Malam Penghabisan

LF
Chapter #9

Gubuk

9

Gubuk

 

Mereka pulang ke Lowokwaru pada siang yang mendung. Tak ada ucapan selamat tinggal atau air mata sebagai wasiat terakhir dari kenyataan bernama perpisahan, karena mereka tahu, mereka tidak benar-benar berpisah. Waktu masih panjang dan mereka bisa merencanakan kencan baru yang lebih indah, entah di sebuah pantai, di lereng sebuah gunung, atau di tengah sebuah kota, yang penting hanya ada mereka berdua.

Ini untuk pertama kalinya bagi Sekar merasa berjalan sendirian, meskipun tahu Kael berada di atas truk yang sama dan mereka hanya berbicara melalui tatapan mata. Ia melakukan banyak aktivitas tahun demi tahun, tapi selalu acuh tak acuh karena ia merasa belum merasa tergantung dan tidak dikuasai siapa pun, tidak kedua orangtuanya, juga tidak dirinya sendiri. Saat itu, di tahun-tahun sebelum Kael menaklukkannya, ia seperti sesosok bayangan yang memantul di cermin. Meskipun itu bayangan dirinya, tapi siapa pemilik bayangan itu sebenarnya? Tak ada. Bayangan itu masih sebentuk sosok yang terkatung-katung antara langit dan bumi, butuh penebusan untuk memilikinya.  

Pada momen ketika truk yang mereka tumpangi keluar dari hutan di luar kota, Mei tersenyum dan memeluk Sekar karena sebentar lagi mereka akan tiba dan bisa tidur dengan nyenyak di asrama. Selama tiga malam ia tidak bisa tidur lelap karena terganggu oleh suara orang-orang yang datang berkunjung ke acara mereka. Ia sudah bertekad untuk balas dendam. Ia akan bermalas-malasan selama tiga hari dan mendekam di kamar sambil memasang krim pemutih wajah. Ia mengatakan semua rencana balas dendamnya, tapi Sekar hanya memberikan tanggapan biasa karena dalam konsep pemikirannya kehidupan amatlah sederhana. Yang tidak sederhana adalah cinta pertama yang dialaminya. Kael telah mengambil sesuatu yang sangat berharga darinya dan lelaki itu harus kembali, bagaimanapun caranya, agar ia menjadi utuh, tidak terburai oleh kecemasan dan ketakutan.

Selama beberapa hari mereka tidak bertemu atau setidaknya berpapasan di lorong sempit dan usang di atas sungai yang nyaris mau banjir setiap hujan datang sehari atau semalam penuh. Kadang-kadang, dengan sangat tolol dan kehilangan akal sehat karena kegelisahan yang membakar dirinya selama waktu-waktu yang menyiksa, Sekar berjalan menuju kantor Permasi atau duduk di gubuk di bawah pohon nangka. Ia mencari-cari tanpa berani bertanya. Ia menanti-nanti dengan polos dan menyedihkan. Ia tercebur ke dalam lumpur kecemasan, dan hanya bisa diselamatkan oleh Kael yang ditunggunya tapi tak pernah muncul dari balik hujan atau pohon nangka. Laki-laki itu bagai hilang bersama hujan atau memang sudah mati disambar petir saat, mungkin, menumpahkan sperma di perut perempuan lain. Ia tak yakin bahwa laki-laki seperti Kael, yang kepalanya dipenuhi pengetahuan tentang dunia, mungkin juga perempuan-perempuan cantik di kampusnya, tak pernah tidur dengan banyak perempuan lain sebelum tidur dengannya. Ketakutan ini mengantarkan Sekar sampai pada pikiran bahwa setiap kebejatan bisa saja tersembunyi dalam wajah polos dan penuh kenaifan, dalam penampilan sikap penghambaan yang dalam kepada Tuhan.

Bagaimanapun, sebagai seorang perempuan yang sudah takluk dan menyerahkan diri tanpa perlawanan, yang tak dapat tidur di tengah malam, yang selalu larut dalam kesunyian, Sekar dicengkeram kecemburuan. Ia tidak mau laki-laki yang sangat dicintainya pergi ke pelukan perempuan lain. Tapi, ketika kesadaran itu datang, bahwa ia tak punya kuasa untuk melarang, dan karenanya mungkin sudah terlambat untuk cemburu, ia merasa kalau ia tak lebih dari sebuah gubuk, tempat Kael singgah setelah menempuh perjalanan panjang dan untuk melakukan perjalanan yang lebih panjang lagi. Ia benar-benar takut Kael hanya memperlakukannya sebagai ruang singgah untuk berteduh dari terjangan matahari dan hujan.

Tetapi, ketika menyusun ulang pikirannya, ia menemukan satu titik kesadaran bahwa ia menyukai Kael karena laki-laki itu menawarkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak ditemukan pada diri Musthofa atau laki-laki lainnya. Kael tak menawarkan sebuah ikatan apa pun karena, tebak Sekar, mungkin tidak suka terikat dan belum mau membangun sebuah komitmen. Jika dipikir-pikir, mungkin itu salah satu alasan kenapa kemudian ia menyerahkan diri pada Kael, bukan karena laki-laki itu telah mengucapkan sebuah komitmen yang akan membuat mereka terikat selamanya, melainkan karena kebebasan yang Kael berikan kepadanya. Masalahnya adalah, meskipun, misalnya benar Kael ingin memberikan kebebasan kepadanya, Sekar selalu merasa dirinya terburai tanpa laki-laki itu. Ia ingin Kael duduk di sampingnya, mendengarkan cerita-ceritanya sambil sesekali mancari-cari waktu yang pas untuk berciuman. Berpikir bahwa kehidupan harus terus berlanjut, ia mencoba menggunakan konsep pemikiran yang sama bahwa kalau Kael bisa melakukan apa saja di luar sana tanpa melibatkan atau terpikir akan dirinya, maka ia juga bisa melakukan sesuatu sekehendaknya sendiri tanpa memikirkan Kael. Maka, ia menggunakan waktunya yang melimpah untuk menyibukkan diri di studio tivi kampus, menghadiri aneka ceramah dan diskusi di aula Permasi, membagi-bagikan buku-buku bacaan bersama Yaza, dan menghadiri pendidikan seks sejak dini di panti-panti anak jalanan di sekitaran kota lama.

Itu ada faedahnya, katanya kepada Rumbini ketika mereka bertemu kembali di belakang gereja katedral, aku bisa berbagi dengan banyak orang. Bergabung dengan mereka, orang-orang di luar Permasi, mendatangkan lebih banyak pikiran positif dan bisa melakukan kegiatan nyata untuk membantu orang-orang miskin.

Sekar dan Rumbini bertemu kembali tidak berapa lama setelah Sekar membagi-bagikan buku bacaan di dekat hutan kecil dalam kota. Mereka mengobrol di belakang gereja tentang kenapa Rumbini tiba-tiba menghilang tanpa memberi tahu siapa pun, dan Sekar memilih menyalahkan diri sendiri atas keadaan itu. Mereka bercakap-cakap dua jam lamanya di sebuah tempat yang penuh dengan kotoran merpati dan ranting-ranting patah yang berceceran di tanah dengan udara lembab yang berembus dari arah hutan. Selama percakapan itu perhatiannya tertuju pada perut buncit Rumbini, tetapi ia tak berani menyinggung sesuatu apa pun yang berkaitan dengan perubahan itu. Ia merasakan keingintahuan yang tidak seharusnya, yang ia sendiri sebenarnya bisa menebaknya, tapi karena tidak yakin akhirnya ia memilih untuk diam. Sebenarnya ia agak terganggu oleh perubahan yang terjadi pada perut Rumbini sehingga ia terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Ia hanya ingin tahu, dan keinginan itu terkabul ketika tidak lama kemudian Rumbini memegang tangannya dan mengatakan bahwa di dalam tubuhnya telah tumbuh kehidupan yang lain, kehidupan yang pada mulanya tidak diingini tapi kemudian harus ia terima. Rumbini pasrah menerima kenyataan bahwa ia akan memiliki anak di luar nikah, dan ia pun berhenti menggadang-gadang impian akan menikah dengan Yakin Luganda, yang sejak mengetahui benihnya tumbuh, meninggalkannya secara perlahan. Ia takut orang-orang mengetahui aibnya. Dari situlah lahir ide soal pindah dari kos satu ke kos yang lain untuk menutupi rahasia yang dipikulnya sendirian. Ia menempati sebuah rumah di tepi aliran sungai Brantas yang membentang panjang di depan sebuah apartemen besar, yang pada proses pembangunannya para pekerja harus merelokasi rumah-rumah orang miskin dan menebang pohon-pohon bambu yang menahan tanah di tepi sungai agar tidak longsor. Rumah yang ditempati Rumbini berada di seberang sungai. Orang-orang di sekitar rumah itu tampak tak berbahaya, sehingga ia bisa lewat tanpa membangkitkan mata awas yang penuh kecurigaan. Bahkan beberapa orang begitu prihatin kepadanya saat tahu bahwa ia telah ditinggalkan oleh Yakin Luganda yang hanya mau menyesap manis tanpa berani menelan sepahnya. Ia pun terbelah, antara rasa cinta pada calon anaknya dan perannya sebagai kekasih Yakin Luganda yang dicampakkan. 

Sekar tak yakin bagaimana harus bersikap. Ia lebih banyak mendengarkan daripada menanggapi. Ia menyembunyikan apa yang pernah terjadi kepadanya di vila, tentang hidup bersama dengan Kael dalam rasa saling cinta, tanpa kekangan dan janji akan masa depan. Tapi tidak sepenuhnya. Ia menceritakan tentang hubungannya dengan Kael tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah dikuasai, walaupun kemudian Rumbini tetap bisa mencium aromanya, menyadari di tengah-tengah kekalutannya sendiri bahwa Kael sudah masuk sangat dalam ke kehidupan Sekar. Hari itu, ketika menyediakan waktu untuk mengunjungi rumah Rumbini dan tinggal di rumah itu selama tiga hari, Sekar melihat Rumbini memperhatikannya selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat dan berbisik kepadanya, Laki-laki yang mengaku cinta dan mengajakmu tidur berkali-kali tapi tak kunjung menikahimu itu bukan cinta, tapi nafsu berahi.

Bisikan ini mengingatkan Sekar pada Kael, yang hari itu juga, seolah batin mereka tersambung seperti kabel listrik yang terhubung ke langit, Kael menelepon dan mengajaknya ketemu. Mereka bertemu di rumah Rumbini dan tidur di sebuah kamar yang dibiarkan kosong. Sekar menghamburkan diri ke dalam pelukan Kael dan laki-laki itu menciuminya berkali-kali dengan nyaris ganas dan tanpa ampun. Itu tempat persembunyian yang bagus bagi mereka untuk bercinta gila-gilaan sepanjang hari dan malam dan baru berhenti ketika Rumbini meringis merasakan perutnya yang mulas seperti ingin buang air besar. Sekar lupa kata-kata yang dibisikkan Rumbini kepadanya, bahkan meskipun ingat, kata-kata itu seperti asap yang raib ditelan angin, sama sekali tak bisa menandingi keperkasaan sebatang tongkat Kael yang dengan ajaib bisa mengendur dan memanjang tanpa ujung, menembus ke dalam tubuhnya yang menggelepar dan ia merasa semakin jatuh cinta dengan apa yang telah laki-laki itu berikan kepadanya. 

Tempat tinggal Rumbini cukup jauh dari jangkauan orang-orang Permasi sehingga Sekar dan Kael meninggalkan tempat itu selama beberapa jam. Mereka berjalan-jalan melewati bayang-bayang pepohonan berwarna gelap. Sinar matahari menerobos daun-daun yang ada di atas kepala mereka sehingga wajah mereka kadang-kadang tersengat sinar matahari. Sesekali mereka saling memeluk pinggang sehingga Kael merasakan betapa lembut dan empuknya pinggang Sekar. Ketika sampai di bawah pohon di mana orang-orang tak bisa melihat mereka karena terhalang oleh pohon-pohon yang lain mereka saling memeluk, terpesona. Jika sudah begitu Sekar hanya menginginkan satu hal: waktu berhenti berputar agar Kael terus memeluknya, menjelajahi tubuhnya dengan belaian-belaian yang membawanya melambung ke semesta nikmat. Ia yakin, dorongan itulah yang membuat Rumbini dan para gadis yang lain ingin segera menjadi tidak perawan dan para laki-laki diam-diam menikahi diri mereka sendiri sambil menonton film porno di kamar mandi.

Rupanya pertemuan itu adalah gerbang bagi perpisahan yang lain. Kael mengatakan kepada Sekar bahwa ia akan pergi ke Ibu Kota untuk mengikuti pelatihan pemuda nasional Permasi. Ia memberikan pemahaman kepada Sekar bahwa sebenarnya ia tidak mau karena masih banyak orang Permasi yang lebih pantas mengikuti kegiatan tersebut, tapi Yakin Luganda terus menerus mendesaknya sehingga mau tidak mau ia harus berangkat.

Lihat selengkapnya