Malam Penghabisan

LF
Chapter #11

Malam Jahanam

11

Malam Jahanam

 

Kael mengantar Sekar ke rumah kosan Elfi di Johar Baru keesokan paginya. Dari sana ia pergi menemui Kamal Batubara, mantan anggota Permasi yang sukses secara karir politik dan sekarang bekerja sebagai staf ahli di Kementerian Sosial. Mereka membuat janji bertemu di sebuah kedai makan besar yang selalu ramai oleh pengunjung. Sementara Kael melakukan pembicaraan dengan Kamal Batubara dan hujan kembali turun selama dua jam yang membuat langit seperti bentangan triplek besar yang diremukkan, Sekar menerima telepon dari Karim. Lelaki itu tiba-tiba membicarakan hubungan Sekar dengan Kael. Jelas ada kecemburuan dalam nada bicara Karim dan dengan kepercayaan yang tinggi mengatakan kepada Sekar kalau dirinya akan menunggu hari di mana Sekar datang kepadanya.

Bagaimana Karim tahu soal hubungan mereka, itu pertanyaan utama Kael ketika sorenya menjemput Sekar sepulang mampir ke stasiun dan mereka jalan-jalan hingga malam. Kata Sekar, keluarga Karim bukan saja kaya, tetapi juga berhubungan dengan dunia gaib. Kakek Karim adalah seorang dukun lokal yang bisa membaca isi pikiran orang dan mengetahui hal-hal yang tak bisa dilihat mata biasa. Jika ada seseorang yang kehilangan barang, kakek Karim bisa mengetahui di tangan siapa barang itu berada dan sudah sejauh mana barang itu dibawa lari. Saat Karim mengetahui dengan siapa Sekar menjalin hubungan, itu bukan karena ia punya mata-mata, melainkan karena kakeknya yang menguasai ilmu supranatural.

Mendengar ini Kael hanya bisa tertawa. Ia tak menyangka bahwa Karim bisa sejauh itu mendeteksi sesuatu. “Besok pagi kita akan pulang,” kata Kael setelah mereka berhasil menghindari gerimis di depan sebuah gedung tinggi yang semuanya berdinding kaca. “Pekerjaanku sudah selesai. Aku juga sudah beli tiket kereta untuk kita.”

“Kamu tidak ingin bertanya apakah aku mau pulang atau tidak?” Suara Sekar nyaris hilang di tengah bising suara kendaraan.

“Kamu tidak mau pulang? Kamu mau tetap di sini?”

“Di sini tak ada yang mengganggu kita. Aku ingin tetap seperti ini sama kamu.” Sekar ragu apa yang akan ia katakan selanjutnya. Ia ingin mengatakan kepada Kael bahwa sebelum masa depan berbicara kepada mereka, tentang detik yang akan berputar arah atau jarum jam yang terpelanting jauh ke ceruk lembah, ia tetap ingin berada di dekat laki-laki itu, menjadi satu-satunya perempuan yang Kael ajak bicara tentang pembagian waktu selama 24 jam, rencana-rencana yang bisa mereka lakukan bersama, kepercayaan pada mitos rambut lemas, tahi lalat di kening, atau kenapa mereka harus memasukkan kaki sebelah kanan terlebih dahulu ketika memasang celana. Ia ingin bercerita banyak tentang buku-buku yang ia baca, tentang surat-surat Kartini yang dipengaruhi tulisan-tulisan majalah De Hollandsche Lelie, atau juga De Vrouw es Sosialisme, karya Ferdinand August Bebel, seorang sosialis Jerman. Ia juga ingin bercerita cita-citanya, tentang pertemuan pertama mereka di ruang wawancara, tentang bagaimana Kael begitu sombong di mata para perempuan, impian akan sebuah dunia kecil yang penuh dengan atmosfer kebahagiaan yang mungkin masih bisa mereka bangun di masa depan.

“Aku juga menginginkan hal yang sama,” kata Kael. “Tapi kita tak mungkin terus-terusan tinggal di sini. Bisa-bisa kita jadi gelandangan.”

“Akan lebih baik kalau kita tinggal di sini selamanya.”

“Calon suamimu bisa membunuhku.”

“Kamu takut?”

“Tidak. Kalau aku bisa mencintaimu, itu berarti aku juga bisa menderita untukmu.” Kael menatap wajah Sekar. “Kita masih bisa bersama. Kita bisa atur pertemuan.”

Mereka sama-sama tahu, kata-kata itu seperti sebuah bom yang sudah diketahui kapan akan meledak. Atau seperti akar daun sirih yang menempel di bebatuan, kata-kata yang diucapkan Kael begitu rapuh. Jasmani dan rohani Sekar memberontak karena tak ingin pulang. Tapi ia memilih untuk percaya pada kata-kata Kael. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk menghabiskan waktu-waktu terakhirnya dengan laki-laki itu.

 Sekembali mereka ke Lowokwaru, mereka tak pernah bertemu lagi hingga pertengahan bulan Februari, yang hanya ada satu kesempatan bagi mereka untuk bersungguh-sungguh menikmati pertemuan mereka di rumah kontrakan Rumbini. Dua minggu kemudian ketika mereka kembali ke sana, rumah itu sudah kosong. Rumbini sudah pergi tanpa meninggalkan pesan. Sekar tak sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan alasan di balik perginya Rumbini, karena saat itu juga mereka menyelinap masuk ke dalam sebuah warung makan kayu, satu-satunya warung makan yang tetap mempertahankan keluguannya di tengah gedung-gedung bergaya modern.   

Ketika bertemu di kantor Permasi atau berpapasan di jalan pada hari-hari berikutnya, Sekar dan Kael tak pernah berbicara layaknya sepasang kekasih. Mereka bertukar sapa, tapi tidak berlebihan. Kadang, mereka mencuri-curi waktu seusai mengikuti pertemuan Permasi yang berlangsung hingga larut malam, dan mereka menyempatkan diri untuk berciuman di ruang tamu asrama Sekar yang sepi. Keadaan ini berlangsung selama sekitar 24 bulan—hampir semua orang yang mereka kenal tahu kalau mereka terlibat hubungan spesial—dan pada suatu malam Sekar kepikiran untuk mengakhiri hubungan mereka lebih awal. Tapi ia tak sanggup mengeluarkan kata-kata perpisahan ketika Kael datang membawa boneka sebesar anak gadis usia sembilan tahun sebagai hadiah ulang tahunnya yang kedua puluh dua. Kael menyanyikan lagu Everything I Do dari Bryan Adams sambil memainkan piano di sudut ruang tamu asrama. Piano itu dibeli oleh pemilik asrama ketika gedung itu baru pertama kali digunakan, tapi tak dimainkan lagi dan penuh sawang sejak lelaki terakhir yang memainkannya mati tenggelam di dasar air terjun pada suatu sore saat mengantarkan kekasihnya piknik di hutan luar kota.  

Yang tidak banyak orang tahu, di sepanjang waktu itu pula Sekar kerap bertengkar dengan Karim. Mereka dua kali bertemu di sebuah rumah makan cepat saji di Jalan Kaliurang, tapi dua kali itu pula pertemuan mereka berakhir dengan pertengkaran. Satu waktu Karim mengirimi Sekar pesan tentang sikap Sekar yang tidak mau jujur dan tetap menjalin hubungan dengan Kael. Setelah membaca pesan itu Sekar mencari Kael dan menenggelamkan tubuhnya di pelukan laki-laki itu. Mereka bercerita sambil bercinta di sudut sebuah taman gelap dan sepi, dikelilingi bau busuk yang datang dari tempat pembuangan sampah pasar tradisional yang sudah dibongkar. Taman itu gelap dan memang tak banyak dipasangi lampu sejak pertama kali dibangun. Kael dan Sekar berbaring menghadap cahaya di seberang jalan, seolah kegelapan hanyalah bagian lain yang belum terjamah cahaya. Tetapi, hal yang tak habis-habis daya tariknya bagi Sekar bukanlah serpihan-serpihan cahaya yang memantul ke arah mereka, melainkan Kael yang sudah membentuk dunia dan kehidupannya.

Mereka saling menjelajahi selama dua jam dan baru pulang menjelang tengah malam. Sekar tidur di rumah Kael yang tinggal sendiri karena orangtuanya pergi ke luar kota dan baru akan pulang besok sore. Mereka tidur di kamar Kael, satu-satunya kamar di lantai dua, yang pada dindingnya ditempel gambar tokoh-tokoh revolusioner dunia. Dari semua gambar yang ada Sekar hanya mengenal beberapa, yaitu Che Guevara dan Fidel Castro, yang sama-sama dari Kuba. Mereka bercakap-cakap selama kurang lebih setengah jam. Kael mengucapkan kata-kata manis yang menenangkan, menggambarkan kecantikan Sekar yang seperti seorang peri tersesat di bumi, dan mereka sama sekali tak menyinggung dunia di luar mereka.

Sekar tak menuntut Kael membahas soal rencana-rencana hubungan mereka, karena yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah membenamkan diri ke dalam pelukan kekasihnya, menjadi kasur sekaligus selimut bagi Kael sebelum esok, entah kapan, ia berbaring di samping Karim, calon suaminya. Seandainya bisa, ia ingin Kael menelan tubuhnya bulat-bulat, sehingga ia bisa hidup di dalam tubuh laki-laki itu dan tak perlu berbagi keringat dengan laki-laki lain yang belum tentu akan mempersembahkannya kebahagiaan. Malam itu, ketika seseorang memukul tiang listrik sebanyak dua belas kali, Sekar biarkan dirinya melesat ke alam mimpi. Dan seperti keinginannya, ia benar-benar masuk ke alam yang diinginkannya. Ia bermimpi melihat seekor harimau putih di pojok balkon rumah Kael. Harimau putih itu mengejar dan menggigitnya tepat di leher. Sekar melihat dirinya meregang nyawa dengan darah mengucur dari luka gigitan yang menganga. Ia lihat sekali lagi. Tubuh yang meregang nyawa itu dirinya, tapi juga bukan dirinya.

Ia bangun dari tidurnya yang tak sampai satu jam. Ia melihat Kael meringkuk di sisinya seperti anak kecil kedinginan. Ia kaji seluruh tubuhnya dalam hati, mencari bagian tubuhnya yang mungkin terluka atau berdarah. Tak ada. Semua baik-baik saja seperti semula. Ia kemudian keluar dari kamar dan melihat ke pojok balkon yang gelap. Sulit dipercaya bahwa ia melihat sesosok bayangan putih di sana. Ia tak yakin itu hewan yang dilihatnya dalam mimpi. Ia melangkah ke pojok balkon, seperti ada yang mendorongnya dari belakang dan kadang seperti ada suara yang menuntunnya untuk mengabaikan ketakutan-ketakutan. Itu malam yang gelap. Tak ada bintang juga bulan di langit. Ia tak sempat berpikir bagaimana bisa di balkon rumah yang berada di tengah-tengah pemukiman yang ramai ada seekor binatang buas yang seharusnya tinggal di hutan. Ia terus berjalan dan mendekati binatang itu, yang sungguh ajaib tak terlihat menyeramkan atau bersiap untuk menerkam. Harimau itu mendengus-dengus dan diam saat Sekar dengan tanpa rasa takut sedikit pun mengelus-ngelus kepalanya.

“Apa yang kamu lakukan di situ?” Sekar tersentak. Itu suara Kael. Laki-laki itu tiba-tiba sudah berjalan ke arahnya. “Kamu tidak tidur, ya? Apa yang kamu lakukan di sini?”    

Sekar tak langsung menjawab. Ia kaget ketika menyadari harimau putih yang baru saja dielus-elusnya sudah raib. Apa aku bermimpi? Apa aku punya kebiasaan tidur berjalan? Ia tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri. Ia yakin tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Apa yang tadi dilihatnya sebagai harimau putih dan bagaimana ia mengelus-ngelus kepala binatang buas itu nyata. Benar-benar nyata.

Hingga beberapa tahun kemudian Sekar yakin bahwa malam itu ia benar-benar melihat seekor harimau putih di pojok balkon rumah Kael dan ia mengelus-ngelus kepala binatang itu. Kejadian itu begitu nyata hingga ia tak yakin itu mimpi. Satu hal lagi yang kemudian baru ia sadari adalah, malam itu adalah malam terakhirnya bertemu Kael sebelum dua hari kemudian terjadi pembantaian di rumah Kael dan Kael sendiri tak ada dalam daftar mayat yang dibawa polisi ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Kael dinyatakan hilang sejak malam itu.

***

Pembantaian satu keluarga itu cukup aneh. Seharusnya korban yang terkapar di dalam rumah ada empat orang, tapi pagi ketika polisi datang ke rumah itu dan orang-orang berkerumun dengan prasangka sendiri-sendiri, hanya ada tiga mayat di sana, yang kemudian diketahui mayat-mayat itu adalah Sutari dan kedua orangtua Kael. Hampir setengah abad terakhir tak ada pembunuhan yang semengerikan itu di Lowokwaru. Pembunuhan memang bukan barang baru, tapi pembunuhan satu keluarga dalam satu malam adalah kasus lain.

Saat mengetahui kejadian ini pagi harinya tubuh Sekar hampir rubuh seandainya Mei tidak menahan dan membimbingnya duduk. Ia merasa langit tiba-tiba runtuh menimpa kepalanya. Berkali-kali ia menelepon nomor ponsel Kael, tapi berakhir dengan suara seorang operator yang mengabarkan kalau nomor yang ia tuju berada di luar jangkauan. Di depan rumah Kael yang sudah dikelilingi garis polisi ia hanya melihat darah, sofa dan barang-barang lainnya di ruang tamu yang sudah ditutupi kain putih, serta puluhan anggota Permasi yang menunjukkan wajah penuh kesedihan di bawah pohon mahoni di seberang jalan.

Pembantaian itu memang terjadi sekitar tengah malam. Seorang lelaki tua yang tinggal di seberang jalan, Samian, mengatakan kepada Sekar bahwa pada waktu itu, beberapa orang pelacur masih berkeliaran di jalan ini. Mereka rata-rata masih mahasiswa. Jalan ini sebenarnya bukan daerah pelacuran, tapi pelacur-pelacur itu kerap berkeliaran di ujung jalan yang semakin malam menyebar ke gang-gang sempit. Mereka rata-rata mahasiswa yang butuh urang untuk makan dan merawat diri. Mereka biasanya tinggal di hotel-hotel kelas menengah ke bawah dan menetapkan tarif tak sampai satu juta untuk sekali kencan dengan segala bentuk pelayanan. Tapi, pada hari-hari ketika pelanggan susah ditemui atawa tak bisa mengandalkan jaringan pertemanan untuk menarik pelanggan, mereka biasanya nongkrong di tepi-tepi jalan.  

Lihat selengkapnya