepada Sekar kalau hantu gadis kecil itu tidak pernah mengganggu manusia. Walau bagaimanapun Sekar ketakutan melihat bayangan-bayangan yang tak dapat dilihat orang lain. Tapi, lama-kelamaan ia mulai terbiasa dengan kemampuannya itu. Ia tidak bercerita kepada siapa pun, dan tak ada orang yang tahu akan hal itu selain Arum dan Pujiono. Bertahun-tahun kemudian ia memahami sesuatu. Manusia tidak pernah hidup sendiri. Manusia hidup berdampingan dengan makhluk lain dari alam yang berbeda.

Tidak hanya itu. Pada akhirnya Sekar juga diberitahu kalau ia tak hidup dengan dua orangtua, melainkan empat. Selain Arum dan Pujiono, ia memiliki sepasang orangtua lain yang sudah mengasuh dan mengambilnya sebagai anak sejak masih bayi. Sepasang orangtua—kemudian Sekar menganggapnya tidak berbeda dengan orangtua yang sudah melahirkannya ke dunia—itu adalah Suwarno dan Jumila. Jumila adalah saudara kandung Arum. Tapi ia tidak memiliki keberuntungan untuk melahirkan seorang anak pun selama hidupnya. Rahimnya kering. Itulah musabab kenapa kemudian ia dan Suwarno memutuskan untuk mengadopsi anak dari saudara kandungnya.

Di Kediri, rumah dua bersaudara yang sudah menikah itu hanya terpisah dua desa. Mereka hidup dari menanam padi di sawah. Rumah-rumah dibangun seadanya, dengan atap-atap rendah dan halaman-halaman luas yang gersang di musim kemarau. Di luar musim hujan, udara begitu panas. Itu membuat Kediri seperti sangat dekat dengan matahari. Ketika tahun 1986 Suwarno dan Jumila pindah ke Lowokwaru, itu bukan lantaran suhu udara Kanigoro yang panas, melainkan karena ingin menjauhkan diri dari trauma akan peristiwa yang pernah terjadi di desanya. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu ketika ia mengikuti pelatihan kaderisasi yang diadakan Pelajar Islam Indonesia. Saat itu usianya masih delapan belas dan sedang semangat-semangatnya mengikuti beragam kegiatan pendidikan. Ia sangat ingat. Hari itu masih gelap ketika ia dan teman-temannya berada di asrama sekolah dan bersiap mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan. Ia memegang buku catatan warna hijau dengan pen warna gelap yang sangat ia sukai.

Tapi malang tak dapat ditolak. Ketika semua sudah siap dan kegiatan diperkirakan akan berjalan dengan lancar, dari dalam ruangan ia dan peserta lainnya mendengar suara tembakan di luar, yang kemudian diikuti serangan mambabi buta oleh sekelompok orang terhadap asrama dan masjid. Pintu digedor. Jendela dipukul dan dihancurkan kacanya. Sejumlah orang memaksa masuk dan menyerang ruang pelatihan. Mereka meneriaki semua orang yang ada di ruangan sebagai antek Belanda, tidak lebih dari cecunguk Nekolim. Jumila takut bukan main. Ia melihat ke sekeliling dengan dua tangan berusaha melindungi badan dan kepala. Di pojok ruangan di dekat jendela paling ujung beberapa orang biadab itu berusaha merengkuh dua-tiga orang gadis yang meronta-ronta karena tak ingin disentuh. Di sudut lainnya beberapa gadis mengalami perlakuan yang lebih parah. Empat orang mendatangi mereka dengan kegagahan yang menjijikkan. Mereka meremas payudara dan menyingkap rok para gadis dengan sikap yang sama sekali tidak manusiawi. Pertunjukan yang memuakkan itu tidak berhenti. Para santri dan kiai digiring menyusuri pematang sawah di bawah ancaman palu, pentungan, dan senapan. Seorang santri dibunuh karena berusaha lari dan balik menyerang.

Ini adalah rentetan dari berbagai peristiwa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu ketika peran golongan sosialis mulai melemah di kursi kebinet. Keadaan ini mendorong Amir Sjarifuddin yang tidak setuju terhadap kabinet baru bentukan Hatta mendirikan poros oposisi yang diberinya nama Front Demokrasi Rakyat. Ia bekerjasama dengan organisasi-organisasi kiri macam PKI, BTI, dan Pesindo untuk mengeluarkan propaganda kekecewaan terhadap kabinet yang dibentuk Hatta atas perintah Soekarno. Pada saat yang sama, seorang lelaki bernama Muso, yang selama beberapa tahun menetap di Moskow pulang ke Indonesia dan menawarkan konsep politik ‘Jalan Baru’. Mereka bekerjasama untuk menyebarkan ajaran komunisme. Muso sendiri mengorganisasi massa, orang-orang yang merasa terpojok dan dirugikan, orang-orang yang tidak puas terhadap jajaran pejabat baru di kursi kabinet. Ia sasar orang-orang miskin yang berlagak membela kepentingan kaum miskin lainnya. Semua partai buruh berada di bawah kendalinya dan ia sendiri kemudian memimpin revolusi untuk mendirikan pemerintah front nasional. Daerah-daerah di pedalaman dikuasai dan mereka membentuk sebuah tim dengan mengatasnamakan diri sebagai pejuang revolusioner.  

Lihat selengkapnya