5
Wajahnya Seperti Oase Gurun Sahara
Di luar ruang wawancara Rumbini mengulurkan tangan persahabatan kepada Sekar. Mereka berbincang-bincang di luar kampus dan berakhir di kantor Permasi. Rumbini mengajak Sekar mengisi formulir penerimaan anggota baru. Dengan cara itu ia bertemu dengan banyak orang, dari yang pendiam hingga yang tak bisa berhenti bicara. Ia juga bertemu laki-laki yang datang bersama Rumbini, yang kemudian ia tahu bernama Yakin Luganda, ketua Permasi. Ada sekitar 43 anggota baru dari berbagai fakultas, dan dari Fakultas Pertanian hanya Sekar seorang.
Para pemuda Permasi menganggap bergabungnya Sekar sebagai anugerah. Wajahnya seperti oase di tengah gurun sahara. Mereka tak pernah melihat seorang Dewi yang mungkin hanya turun sekali selama seratus tahun. Para perempuan yang datang untuk menjadi anggota baru seperti sesendok gula yang jatuh di tengah kawanan semut. Setiap laki-laki di Permasi menggunakan keadaan ini untuk pamer apa pun yang mereka punya, mulai dari pengetahuan yang masih dangkal hingga omong kosong yang lesap seperti asap. Salah seorang yang turut mengambil keuntungan dari situasi ini adalah Yakin Luganda. Ia menganggap setiap orang yang baru bergabung sebagai kaleng-kaleng kosong yang perlu diisi. Ia mencoba memasukkan kebajikan-kebajikan ke dalam pikiran mereka. Ia satu-satunya orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk melakukan hal itu. Setiap sore ia duduk di bawah pohon muntingia calabura di depan kantor, duduk di atas kursi kayu panjang, menunggu anggota muda datang mengelilinginya, dan ia akan berceramah dengan fasih tentang Permasi, tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tentang bagaimana manusia membangun hubungan dengan realitas lain di luar dirinya.
Sekar belum pernah mendengar seseorang membahas Permasi sebaik itu sejak ia masuk universitas. Persisnya sejak ia dan 42 anggota baru lainnya dikumpulkan di suatu ruangan besar untuk mendapatkan pengenalan awal tentang apa itu Permasi. Akan tetapi, kepergiannya ke kantor Permasi pada hari Kamis sore yang cerah dua bulan setelah menjalani masa penerimaan anggota baru bukan karena ingin mendengarkan ceramah Yakin Luganda yang berapi-api, melainkan karena ia tak suka langsung pulang ke asrama. Selain kamar yang hening, perempuan-perempuan yang tak berhenti makan, dan selalu mengajaknya bicara tentang kecantikan—bagaimana ia memiliki kulit wajah yang bening dan bagaimana ia menjalani hidup yang seolah-olah jauh dari keburukan—tak ada yang benar-benar menarik di asrama. Ia kenal seorang perempuan bernama Laela. Setiap minggu Laela pulang ke rumah orangtuanya di Situbondo dan merupakan anggota senior Permasi. Laela suka sekali berdandan, memasang lipstik minor di bibir, dan kerap berpose di depan cermin. Gayanya lebih mirip tante-tante sosialita daripada seorang mahasiswa. Hal lainnya yang mencolok dari Laela terjadi pada suatu siang di ruang tengah. Ketika itu mereka tengah makan bersama—setiap blok di asrama memiliki ruang bersama yang digunakan untuk berbagai kegiatan. Tiba-tiba Laela yang duduk di sebelah Sekar melepaskan kentut yang mahadahsyat. Sebetulnya hal itu sangat tidak sopan, apalagi hal ini dilakukan oleh seorang perempuan dan pada saat mereka sedang makan bersama. Kejadian ini agak sedikit menghibur, tapi juga bikin risih dan menurunkan nafsu makan. Memang dasar Laela. Benar-benar bajingan perempuan satu itu.
Tidak pernah orang-orang mendengar seorang perempuan kentut saat makan, apalagi saat makan bersama. Anggota perempuan senior yang lain, Munatun, jelas sekali mendengar letusan kentut itu. Mukanya langsung ditekuk, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun masuk ke kamarnya di ujung koridor. Munatun kerap menghabiskan waktu di kamar, dan beberapa kali mengerang kesakitan pada bagian kepalanya. Suatu hari ia membentur-benturkan kepalanya ke pintu lemari sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Orang-orang di asrama segera membawanya ke rumah sakit. Tapi dokter tak mengeluarkan diagnosis pasti. Katanya, Munatun hanya perlu istirahat. Kepalanya terlalu capek bekerja. Orang-orang bilang, Munatun memang sering sakit kepala sebelah. Kata mereka lagi, Munatun terlalu banyak memikirkan keluarganya di kampung dan kenyataan-kenyataan yang selalu direnunginya macam menonton film atau buku fiksi. Banyak yang mengakui, Munatun kerap mengidentifikasi diri dengan buku-buku yang dibacanya. Buku-buku itu dibaca bukan dijadikan tambahan pengetahuan, tapi sebagai pengokoh dan dalil yang valid untuk jiwanya yang rapuh. Setelah kejadian kentut yang meletus itu Munatun tak pernah mau lagi makan bersama, tak bertegur sapa dengan Laela, dan tak datang lagi pada setiap kegiatan Permasi. Setengah mati orang-orang mendesak si bangsat Laela untuk meminta maaf kepada Munatun, kalau perlu mengemis-ngemis agar mereka berbaikan lagi. Tapi Laela tak mau. Ia beralasan tidak sepatutnya hanya gara-gara kentut hubungan mereka harus berakhir, apalagi mereka sudah bertahun-tahun tinggal di asrama.
Di tempat dan lingkungan seperti itulah Sekar tinggal. Kadang-kadang menyenangkan berada kembali di asrama, tapi juga jengkel bukan main kalau pada saat sedang belajar Laela masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu, lalu meledakkan kentutnya tanpa merasa bersalah. Kalau sudah seperti itu biasanya Sekar keluar kamar untuk mencari Rumbini. Atau kalau tidak ada, ia akan masuk ke kamar Mei dan mendekam di situ sampai bau kentut Laela hilang dari kamarnya.
Ketika pada Kamis sore yang cerah itu Sekar pergi ke kantor Permasi, ia tahu, jika pulang ke asrama ia hanya akan bertemu Laela, dan perempuan bangsat itu tak akan pernah berhenti masuk ke kamarnya tanpa permisi. Tak hanya kentut, Laela juga akan berkacak pinggang di depan cermin, memonyongkan bibir, dan berlagak seolah-olah sedang di kamarnya sendiri. Laela iri dengan kecantikan Sekar, sehingga apa pun yang dikenakan Sekar selalu ditirunya. Ia selalu mengambili baju-baju milik Sekar baik yang menggantung di dinding atau yang ada di lemari kemudian mengenakannya. Setiap kali Laela mengacak-acak seisi kamarnya, melakukan apa yang tak seharusnya, rasanya ingin sekali Sekar meradang atau menendang pantat perempuan itu. Tapi ia tak mungkin melakukannya karena Laela adalah senior. Lagi pula, untuk alasan-alasan tertentu ia tak mungkin bertindak barbar.
Sekar duduk di aula dengan pembawaan tenang sambil memegang buku puisi Neruda. Ia menyukai surat-surat yang ditulis Kartini, tapi ia juga sangat suka puisi-puisi Neruda yang penuh kemuraman. Ia membaca sajak Neruda sekali lagi: Kenangan tentangmu muncul dari malam di sekelilingku. Sungai membaurkan ratapannya yang tak henti dengan laut. Ditinggalkan seperti dermaga di waktu subuh. Ini adalah jam untuk berangkat, oh yang ditinggalkan!
Kemuraman yang sempurna. Semuanya menjadi begitu dalam. Menyatu dalam ketidakpastian. Sebuah ruang gelap yang tak sepenuhnya gulita. Ia bisa merasakan ambiguitas yang paripurna atau kebebasan paling mutlak. Pengalaman yang tak pernah ditemukannya sampai ia ketemu pada puisi, pada sastra. Ia seperti dihantarkan pada kenangannya di Kanigoro, tentang Pujiono dan Arum, masa-masa ketika ia ikut membuat kue dadar gulung, rumahnya yang menghadap jalan raya kecamatan. Tiba-tiba saja, begitu ia selesai dengan ingatan itu, Yakin Luganda dan Rumbini datang membawa kalung dan lencana Permasi. Yakin Luganda mencoba menjelaskan kebajikan orang-orang Permasi, kearifan-kearifan yang selalu dijaga sampai sekarang. Yakin Luganda jadi narator untuk meyakinkan Sekar bahwa ia tak duduk di tempat yang salah. Kata Yakin Luganda, tujuh pendiri Permasi adalah orang-orang yang berintegritas, dan mereka dielu-elukan sebagai orang yang memiliki tempat terhormat di tengah-tengah umat. Ketua pertama Permasi, ucap Yakin Luganda, dipilih pada saat orangnya tidak hadir di ruang rapat. Orang itu berada di luar negeri. Meskipun begitu seluruh peserta musyawarah sepakat memilihnya sebagai ketua.
Orang yang dimaksud Yakin Luganda adalah Djunaedi, salah satu pendiri dan ketua pertama Permasi yang fotonya dicetak sangat besar dan ditempel di ruang utama gedung-gedung Permasi di berbagai kota. Semua orang mengenalnya, meskipun tak pernah sekali pun bertemu. Djunaedi dan enam pemuda lainnya mendirikan Permasi pada masa ketika ekonomi nasional carut marut dan politik menjadi primadona. Itu tahun 1960. Hampir semua pemuda terjun ke ranah politik, bahkan tak sedikit organ mahasiswa yang menjadi antek partai. Tak ada dari mereka yang tak ingin terjun ke dunia ini. Mereka bergabung dengan organ-organ pemuda untuk kemudian naik level menjadi kacung partai, agar nama mereka dimasukkan ke dalam jajaran kebinet pemerintah, sehingga persaingan dengan bumbu-bumbu gesekan antar organ mahasiswa menjadi tak terhindarkan. Tujuh orang pemuda yang tak suka dengan organ-organ pemuda yang terlalu dekat dengan partai memilih keluar dari barisan dan mendirikan Permasi. Tidak sampai setahun kemudian Djunaedi pergi ke berbagai pelosok daerah, termasuk ke Lowokwaru untuk mendirikan cabang baru. Di gerbang masuk Lowokwaru ia diterima oleh pemuda-pemuda seperti seorang pahlawan karena telah mendirikan organisasi non partai yang mampu menjawab kesegelisahan mereka, sebuah organisasi berhaluan Aswaja, dan jelas sekali secara ideologi organisasi itu berpihak pada partai tertentu. Djunaedi dijabat tangannya nyaris seperti orang paling mulia di hadapan kaum jelata. Mereka diskusi di sebuah kamar sangat sempit milik salah satu pemuda yang indekos di Jalan Merdeka Barat hingga menjelang Subuh. Setelah kunjungan itu Permasi cabang Lowokwaru didirikan dengan begitu khidmat. Djunaedi sendiri yang meresmikannya.
Sebetulnya, sejak memasuki halaman gedung Permasi untuk kedua kalinya, Sekar sudah mengetahui cerita itu. Ia telah mendengarnya dari beberapa orang yang berniat memamerkan pengetahuan mereka soal cerita-cerita menegangkan yang terjadi di masa lalu. Sebuah cerita yang selalu diulang-ulang sehingga mereka terkesan tak punya pengetahuan baru selain yang sudah mereka ceritakan berulang kali, tentang Djunaedi yang tak ada tandingannya, yang seorang wartawan dan kolomnis surat kabar, satu-satunya orang yang terpilih sebagai ketua pada saat orangnya tidak sedang di ruang pemilihan. Itu terdengar seperti sesuatu yang luar biasa. Hanya orang-orang luar biasa yang diperlakukan istimewa seperti itu. Semua itu terus menerus dibangga-banggakan karena generasi lain setelah Djunaedi tak ada lagi yang bisa menyamai jejaknya, tak dipilih berdasarkan keluarbiasaannya melainkan berdasarkan kompromi politik para senior yang sudah dianggap semacam dewa. Yang jelas, setiap kali ada orang yang berbicara tentang Djunaedi dengan penggambaran yang mendekati berlebihan bahkan tak masuk akal, Sekar langsung melengos.
Begitulah yang terjadi ketika Yakin Luganda menceramahinya lagi soal sepak terjang Djunaedi. Bukan ia tak suka, tapi ia sudah terlanjur bosan mendengar cerita yang sama hampir tiap hari. Maka, setelah menyimak ceramah yang membosankan itu Sekar pulang ke asrama. Ia yakin tak ada sesuatu yang istimewa dari Permasi. Setidaknya sampai detik itu. Tetapi setibanya di asrama, ketika merebahkan diri di atas kasur, Sekar menyadari sesuatu. Ia menjadi anggota muda Permasi karena Kael yang menyuruhnya. Laki-laki itu mengatakannya pada pertemuan pertama mereka di ruang wawancara. Sebagai mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa tentang dunia kampus Sekar berjanji akan mengikuti arahannya, dan janji harus ditepati. Masalahnya, ia tak pernah bertemu lagi dengan Kael. Ia sudah berkali-kali bertemu pemuda-pemuda Permasi, tapi tak sekali pun dengan laki-laki itu. Kata orang-orang, Kael tak pernah menyapa anggota muda apalagi perempuan. Masih kata orang-orang, Kael memiliki dunianya sendiri, sebuah dunia yang jauh, asing, dan tak tertembus. Bahkan kalau boleh digambarkan, sebut mereka, Kael seperti sebuah karang di tengah laut. Kokoh. Sendiri. Tak ada yang berani mendekati.
Meskipun begitu Sekar tak peduli. Ia tak punya urusan dengan laki-laki itu. Ia bergaul dengan orang-orang yang terbuka kepadanya, berolahraga di hari Minggu pagi dan meladeni Musthafa yang tak bosan mengajaknya mengobrol di emperan stasiun kereta api. Musthafa bicara apa saja, mulai dari pergaulan di kampus, dosen-dosen pembunuh mental mahasiswa, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan dan keluarga Sekar. Jika dilihat-lihat, sebetulnya tak ada yang istimewa pada Musthafa. Bagi Sekar, laki-laki itu terlalu mudah untuk takluk pada kecantikan seorang perempuan dan ia tahu laki-laki itu mengincarnya. Ia tidak berusaha menolak atau menghindar. Ia sudah terbiasa menghadapi laki-laki yang diracuni kegilaan akan kecantikan wajahnya. Laki-laki seperti Musthafa akan sangat mudah untuk runtuh bahkan sebelum perang terjadi.
Musthafa. Nama lengkapnya Saiful Musthafa. Laki-laki itu berusia 21, berkulit sawo matang, dan berambut cepak persis seorang tentara. Ia memang sempat mendaftar jadi tentara, tapi gagal karena tak sanggup membayar biaya tambahan—di sekolah ketentaraan, mereka yang lolos ujian tetap harus mengeluarkan biaya tambahan. Ini bagian dari prosedur atau bukan, tak ada yang bisa mencernanya dengan baik. Gagal jadi tentara, Musthafa berangkat ke Malaysia, bekerja sebagai kuli bangunan. Ia menjual sapi dan dua ladang orangtuanya demi berangkat secara legal. Memang benar, selama bekerja di luar negeri ia tidak dikejar-kejar pihak keamanan. Ia bisa tidur nyenyak di malam hari tanpa terganggu oleh penyergapan terhadap pekerja ilegal.
Setahun bekerja di Malaysia ia menghasilkan banyak uang. Ia kirim sebagian dari uang itu ke orangtuanya di Bangkalan. Dua tahun ia di Malaysia. Lalu, di pertengahan tahun ketiga ia pulang ke Indonesia, memutuskan untuk kuliah meskipun gagal menggapai cita-citanya menjadi prajurit. Menuruti keinginan orangtuanya agar kelak menjadi pegawai bank ternama, Musthafa masuk Fakultas Ekonomi. Sejak saat itu cita-citanya menjadi pegawai bank, tampil rapi dengan dasi di leher dan dikelilingi banyak keberkahan.
Musthafa tidak begitu pintar. Ia tahu itu. Selain cita-citanya diterima sebagai pegawai bank ia tak punya keinginan lain, seolah dengan menjadi pegawai kantoran ia sudah bisa mencapai separuh dunia. Ketika memutuskan untuk kuliah dan menghubungi seorang temannya, ia diperkenalkan lebih dulu pada Permasi, diperlihatkan gedung dan dikenalkan pada orang-orang di dalamnya. Dijelaskan kepadanya apa itu Permasi, untuk apa organisasi yang kini jadi sayap partai ini didirikan, dan apa saja yang sudah dilakukan pemuda-pemuda Permasi untuk masyarakat. Itulah kenyataannya. Sebelum ia mengenal dengan baik seluruh sudut kampus tempat ia akan menimba ilmu, ia sudah lebih dulu mengenal kebiasaan dan tabiat pemuda-pemuda Permasi.