Malam Penghabisan

LF
Chapter #6

Sekar Putih

6

Sekar Putih

 

Sekar mengatakan kepada Rumbini dan Mei bahwa Musthafa tipe pemuda yang bertindak jika persentase peluang berhasilnya lebih besar dari kemungkinan gagalnya. Mei coba bertanya tipe pemuda seperti apa yang disukai Sekar. Tak ada jawaban. Sekar tidak tahu pemuda seperti apa yang akan disukainya. Kadangkala, waktu masih lajang seorang perempuan benci asap rokok, tapi akhirnya bersuami perokok berat. Terkadang, ada juga perempuan yang menyukai seorang penulis puisi, tapi siapa sangka setelah menikah pemuda itu tak lagi membuat puisi untuknya. Tak ada romantis-romantisnya sama sekali. Sekar mengatakan kepada Rumbini dan Mei bahwa bukan itu yang ada di pikirannya sekarang. Lalu apa, tanya Mei. Sekar bilang, ia ingin membuka diri pada hal-hal baru. Ia berpikir, jika di hidupnya hanya ada Permasi, perdebatan kenapa anjing makan tulang, kenapa kucing mengeong, kenapa ia harus bergadang di kedai kopi sampai pagi hanya untuk menemukan arah gerak angin, ia tak akan menemukan apa-apa selain kesombongan karena statusnya yang seorang aktivis, seolah dengan menjadi aktivis ia jadi sakti dan tahu akan segala.

Lalu datanglah hal-hal baru itu. Rektor melalui direktur yang baru diangkat mengumumkan: kampus sudah mendirikan studio televisi dan sekarang sedang mencari mahasiswa-mahasiswa berbakat yang ingin bergabung menjadi tim produksi.

Sekar merasa ada yang menarik hatinya. Ia mendaftar sebagai pembaca berita. Seleksi berjalan mulus. Ia diterima. Untuk pertama kalinya ia merasa hidupnya berwarna, penuh tantangan, dan ia mulai mengerti arti sibuk. Ia semakin tahu bagaimana cara menikmati waktu yang semakin hari semakin padat. Ia benar-benar sibuk, bukan pura-pura banyak kegiatan. Meskipun begitu ia masih bisa membagi waktu dengan perkuliahan. Ia tetap mengerjakan tugas, pergi ke kebun untuk mengukur pertumbuhan tanaman yang diujinya, juga tidak berkurang frekuensi kedatangannya ke kantor Permasi. Ia jatuh cinta pada pekerjaannya, pada berita, kamera, buku dan puisi. Ia dengar dari Wahyu Pamulang, direktur televisi kampus yang dikontrak karena profesionalitasnya di bidang penyiaran, seseorang, apa pun pekerjaannya, harus membaca sastra agar mengerti bahwa di dunia ini terlalu banyak hal yang tak bisa dilihat menggunakan sudut pandang matematika.

“Sesuatu yang terlihat kadang berbeda jauh dengan kebenarannya, Dik Sekar,” kata Wahyu Pamulang. “Kebenaran tidak selalu berada dalam terang, boleh jadi ia tersembunyi di balik gelap.”

Sekar mengangguk sopan. Kata-kata lelaki 38 tahun itulah yang kemudian mendorongnya bergabung dengan komunitas sastra Katarsis tiga minggu kemudian. Teman-temannya di komunitas ini berasal dari berbagai kalangan. Ada sesuatu yang menarik dari cara mereka bercerita atau melihat sesuatu di balik kata-kata yang sepintas tampak tak terlalu penting. Mereka berdebat tentang esensi puisi yang ditulis salah satu anggota dan membandingkannya dengan puisi-puisi penyair semacam Pablo Neruda yang kelahiran Chili, Nizar Qabbani dari Damaskus, atau sesekali menyebut nama W.S. Rendra. Ada sesuatu yang Sekar tidak pernah temukan pada teman-temannya di luar komunitas ini: ramah, terbuka, dan bukan tipe orang yang pelit bertukar kebahagiaan dan buku-buku. Saat pertama datang ke pertemuan ini seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai pengasuh komunitas meminjamkannya novel 1Q84 karya Haruki Murakami. Novel itu tebal-tebal dan terdiri dari tiga jilid.

“Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita tak cukup hanya membaca kitab suci. Kita juga harus membaca puisi, membaca sastra, membaca konflik tokoh-tokoh dalam novel, agar kita bisa bercermin dan menghargai orang lain,” kata perempuan itu, yang kemudian Sekar tahu bernama Yaza. “Aku senang karena akhirnya kamu berada di sini,” katanya lagi. “Di sini, kami berbicara pengalaman yang luas dan mendunia, bukan hal-hal kecil yang timbul tenggelam dan menyisakan konflik internal-personal berkepanjangan seperti yang kerap terjadi di negara kita.”

Bertemu Yaza adalah keberkahan. Sekar memulai petualangannya dengan cara mula-mula berkenalan dengan karya-karya Charles Dickens dari Hampshire, Victor Hugo Besancon, George Orwell, dan juga George Eliot, yang dalam karya-karyanya lebih banyak menyelami pikiran manusia daripada sekadar menghadirkan plot yang luar biasa mengejutkan. Ia membuka diri terhadap banyak hal baru, membiarkan hatinya lebih lapang dengan membaca lebih banyak lagi buku-buku sastra. Ia dikelilingi teman-teman dan dosen-dosen yang mencintainya, yang berbagi lebih banyak kebahagiaan dan pekerjaan-pekerjaan menyenangkan. Ia terlibat dalam beberapa program riset universitas. Ia kian lebih sering pergi ke kampus untuk membantu merapikan berkas di ruang kerja kepala jurusan atau sesekali mengerjakan proposal karya ilmiah mahasiswa di kantin Fakultas Pertanian yang sama sekali tidak nyaman dijadikan tempat untuk berpikir serius karena hawa panas yang datang dari atap seng. Tapi ia tetap menikmati semua itu seperti ia menikmati puisi Neruda yang disukainya: Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman, berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!

Setiap kali selesai siaran, ia akan membuka buku puisi Neruda, terutama membaca penggalan sajak itu. Ia baca hingga hafal setiap katanya. Ia hafal setiap judul puisi Neruda dan nomor halamannya. Membaca puisi adalah cara yang baik untuk meregangkan otot, lorong sunyi yang bisa ia tempuh untuk menghindari usaha bunuh diri karena tekanan-tekanan yang datang dari tugas praktikum yang menumpuk, pertengkaran dengan Jumila, atau suasana rapat yang menegangkan. Puisi bukan sekadar kata-kata. Puisi adalah katarsis batin si penyair, disampaikan melalui bahasa yang berasal dari kata-kata yang tersusun dari huruf-huruf yang memungkinkan kata-kata menunjuk makna-makna tertentu. Kata-kata bersifat nisbi dan tak bisa berdiri sendiri. Bahasa puisi pasti berhubungan dengan diri dan jiwa si penyair. Itulah sebab kenapa Sekar dapat merasakan apa yang dirasakan Neruda dalam sajak-sajaknya. Ia merasakan kegelapan dan kesunyian yang ada di setiap sela kata. Sebuah kegelapan sekaligus kesunyian. Kegelapan yang mencekam. Kesunyian yang pilu.    

Tapi, pada suatu Kamis yang mendung, seusai menyelesaikan pekerjaannya di depan kamera, ia tak sempat membuka Sajak dan Soneta Cinta Pablo Neruda. Ia buru-buru melangkah pulang ke asrama karena takut terperangkap hujan. Hujan tahun ini sulit diprediksi. Kadang, dua hari tak hujan. Tapi keesokan harinya hujan datang sehari semalam tiada henti. Hujan terkadang datang sangat lebat selama tiga jam. Tapi juga kadang hanya gerimis seharian. Seperti yang Sekar khawatirkan hari itu, sebelum ia tiba di asrama hujan sudah lebih dulu menggeruduk bumi sehingga ia terpaksa berteduh di sebuah warung yang tidak jauh kantor Permasi. Warung itu berada di bawah pohon nangka besar dan tinggi. Dedaunannya berwarna hijau gelap. Sekitar seratus depa di belakang warung itu terdapat aliran sungai yang airnya berubah cokelat setiap kali turun hujan. Tahun lalu, di awal-awal musim hujan, jembatan di atas aliran sungai itu ambrol karena tak kuat menahan kiriman air dari lereng gunung Arjuno. Air bersih sempat tidak mengalir selama empat hari. Dua paralon besar PDAM ikut putus. Sekar melihat ke langit yang gelap, pada air yang terus berjatuhan di depannya, yang kemudian berbondong-bondong mengalir menuju gorong-gorong. Ia memeluk dirinya sendiri, memeluk kesendirian, ketakutan atau kecemasan akan hujan yang mungkin akan sangat panjang. Ia tak membawa sesuatu apa pun—tidak juga buku puisi Neruda yang selalu tersedia di dalam tasnya—dari ruang studio selain kesendirian. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah menunggu hujan yang baru mulai itu. Dilihatnya kantor Permasi yang tampak samar karena terhalang derasnya hujan. Tapi ia tak mau pergi ke sana. Ia takut di sana ia hanya akan menemukan kekosongan.   

Lalu, seperti ada sesosok bayangan yang tiba-tiba muncul, seorang laki-laki yang dikenalnya, seorang laki-laki yang pernah mewawancarainya di kantor BEM dulu, datang setengah berlari ke arahnya, ke arah warung, dan duduk di sebelahnya dengan tenang, tanpa menyapa bahkan untuk sekadar menoleh. Laki-laki itu bagai muncul dari balik hujan atau memang ia turun dari langit, seperti Adam, manusia pertama di bumi, yang katanya turun atau diturunkan ke bumi, lalu bertemu kembali dengan kekasihnya, Hawa, di sebuah tempat yang disebut Jabal Rahmah, yang juga berasal dari tempat yang sama, surga. Sekar memandangi laki-laki itu, memastikan bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang menyuruhnya bergabung menjadi anggota Permasi. Laki-laki itu tidak jangkung, tapi memang lebih tinggi darinya. Laki-laki itu juga biasa, tidak memukau, tidak cukup logis untuk dikatakan tampan, tapi memiliki aura wibawa yang luar biasa besar dengan pembawaan yang tenang, sehingga membuat Sekar merasa kikuk untuk membuka percakapan atau menyapa duluan.

Laki-laki itu diam saja memandangi objek-objek yang ada di depannya: tanah basah, tetes air hujan, kuyup dedaunan, dan sesekali menyilangkan kedua kakinya yang terkena basah. Mungkin sudah lima menit. Tapi laki-laki itu tidak menoleh sama sekali. Sekar beberapa kali memandangi laki-laki itu. Tapi orang yang dipandanginya benar-benar batu, kayu, atau tembok yang tidak merasakan apa-apa. Benar kata orang-orang, laki-laki itu tak pernah bertegur sapa dengan siapa pun, apalagi dengan perempuan. Benar-benar lelaki sialan. Dingin, sombong dan belagu. Ia jauh dari citra seorang laki-laki yang penuh perhatian, yang peka terhadap keadaan sekitar, yang peduli pada perempuan. Rasa-rasanya Sekar tak sudi jika kelak harus bekerja sama dengan laki-laki model begitu.

Lihat selengkapnya