7
Tempat Paling Neraka di Bumi
Suara jangkrik terdengar hingga ke kamar. Lampu-lampu menyala di dalam dan teras rumah warga. Dari atas ranjang Sekar memutar ulang bagian-bagian vila yang sempat ia rekam: pohon mangga di halaman depan, selokan, pohon bambu di sepanjang tepi jalan, kebun-kebun warga yang memanjang dan mulai diselimuti embun yang tampak seperti asap putih. Sampai di situ rekaman di kepalanya kembali ke sosok Kael. Baru dua minggu yang lalu mereka bertemu dan sekarang ia merasa laki-laki itu sudah berubah. Laki-laki itu tak sekali pun melihat ke arahnya. Itu wajar karena laki-laki itu seorang ketua, sementara ia hanya bendahara. Di Permasi, seorang bendahara tak pernah memegang uang. Lucu memang. Ia bertugas mencatat keluar masuknya uang, tapi tak sekali pun ia tahu dari mana uang-uang itu berasal. Yang ia tahu, semua uang yang dikeluarkan untuk acara tersebut datang dari Yakin Luganda. Tak pernah ia bertanya dari mana asal semua itu. Ia melakukan apa yang harus dilakukan hingga akhirnya ia berpikir bahwa keberadaannya sekadar pajangan.
Yah begitulah. Ia datang sebagai panitia walau pada kenyataannya ia merasa hanya menjadi pelengkap, orang yang tak benar-benar dibutuhkan. Ia ditunjuk untuk menjadi panitia atas rekomendasi Yakin Luganda karena hubungan persahabatannya dengan Rumbini. Meskipun begitu, pajangan tetaplah pajangan. Ia merasa tak berguna, tersingkirkan, kesepian, karena selamanya kenyataan itu akan terus terjadi di Permasi. Ia seorang perempuan, dan seorang perempuan hanya tukang pengaduk kopi. Ia telah mengamati, apa pun jabatan yang diemban kader putri Permasi—apakah Ketua Korps Kader Putri, bendahara, wakil ketua bidang SDM atau lainnya—pada akhirnya mereka akan berakhir di dapur dan kasur. Tidak semua memang, tapi sebagian besar begitu. Perempuan-perempuan di sekelilingnya selalu merasa bahwa mereka harus pergi ke dapur, menyeduh kopi, lalu menghidangkannya pada para lelaki. Ia telah melihat kenyataan itu pada Rumbini, Laela, Munatun, dan bahkan ia sendiri dalam beberapa kesempatan.
Sebagian besar perempuan pasti setuju bahwa mereka harus keluar dari balik ketiak laki-laki, bahwa perempuan harus berdiri di atas kaki sendiri. Tapi, kenyataannya, hanya sedikit perempuan yang bisa mempertahankan idealisme sebagai seorang perempuan yang kuat, karena sebagian besar yang lain selalu seperti daun berguguran setelah mengenal cinta dan rasanya bersentuhan kulit dengan laki-laki. Risna, misalnya. Perempuan cantik berkerudung itu tak aktif lagi di Permasi setelah tidur berkali-kali dengan pacarnya yang seorang mahasiswa Fakultas Teknik. Atau Agustina yang sangat aktif di tahun pertama, tapi kemudian tak pernah datang lagi ke kantor Permasi karena sebagian besar waktunya dirampas oleh seorang laki-laki yang usianya lebih muda dua tahun. Mereka kerap menghabiskan waktu berdua di sebuah vila di kaki bukit Klemuk, jauh di barat kota.
Sekar tak menganggap dirinya suci. Ia tahu, ia bukannya tak bergetar setiap kali berpapasan dengan Kael. Laki-laki itu memberi alasan lain kepadanya untuk duduk di ruang bersama hanya untuk mengetahui seperti apakah laki-laki bernama Kael itu. Itu sebuah keterpesonaan yang tak masuk akal, sejujurnya. Ia mencuri-curi pandang pada laki-laki itu, menunggunya duduk sendirian, lalu ia berencana akan mendatanginya dan mengajaknya makan di teras sambil menikmati langit yang memerah di ujung senja. Tapi, setelah sekian lama menanti, pengorbanannya tak berbuah. Selalu saja ada orang yang mendatangi Kael dan mengajaknya mengobrol. Hal ini membuat Sekar tak berselera makan, bahkan meskipun sudah memegang nasi bungkus yang disodorkan panitia dari bagian pengadaan konsumsi. Pikirannya dipenuhi hal-hal lain, yang membuat jantungnya berdetak keras. Hanya di depan laki-laki itu ia merasa menjadi seseorang yang memalukan, yang membuatnya tak ingin melakukan apa pun, bahkan untuk mengisi perutnya yang kosong.
Ia duduk di sana sampai tak sadar bahwa ruangan itu sudah sepi. Ia merenungkan apa yang Kael kerjakan di luar sana, ketika mereka tidak ketemu, ketika mereka berjauh-jauhan. Setiap kali Kael datang dan duduk bersama panitia yang lain, Sekar merasa ruangan itu menjadi terasa sempit dan menekan-nekan dadanya. Namun ketika Kael menghilang, entah pergi ke mana, ia merasakan kehilangan, perasaan hampa yang luar biasa. Seharusnya ia merasa senang karena ruang bersama tak lagi menyesakkan, tapi yang terjadi ia malah merasa itu keadaan menyesakkan yang sangat ia nikmati. Ia menikmati jantungnya yang berdetak lebih keras, darah di sekujur tubuhnya yang mengalir lebih kencang, napasnya yang menderu, dan tentu saja tubuhnya yang menjadi seperti terbakar.
Sebuah perasaan yang belum berbentuk dan bernama mulai memperlihatkan tanda-tanda kemenangan, duduk di atas singgasana yang muncul untuk pertama kalinya. Itu keadaan yang sulit ditangani. Ia mencari-cari Rumbini—siapa tahu perempuan itu tiba-tiba muncul di pintu setelah selama beberapa hari belakangan tak kelihatan batang hidungnya. Menurut informasi dari Mei, Rumbini tiba-tiba menghilang dari rumahnya di belakang rumah sakit umum dan sampai sekarang tak ada yang tahu di mana perempuan itu tinggal—untuk diajaknya mengobrol sekaligus meleburkan ketegangan. Karena Rumbini tak kunjung terlihat, akhirnya ia menghampiri Mei yang sedang menggoreng tempe di dapur—dua perempuan lain yang ia tahu bernama Siti Maryam dan Huzaifah menyiapkan kue kering dan sebotol air mineral berukuran sedang untuk narasumber yang baru datang. Sekar mengajak Mei mengobrolkan apa saja, dari yang paling serius hingga yang paling remeh: tentang narasumber yang datang terlambat, si Ipul yang hanya bisa pasrah dipukul sekelompok anak-anak muda mabuk di tengah jalan lalu dilemparkan ke tengah ladang jagung, dan si Surul yang nyaris mati menahan malu ketika tahu sarungnya melorot dan jatuh ke tanah saat membeli bensin di SPBU.
Setelah pembicaraan berakhir, ia sadar, ia benar-benar kehilangan kendali. Selintas wajah Kael muncul di hadapannya, mengikutinya ketika dengan berat hati melangkah di depan Kael yang sedang mengobrol dengan Mahrus Ali karena cuma itu satu-satunya jalan untuk kembali ke kamar. Ia tak menoleh sedikit pun, tapi ia merasa Kael memperhatikannya. Mungkin ia terlalu percaya diri dan itu membuat kakinya hampir menendang gelas berisi kopi yang sudah ditepikan ke dekat tembok. Sesampainya di kamar ia merasa sedikit menyesal karena tak berusaha menangkap ekspresi Kael. Ia ingin memastikan sesuatu bahwa Kael memperhatikannya tadi.
Pukul 14.25 ia tinggalkan kamar untuk mengikuti rapat evaluasi di ruang bersama. Ia kebagian tempat di dekat pintu, selurus dengan Kael yang duduk di bawah papan tulis sejauh lima depa di hadapannya. Kael duduk dengan ekspresi tak bersalahnya, kokoh seolah tak terburai oleh suara-suara lain atau pemandangan-pemandangan menarik di hadapannya. Sekar merasa lebih dari cantik—ia memang cantik. Teman-temannya mengatakan kepadanya bahwa wajah yang ia miliki mewarisi kecantikan Sinta istri Rama atau Dewi Citrawati istri Arjunasasra—sehingga seharusnya Kael memandanginya sesekali, bukan malah memalingkan muka ke arah lain, seolah menganggapnya tak pernah ada. Apa Kael lupa bahwa mereka pernah mengobrol sangat panjang di sebuah warung ketika hujan tiba-tiba turun sangat lebat? Ia masih bertanya-tanya, kenapa Kael bersikap seperti tak pernah mengenalnya. Apakah karena sikapnya yang begitu orang-orang menganggapnya sombong?
Ia menunggu saat-saat di mana Kael akan melihat ke arahnya, menatapinya sejenak, lalu ia akan merasa takut jika laki-laki itu terus memandanginya sehingga ia menjadi salah tingkah dan tak tak tahu harus berbuat apa. Ia takut ada sesuatu yang salah pada dirinya, dan itu benar. Kesalahan terletak pada sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi seperti seorang anak gadis yang jatuh cinta pada pangeran yang hanya ada di negeri dongeng. Histeris, norak, dan kekanak-kanakan. Untuk yang kesekian kalinya Sekar membenci dirinya sendiri yang telah terpesona dengan cara yang menyebalkan, lebih tepatnya, memalukan. Ia tahu, Kael tak melakukan apa pun padanya. Kael tak mewarisi kegantengan pangeran Inggris, tidak mengucapkan kata-kata gombal sebagaimana laki-laki yang selama ini ia temui, menyogoknya dengan makanan mahal di sebuah restoran, memepetnya dengan mengajaknya menonton film di bioskop, atau membelikannya baju baru yang mewah. Kael hanya diam, sibuk dengan dunianya sendiri, seolah tak ada dunia lain selain yang sudah ia miliki dan yang akan dimiliki, dan tentu saja ia begitu kokoh untuk tidak meletakkan pandang ke arahnya, seakan-akan pembicaraan yang pernah terjadi di antara mereka adalah peristiwa yang tak pernah terjadi di alam nyata.
Ia menyadari kebodohannya yang takluk begitu saja di hadapan Kael yang sederhana, yang tak mengumbar apa pun selain sikapnya yang tampak dingin. Selain apa yang sudah tampak kepadanya, ia tak tahu hal apa lagi yang ada di pikiran Kael. Apakah Kael sengaja menjauh setelah tahu latar belakang keluarga dan kehidupan Sekar? Waktu itu seharusnya ia tidak bercerita banyak tentang kehidupan dan keluarganya sehingga masih tersisa sepenggal misteri yang membuat Kael penasaran dan terdorong untuk mencari tahu tentangnya. Kini, setelah semuanya menjadi terbuka, tak ada lagi yang tersisa tentang dirinya, hidupnya, harapan dan cita-citanya. Ia menyesal karena terlalu cepat mengatakan apa yang seharusnya tidak dikatakan pada Kael yang baru sekali mengobrol panjang dan dalam dengannya.
Tapi, melangkah mundur dan kembali bukan dirinya, bukan Sekar, bukan perempuan yang selama ini dipuji akan kecantikan dan ketangkasannya. Di depan, lautan begitu luas terbentang. Ia tak boleh takut untuk menyeberang, karena ketakutan hanya milik mereka yang tak percaya diri. Dan apakah ia percaya diri sekarang? Ia tak yakin. Sejak ia merasa takluk seluruh kepercayaan dirinya telah melebur ke dalam udara, sehingga ia butuh tabung oksigen untuk sekadar mengangkat kepala dan menatap rencana-rencana yang Kael tulis di papan. Ia tak ingat waktu. Tiba-tiba rapat selesai dan orang-orang menghambur keluar. Ia melangkah dengan pikiran berkecamuk menuju saung di bawah pohon mangga yang besar dan rindang di halaman vila. Melalui celah dedaunan ia mengintip langit sore yang separuh berwarna kelabu dan separuhnya lagi berwarna kuning telur. Di ujung yang jauh tampak patahan-patahan yang tak tersusun dengan rapi, tapi membentuk sebuah mozaik yang indah dan mendatangkan imajenasi tentang dunia lain, sebuah dunia yang hanya ada di dalam pikirannya, pikiran seorang perempuan yang sedang mendamba. Ia berjalan dengan wajah tertunduk sampai-sampai tak menyadari kehadian Kael yang sudah berdiri di sisi saung. Sekar tak mendengar apa-apa ketika laki-laki itu berjalan ke arahnya sementara ia sibuk dengan dunia yang membentuk di dalam kepalanya. Itu pertemuan yang tampak seperti mimpi. Ia tak pernah berharap itu akan terjadi secepat ini.
“Kamu mau ke mana?” suara Kael begitu ringan.