10
Cikini
Gerimis jatuh. Tetapi, ia harus menembus waktu. Ia tak ragu sama sekali. Ia harus mengejar apa yang sudah diputuskan, seolah yang membawa kakinya melangkah adalah suara langit.
Itu pagi yang basah. Setelah membongkar kembali isi tasnya, memasukkan dua baju atasan, dua celana jins, dan tiga celana dalam berwarna cerah yang kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih, ia berangkat dari asrama menuju terminal. Sendirian. Lalu, saat duduk di dalam bus yang penuh sesak menuju Ibu Kota, ia paham sesuatu: cinta adalah perjuangan sekaligus pengorbanan, dan di antara keduanya, ancaman mengambil porsi yang besar. Kalimat itu bagai firman yang disiarkan di koran-koran baru terbit yang dijajakan tukang loper, di buku-buku berusia ratusan tahun, di kaca jendela, pada wajah orang-orang yang menjual kacang rebus, tahu goreng, minuman dingin dengan harga dua kali lipat lebih mahal dibanding di toko-toko biasa. Ia sadar, gerimis membuat hati dan tekadnya limbung. Tetapi, tak ada ruang baginya untuk menoleh dan mundur. Ia harus tetap melangkah dan bersiap untuk sesuatu yang lebih besar.
Anehnya, meskipun bus itu sesak, Sekar tetap merasa sendirian, terasing, dan tidak dikehendaki. Ia bagaikan terlempar dari keramaian, menjadi yang sepenuhnya asing, dan hanya di depan Kael ia merasa menjadi ada. Benar-benar ada dan dibutuhkan. Baginya, kael adalah penyumbat bagi lubang kesendirian yang terus menganga. Tetapi, dalam perjalanan, tak ada yang benar-benar sendiri. Selalu ada orang yang searah, sefrekuensi, dan satu tujuan. Dan ia tahu, di bus yang dinaikinya semua orang menuju kota yang sama. Ia ketemu dengan orang-orang yang senasib, tapi mereka menutupinya dengan wajah seolah baik-baik saja: sejumput senyum yang dipaksakan. Ketika bus melaju dengan kecepatan yang tidak ia tahu, sebisa mungkin ia nikmati perjalanannya, hutan-hutan yang lengang, keluar masuk kota demi kota yang sibuk dan terus berbenah.
Setelah kurang lebih 24 jam berusaha tidur dengan kepala disenderkan ke kusen jendela, tetapi rancangan tentang pertemuannya dengan Kael terus berkembang dalam pikirannya, Sekar turun di Terminal Senen. Ia melangkah dengan cemas, karena di kota yang besar ini ia bukan dan tidak punya siapa-siapa. Lebih cemasnya lagi saat ia mencoba memberitahu Kael melalui telepon tentang keberadaannya di Ibu Kota. Ia cemas Kael tak bisa ditelepon atau tak punya waktu untuk menjemputnya, lalu pada saat yang sama seseorang yang tak dikenal, yang pura-pura ingin membantu, datang dan membawa lari barang-barangnya.
Sebenarnya, tak ada barang-barang berharga di dalam tas. Tapi bagaimana jika orang itu orang jahat yang ingin mencuri sesuatu yang sangat berharga pada dirinya, kehormatannya, misalnya? Tapi, apakah dia masih punya kehormatan? Bukankah kehormatan satu-satunya yang dia miliki sudah dia serahkan kepada Kael?
Mereka bertemu di luar terminal. Kael menarik Sekar ke sebuah gang panjang agak lengang dan memeluknya. Mereka hampir berciuman seandainya tak ada orang yang melintas di mulut gang itu.
“Apa yang membawamu datang ke Ibu Kota?” kata Kael. Ia tak melepaskan tangan Sekar dari genggamannya sambil terus menyusuri jalan menuju Johar Baru. “Kamu kangen ya?” katanya lagi dengan nada bergurau. “Tinggal beberapa hari lagi aku pulang.”
Sementara Kael menelepon seseorang, Sekar merancang siasat untuk mengatakan kepada laki-laki itu tentang pertunangan yang menjeratnya. Ia punya beberapa opsi. Tapi, akhirnya ia memilih opsi terakhir. Ia lebih dulu akan menikmati pertemuan itu, membicarakan tentang mereka, tentang kondisi keluargnya akhir-akhir ini, ibunya yang mulai punya kebiasaan tak masuk akal, dan Ayu yang mulai mengerti berebrapa hal tentang orang dewasa. Ia juga terlebih dahulu akan mengunjungi beberapa tempat yang ingin dikunjungi di Ibu Kota, lalu, baru ia akan masuk pada topik paling inti, sesuatu yang tidak ingin dibicarakan tapi tetap harus dikatakan. Meskipun sebenarnya bukan itu tujuannya datang ke Ibu Kota—satu-satunya alasan baginya adalah hanya Kael. Ia ingin menghilangkan ketakutan-ketakutan dengan berada di dekat laki-laki itu: menjadi seorang pacar atau istri, sama saja—tapi ia merasa sangat berkhianat jika tidak menceritakan keadaan yang sebenarnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu menyusulku?” tanya Kael sekali lagi.
“Kita harus bicara,” kata Sekar. Ia menatapi wajah kekasihnya. Wajah yang dirindukannya dan kerap muncul dalam mimpinya yang ganjil. Ada sesuatu pada diri Kael yang menariknya ke dalam pengalaman puitik, yang membuatnya merasa ingin menulis puisi seperti Neruda, yang ketiadaannya melahirkan kesunyian paling hakiki. “Kita harus bicara, tentang kita, tentang hubungan kita,” katanya dengan nada tak yakin.
“Oke. Nanti kita bicara. Tapi, sekarang kamu harus menaruh barang-barangmu dulu, mandi, terus kita cari tempat yang enak untuk mengobrol,” ujar Kael. Tangannya memegang pipi Sekar.
Sekar bagai gunung es yang meleleh. Dan sebelum lelehannya jatuh mengaliri seluruh urat syaraf, Kael memperkenalkannya pada seorang perempuan yang keluar dari dalam sebuah rumah dan berjalan ke arah mereka dengan dandanan dan gaya yang sepenuhnya Ibu Kota. Ia sempat memandangi punggung Kael yang pergi setelah bersepakat bahwa mereka akan bertemu lagi sorenya. Ada badai yang tiba-tiba menabrak dadanya. Meskipun ia tahu bahwa mereka akan bertemu lagi, bahwa Kael masih di kota yang sama, dan mereka hanya terpisah beberapa jarak ketimbang Kael di sini dan ia di Lowokwaru, tetapi ia merasa tidak nyaman tinggal di rumah orang yang baru ia kenal, seorang perempuan yang kencantikannya melahirkan kecemburuan. Ia, yang tengah dililit rasa cemburu akan kecantikan Elfi—ia tidak sadar akan kecantikannya sendiri, yang terlihat jauh lebih cantik dari sudut pandang si perempuan yang baru dikenalnya—menatapi tubuh ramping teman barunya dan berpikir, apakah hanya kebetulan Kael sudah punya teman perempuan secantik Elfi dalam waktu yang sebentar, dengan tingkat kepercayaan yang menurutnya lebih dari sekadar teman biasa, dan siapa tahu bahwa mereka mungkin sudah saling kenal jauh sebelum Kael pergi ke Ibu Kota dan sekarang mereka sedang memainkan sandiwara di depannya.
Tapi, tak ada waktu baginya untuk merenungkan itu. Ia harus masuk rumah, merebahkan badan barang sebentar, dan mengobrol dengan perempuan itu. Namanya Elfi Nurjayanti, mahasiswi teknik Universitas Indonesia, teman Kael yang juga anggota Permasi, yang berarti temannya juga. Rambutnya panjang dengan bentuk wajah sedikit tirus. “Ibu Kota tempat yang panas, tapi untung sekarang musim hujan,” kata Elfi menawarkan pertemanan. “Satu lagi,” katanya sambil menaruh tas Sekar di pojokan. “Ibu Kota bukan tempat yang aman.”
Elfi tidak bertanya apa pun mengenai Sekar: siapa dia, apa hubungan dia dengan Kael, untuk apa datang ke Ibu Kota, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih personal. Ia langsung mengambil minuman kemasan dari dalam kulkas, seolah mengerti kalau Sekar tengah dahaga. Sekar menerimanya dengan malu-malu. Beberapa kali ia menatap wajah Elfi yang tampak bersinar meskipun tanpa bedak. Tak ada sisa-sisa jerawat atau komedo di wajahnya. Kecantikan yang alami.
“Kamu cantik sekali, seperti Dewi,” kata Elfi. Sekar hanya menyunggingkan senyum. Benarkah begitu? Ia tidak yakin. Lalu, ia dengar Elfi berbisik di telinganya, “Kamu harus hati-hati. Di sini banyak pelecehan, banyak begal, banyak rampok, pengamen juga banyak yang kasar. Tapi, bukan berarti tak ada orang baik di sini.”
Sekar mengangguk. Ternyata apa yang selama ini ia dengar tentang Ibu Kota memang benar adanya. Dan mendengarnya langsung dari Elfi membuatnya jauh lebih bergidik. Ia senang karena Elfi tak membuat jarak di antara mereka, yang sepintas tampak seperti teman lama yang baru bertemu kembali setelah sekian tahun berpisah. Ia tak keberatan menyediakan waktu sejenak untuk menjadi pendurhaka atas keinginan dan kerinduannya pada Kael, pada seluruh kejadian yang sudah lewat, dan menjadi manusia yang tak perlu hirau pada masalah dan aib yang bisa mengendurkan tekadnya yang sudah bulat.
Sesuai rencana yang sudah disepakati, sorenya Sekar dan Kael bertemu pukul setengah lima di rumah kosan Elfi. Mereka mengobrol sebentar di ruang tamu sambil saling meremas tangan saat Elfi masuk kamar atau pergi ke dapur. Sekar kepanasan dalam baju yang dipakainya. Udara Ibu Kota sangat panas, berada di kisaran suhu 34 derajat celcius, disebabkan posisi matahari yang berada di sekitar utara khatulistiwa dan bergerak semakin ke utara. Langit ditutupi awan tipis sehingga radiasi yang diterima permukaan bumi cukup signifikan karena tidak terhalang awan tebal.
Mereka menyusuri jalan di antara pilar-pilar yang megah, melihat pemandangan di dekat Monomen Nasional dengan pucuk lidah api berbentuk kerucut setinggi empat belas meter, dibuat dari perunggu seberat lebih dari empat belas ton dan dilapis emas murni seberat tiga puluh lima kilogram. Setelah memandang takjub pada keajaiban monomen itu, mereka menikmati es teh di sebuah warung kopi di Cikini bersama beberapa orang yang juga peserta pelatihan. Kael tak memperkenalkan Sekar kepada teman-teman barunya, dan seperti yang selalu terjadi di Permasi, mereka, sekumpulan lelaki yang jarang sekali melihat perempuan cantik, lebih dulu menyapa Sekar dan mengajaknya kenalan. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan normatif yang di telinga Sekar terdengar seperti kurang kerjaan. Kael mengiriminya isyarat bahwa ia boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Apa pun. Siapa pun berhak mengajukan pertanyaan dan Sekar memiliki hak untuk tidak menjawabnya, terutama pertanyaan tentang apakah mereka sudah melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya sebelum atau setelah berumur tujuh belas tahun.
Sekar gembira bisa duduk berdua dengan Kael meskipun di tengah orang-orang yang mengelilingi mereka. Persentuhannya dengan Kael terhitung jarang, tapi bukan berarti tidak dalam. Hubungan mereka lebih dari sekadar dalam meskipun tidak bertemu setiap hari, dan orang-orang yang ada di sekeliling mereka dengan cepat bisa membaca bahwa mereka adalah sepasang. Itu bukan perkara sulit. Sadar akan hal itu Sekar sangsi apakah tak lebih baik bila ia mengalihkan perhatian orang-orang yang ada di sekeliling pada topik lain. Masalahnya, ia tak tahu caranya sehingga jalan satu-satunya adalah menunggu denting gitar dan lagu apa saja yang mungkin dinyanyikan si laki-laki pemegang gitar yang duduk di kursi paling ujung. Dan benar saja laki-laki tersebut mulai memainkan gitar dan menyanyikan sebuah lagu tentang perjuangan kaum buruh atas kemelaratan dan fasisme yang dikendalikan Soeharto saat menjabat presiden. Tak ada pembicaraan soal Soeharto sebelumnya di meja itu, tapi seorang laki-laki bernama Ilham yang baru bergabung di meja itu tak ragu untuk membahas tentang kabar meninggalnya sang mantan presiden.
“Ya Tuhan, dia meninggal,” sambung seorang laki-laki yang duduk di tengah yang nampaknya baru dengar kalau Soeharto baru saja melakukan perjalanan ke akhirat.