8
Jurang Mayit
Di antara cahaya dan gelap yang jatuh bersamaan di atas bumi, Sekar dan Kael kembali ke vila tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka berpisah di halaman vila: Sekar berjalan menuju kamar perempuan, sedangkan Kael melangkah ke ruang tamu. Ketika setengah jam kemudian mereka bertemu di ruang rapat, Kael berjalan seperti biasa, duduk di bawah papan tulis dengan tenang. Sekar canggung menghadapi suasana itu. Ia tak berani mengangkat wajah untuk menatap Kael yang mengobrol dengan Yakin Luganda. Ia lebih banyak diam dan menunduk. Kepalanya dipenuhi ciuman itu, ciuman pertamanya, yang panjang, lembut, asin dan entah apa lagi. Ia menyentuh bibirnya sendiri, merasakan bagaimana Kael melakukannya, membimbingnya melintasi detik-detik yang serupa mimpi.
Lalu, ia bekerja seperti biasa, mencatat uang keluar untuk belanja, membantu Mei yang lebih sering berada di dapur: memasak, manyajikan kopi, memasukkan cemilan ke dalam kotak-kotak kecil yang dibuat dari kertas minyak. Kadang-kadang, ia terlentang di kamar, melihat langit-langit sambil merenungkan betapa sangat kurang ajarnya Kael karena sudah menciumnya dan ia sendiri merasa begitu tolol karena sudah dengan begitu mudah menyerahkan bibirnya pada laki-laki itu. Ia bahkan tak tahu siapa Kael sebenarnya. Kael tak pernah bercerita apa pun tentang dirinya, kegiatannya, atau hal-hal lain yang perlu ia tahu, setidaknya sebagai sebuah kesepakatan rahasia bahwa mereka sedang berjalan ke arah yang sama. Ia memikirkan ciuman yang membuatnya luruh itu. Ia berpikir, haruskah ia pergi ke hadapan Kael dan meminta pertanggungjawabannya. Tapi mengapa ia harus meminta pertanggungjawaban atas ciuman panjang dan nikmat itu?
Sekar gelisah dan marah. Kemarahan yang tidak tahu ditujukan kepada siapa. Ia membenamkan diri ke dalam banyak pekerjaan. Ia mengambil alih sutil dari tangan Mei dan mulai membuat tumis kacang panjang dan menggoreng tempe untuk persiapan makan malam. Makan malam yang sebenarnya terlalu malam, dan hanya sekali ia keluar untuk menyambut orang-orang yang datang dari kota, yang kerap membicarakan tentang emansipasi perempuan, kesetaraan dan banyak lagi lainnya tentang bagaimana perempuan harus berdaya. Jika benar bahwa yang mereka bicarakan adalah nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini, maka sesungguhnya ia sudah tuntas membaca Door Duisternis tot Licht. Ia ingat dengan baik. Surat pertama yang dikirim Kartini tertanggal 18 Agustus 1899 dan surat terakhirnya tercatat pada tanggal 10 Agustus 1904. Dalam suratnya yang pertama Kartini mempersoalkan tentang kebebasan dan kemerdekaan. Kartini juga menyinggung soal perkawinan. Bukan semata perkawinan sebagai sebuah peristiwa keagamaan, keharusan budaya, atau kehendak pribadi, melainkan mencoba mengetuk sesuatu yang lain, sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan, dimensi yang sangat besar yang berada di luar dirinya.
Sebuah suara seperti terdengar dari langit atau muncul dari sebuah lorong di jiwanya ketika ia mengingat kembali apa yang dikatakan Kartini tentang perkawinan: Dan perkawinan di sini, o, menyedihkan (di sini) adalah sebuah ungkapan yang terlalu halus untuk itu. Bagaimana mungkin bisa lain, kalau undang-undang semuanya dibuat untuk lelaki dan sama sekali tidak ada untuk perempuan? Kalau hukum dan ajaran dua-duanya untuk lelaki—kalau semuanya, semuanya boleh untuknya? Baginya, Kartini mencoba protes terhadap pembedaan wet en leer yang berlaku bagi orang Belanda dan bumiputra, bumiputra laki-laki dan bumiputra perempuan.
Ketika malam itu dua perempuan yang menjabat sebagai ketua dan sekretaris Korps Pengurus Putri Permasi tingkat provinsi bicara tentang perjuangan sang perempuan dari Jepara, tadinya Sekar ingin memberikan komentar, tapi kemudian ia memilih untuk diam dan mendengarkan. Ia tahu, kenyataan menceritakan lebih banyak dari sekadar yang ia dengar dari dua perempuan itu. Ia ingin mengajak mereka pergi ke dapur, menunjukkan kepada mereka perempuan-perempuan yang lebih banyak memegang sutil dan wajan, dunia yang sama sekali berbeda dengan yang sekarang mereka tempati, dunia para lelaki atau perempuan yang sudah, sebut saja, teremansipasi, yang tak risih melihat laki-laki merokok, mendengarkan cerita-cerita yang dipenuhi gelak tawa tanpa harus menutup mulut dengan tangan.
Semalam itu listrik masih padam. Seluruh area vila terpaksa hanya diterangi beberapa batang lilin: teras depan, aula utama, dapur, ruang makan, dan dinding-dinding pagar. Meskipun begitu gelap masih menjadi raja. Di antara partikel-partikel cahaya dan kegelapan Sekar menemukan dari sebuah sudut Kael tengah menatapnya beberapa saat, lalu kembali menenggelamkan diri ke dalam kisah yang tak pernah habis diceritakan Ahmad Bara’, seorang anggota senior Permasi yang sengaja datang mengunjungi mereka untuk mengolok-olok pengurus Permasi yang baru. Ia terlalu melebih-lebihkan cerita masa lalu. “Dulu, dulu sekali,” katanya dengan bangga, “kami pernah memaksa mundur Suharto. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Kami bergerak menuju senayan, menduduki gedung dewan, tak seorang pun yang bermurah hati untuk berhenti sampai Suharto membaca surat pengunduran diri di istana.” Ia tetap duduk di sana, di dekat lilin yang tinggal separuh, berkisah perjuangannya dan para pemuda Lowokwaru sewaktu ikut menggugat rezim Orde Baru.
Ia bukannya tak peduli. Ia menyimak cerita itu sedikit sambil melihat bagaimana mata Kael menatapnya, menembus langsung ke jantungnya. Ia masih sama: selalu berguncang saat Kael menatapnya. Tapi ia tidak ingin dicurigai. Ia membalas tatapan itu sebentar karena takut terbakar. Di sisi lain, ia tak ingin bertindak ceroboh. Ia bersikap biasa untuk mengelabuhi semua orang bahwa mereka masih bersih dari jerat asmara atau ketertarikan apa pun yang dapat mengganggu pekerjaan mereka di Permasi.
Pekerjaan? Sekar hampir lupa bahwa selama ini ia tak punya pekerjaan selain mencatat angka-angka pengeluaran dan menyeduh kopi untuk para tamu. Ia tak ingin mengatakan, tapi itulah kenyataan: selalu saja membentang kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Itulah sumber masalahnya. Tak ada yang benar-benar mengerti apa yang diinginkannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kantor Permasi. Jadilah akhirnya ia menjadikan lingkungan sebagai sekutu, menyibukkan diri dalam banyak pekerjaan dan menjadi berguna. Tapi lama kelamaan, ia merasa kalau ia tak lebih dari seekor camar yang sudah terjebak di dalam sangkar yang tak menawarkan apa-apa tentang kebermanfaatan di masa depan. Memang, ia bangga Permasi turut membentuk dirinya yang sekarang dan ia perlu mengucapkan banyak terima kasih atas itu semua. Tetapi, ia menyadari keterkaitan pidato Kael saat membuka acara diklat dengan kenyataan yang terjadi sekarang: orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan pribadi, pertengkaran memperebutkan sepotong kue di atas meja makan, kecemburuan dan kecurigaan yang tak ada habisnya. Ia ingat bagaimana Kael menyampaikan pidatonya dengan tenaga yang cukup untuk membangunkan singa yang terlelap. Tapi sejujurnya, ia jauh lebih suka ketika Kael menatapnya bagai seekor pejantan yang siap menerkam sang betina. Tatapan yang membuat Sekar demikian perempuan.
Waktu terus berjalan. Itu hampir pukul sepuluh malam ketika Sekar memaksa diri untuk tetap duduk di teras depan menyambut orang-orang yang terus berdatangan melakukan kunjungan. Malam sudah larut, tapi mereka bagai tak pernah takluk oleh kantuk. Setiap kali satu rombongan pamit pulang setelah duduk-duduk satu-dua jam, Sekar mengucapkan terima kasih berkali-kali, karena dalam suasana seperti ini kunjungan mereka adalah suatu kehormatan, dan ia mengucapkan juga rasa sedikit bersalah karena telah menjamu mereka dalam kondisi yang terbatas, bahkan nyaris tak layak. Ingin rasanya ia merebahkan diri di kamar, menyembunyikan diri dalam gelap sehingga tak seorang pun tahu bahwa ia ingin berhenti mendengarkan suara-suara, ia ingin pergi dari suasana yang ramai itu, dari tingkah Ahmad Bara’ yang tak berhenti mencuri-curi pandang ke arahnya, dan ia tak suka tatapan lelaki itu, yang tampak mesum dan bangsat. Ia berharap Kael datang kepadanya dan mengajaknya pergi dari keriuhan itu, membawanya ke suatu tempat yang hanya ada mereka berdua. Ia ingin mereka saling bicara dari hati yang paling relung, membicarakan sesuatu yang menenangkan, melihat bintang atau berjalan di jembatan yang terbentang di atas laut. Terkadang, ia ingin melupakan apa yang telah terjadi beberapa jam yang lalu, tentang ciuman itu, tapi jiwanya meronta. Ia ingin mata Kael terus menatapnya, menembus ke dalam raganya, mencabik-cabik tubuhnya agar sakitnya menjadi paripurna.
Ketika tiba waktu evaluasi dan persiapan untuk perayaan malam puncak, Yakin Luganda memanggil Kael untuk menemuinya di ruang rapat. Seluruh panitia berkumpul, beberapa mengenakan jaket tebal dan beberapa lainnya membungkus bagian atas tubuh mereka dengan sarung. Kael duduk di bawah papan tulis, selurus dengan Sekar yang bersimpuh di samping pintu keluar. Sejenak mereka membeku, terjebak dalam balutan dingin udara, kantuk, dan perasaan yang membeku. Sesekali mereka saling bertatapan, menyampaikan isyarat di luar kata-kata, menyampaikan kesepakatan-kesepakatan rahasia yang tak mampu dicerna siapa pun kecuali mereka berdua.
“Diklat ini sangat menentukan bagaimana kader yang akan kita hasilkan ke depan,” kata Yakin Luganda dengan kata-kata yang sudah dipilih. “Ini malam terakhir kita di sini. Mari kita jadikan momen yang tak terlupakan.”
Seperti biasa Yakin Luganda memilih metode ceramah. Ia mengatakan bahwa tak boleh ada seorang pun yang tinggal di vila selama puncak acara yang diperkirakan akan berlangsung dari tengah malam sampai fajar. Di tengah-tengah api unggun akan ada pembacaan puisi dan nyanyi bersama. Mereka akan melakukan itu tepat di sisi timur Gunung Mujur, di sebuah tanah lapang yang jauh dari perkebunan warga. Musthafa menyampaikan usulan tambahan agar peserta diklat diberi pelatihan mental. Mereka perlu dibawa ke kompleks pemakaman di dekat tanah lapang dalam keadaan mata tertutup—persis ujian kenaikan sabuk kelompok pesilat. “Kita akan lihat sejauh mana mereka mampu menghadapi ketakutan mereka sendiri,” katanya penuh percaya diri.
Rapat itu berlangsung selama setengah jam. Hawa dingin meruap dan menyergap setiap orang. Mahrus Ali menutup tirai jendela, menutupi ujung kakinya dengan sarung, lalu menarik ujung bawah topi kupluk di kepalanya. Sekar melihat orang-orang di ruangan itu terus menerus merapatkan jaket dan sarung ke badan, beberapa merengkuh gelas berisi teh yang juga sudah dingin untuk sekadar menghangatkan telapak tangan mereka. Ia menengok ke arah lain: ia yakin Kael sedang kedinginan dengan kaus oblong hitam tipisnya. Mengapa dia tak kepikiran untuk mengenakan jaket di malam sedingin ini? Apa dia terlalu percaya diri bahwa dia tidak akan sakit hanya gara-gara masuk angin?
Ia ingin melangkah ke sana, ke dekat Kael, tapi ia tidak tahu bagaimana mata orang-orang di ruangan itu akan memandangnya. Ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang memalukan, yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan hingga Kael meninggalkan ruang rapat ia hanya bisa melihat bagaimana Kael memeluk dirinya sendiri. Ia ingin menghampirinya, tapi atas dasar alasan-alasan tertentu yang sudah dipikirkannya dengan matang ia tak melakukannya. Ia kembali ke kamar dengan kepala dibayang-bayangi ciuman Kael sore ini, ciuman yang ia tahu penuh nafsu.
Mungkin tidak sampai dua jam ketika para peserta dibangunkan untuk segera berangkat ke tanah lapang di sisi timur Gunung Mujur. Selagi semua orang berkumpul di sana, berjejal mengitari api unggun sambil mendengarkan pidato Yakin Luganda yang sangat bersemangat ketika malam sudah mencapai dini hari, alih-alih menyusul Kael mencuri kesempatan untuk menarik Sekar menyelinap masuk ke dalam kamar. Dan Sekar, yang saat itu masuk ke dapur untuk menyeduh teh yang akan dibawanya untuk mengikuti acara api unggun, yang sudah siap dituang ke dalam botol air mineral berukuran sedang agar lebih mudah dibawa dan tidak tumpah, membiarkan saja hal itu terjadi, seolah ia memang sudah mendambakannya sejak Kael menciumnya.
“Aku benci melihatmu,” kata Kael kepada Sekar. “Kamu terlalu cantik. Aku tak bisa kalau hanya melihatmu. Aku tidak tahan.”
“Sekarang, apa kamu masih tahan memandangku?” suara Sekar bergetar, tapi itu mampu menjadi gravitasi bagi segala yang buas, dan sebenarnya itulah yang diharap-harapakannya. Apa pun yang ada di dalam pikiran Kael tentangnya, ia suka. Tapi, ia tak mungkin mengatakannya. Ia seorang perempuan, dan rasa-rasanya tak elok jika seorang perempuan terlalu berterus terang.
Sejurus kemudian, sulit dijelaskan bagaimana peristiwa itu bermula ketika tangan Kael mengangkat wajahnya dan mengecup bibirnya yang merah. Kael merebahkannya di atas kasur, dan Sekar sama sekali tidak menolak sehingga laki-laki itu dapat berbuat apa saja yang diinginkannya. Bahkan ketika Kael menanggalkan satu per satu semua yang ada padanya, ia tahu, laki-laki itu begitu terpesona pada tubuh putihnya, perutnya yang rata dan halus, pinggangnya yang empuk dan lembut. Dalam kegelapan ia menggigil merasakan Kael menyentuh kulit perutnya, mencium lehernya dengan lembut dan napas yang begitu hangat. Ia semakin bergetar dan terbakar. Pelan dan dengan perhitungan yang sangat hati-hati Kael merayap dengan keahlian yang tak pernah dipelajarinya di bangku sekolah, dan menemukan Sekar berubah jadi rawa tak berdasar, menyeruakkan bau besi tua yang terendam dalam air dan bau akar pohon yang baru diangkat dari dalam tanah. Sekar membiarkan Kael melumat mulutnya, mengrumrum tubuhnya, memasukinya dengan pelan dan berirama. Ia merasakan sesuatu meledak di dalamnya dirinya, ledakan yang membuatnya terguncang bagai terbelah.
Ketika selesai, dengan semacam ketidakberdayaan yang nikmat mereka berbaring dalam keadaan berpelukan, dengan kelenjar dan keringat yang masih basah. Tak begitu jelas apa yang berenang di dalam pikiran Sekar sekarang. Setelah Kael memasukinya berkali-kali dengan napas serupa kuda perang, ketakutan tiba-tiba datang kepadanya. Ia semakin takut ditinggalkan. Ia semakin takut menjadi sendiri. Tapi, ia tidak sendiri sekarang. Ia sudah memiliki Kael dan Kael sudah memiliki dirinya. Ketika Kael memasuki dirinya ia tahu ia tak bisa lagi melangkah mundur. Hanya saja, ketika ia menyadari bahwa Kael belum menjanjikan apa-apa kepadanya, tidak janji untuk meminang atau menikah. Ia akan senang jika Kael menceritainya sesuatu, keluarga atau kehidupannya, agar ia benar-benar menjadi bagian dari hidup laki-laki itu. Menyadari itu tiba-tiba ketakutan muncul. Ia melihat wajah Ayu, Suwarno, dan Jumila. Mereka menatapnya penuh rasa kasihan, seolah-olah sekarang ia berada di jurang kejatuhan. Tapi, ia tak mau menyebut itu sebagai jurang kejatuhan. Ia senang bahwa ini terjadi. Ia melakukannya karena ia telah memilih untuk menyukai Kael, menyukai laku dan pikirannya, menyukai segala yang ada pada laki-laki itu.
Ia tahu, itu perasaan yang sulit didefinisikan. Bahkan definisi mungkin akan merusak kerumitan dan ketakmasukakalan perasaan itu sendiri. Mereka saling menyusuri tanpa bicara, masing-masing tenggelam dalam kenikmatannya sendiri-sendiri. Sekar menganggap sikap dingin Kael bagaikan sebuah kota yang tak henti-hentinya memberikan kejutan. Ia merasa Kael menyimpan banyak cerita, dan ia ingin tetap di situ, menunggu Kael mengatakan sesuatu.