Malam Penghabisan

LF
Chapter #12

Kembali

12

Kembali

 

Hanya dalam rentang waktu sepuluh tahun Lowokwaru sudah banyak berubah: menjadi semakin panas dan padat. Rumah-rumah dibangun di tepi jalan, di tepi sungai, seiring juga rumah makan dan kedai kopi yang dengan cepat menggantikan sawah dan tanah-tanah kosong. Tapi, pada musim hujan seperti sekarang, Lowokwaru tetap menawarkan dingin di setiap jalan dan gang, pada setiap pagi dan malam. Di tengah sesak gedung-gedung toko dan perkantoran, ia melesat di gang-gang kecil, menghindari kemacetan menuju rumah sakit. Ia lihat pemuda-pemuda duduk di kursi-kursi panjang yang muat untuk dua orang, ibu-ibu berpayung berjalan cepat-cepat di trotoar, dan papan-papan iklan yang menawarkan diskon besar-besaran. Di persimpangan depan kantor PDAM ia lihat kemacetan mengular akibat pendar hijau lampu lalu lintas yang dengan cepat berganti merah. Ia bergegas di pintu masuk rumah sakit. Sepasang suami istri yang tak lagi muda menggotong anaknya ke ruang UGD. Sebuah ambulan datang tergesa dan memuntahkan dua korban kecelakaan yang langsung diterima ranjang-ranjang yang didorong. Ia terus berjalan, bercakap-cakap dengan seorang petugas administrasi, lalu melangkah ke sebuah ruangan yang ditunjuk oleh si petugas.

Di depan pintu ruangan yang ditunjuk oleh petugas administrasi, ia memelankan langkah kaki. Ia tak bermaksud mundur, tapi ragu apa benar itu ruangan yang ingin ia masuki. Ia buka pintu itu sangat pelan, tanpa suara, tanpa sepatah kata. Ialah Kael, laki-laki yang membuat perempuan di dalam kamar, yang masih duduk di atas ranjang, menekuk kedua kaki dan menaruh dagu di antara dua lutut, begitu tak percaya melihat siapa yang datang. Sekar bergetar sekaligus tak percaya. Sangat tak mungkin orang yang sudah mati bisa hidup lagi, kecuali dalam film-film fantasi yang penuh dengan kekuatan super ajaib. Ia melihat wajah yang begitu terang disinari cahaya lampu yang terpasang di langit-langit kamar. Ia merasa tidak salah lihat. Yang berdiri di sana, yang baru saja membuka pintu, adalah Kael. Tidak salah lagi. Itu benar-benar Kael, yang terlihat jauh lebih dewasa, jauh lebih matang, dan bagi Sekar keadaan ini jauh lebih mendebarkan dari pertemuan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. Laki-laki itu berjalan ke arahnya, berdiri di hadapannya, menatap langsung ke matanya dengan mata yang penuh rasa khawatir, mata yang berwarna cokelat gelap.

Kael muncul di hadapan Sekar tanpa memunculkan tanda-tanda. Itu lebih mirip sebuah mimpi atau keajaiban yang terlalu murah. Sekar harus meyakinkan diri bahwa yang dilihatnya itu bukan halusinasi, bahwa laki-laki itu nyata, bahwa laki-laki itu tiba-tiba muncul kembali dengan caranya yang ajaib, yang memukau, yang meniadakan seluruh benda yang ada di sekitarnya dan hanya ada ia seorang yang berdiri di sana, diterangi cahaya lampu yang membuatnya seperti baru datang dari dunia lain, dunia yang bukan tempat manusia melainkan rumah bagi para malaikat. Kael tidak muncul dari balik pohon atau hujan. Ia tidak muncul dari dalam kendi atau botol air mineral. Ia seperti muncul dari balik dinding atau dari udara atau apa pun yang tak bisa dijangkau dengan mata telanjang. Seluruh kenangan kembali ke kepala Sekar. Seluruhnya. Tak ada yang tertinggal atau terselip di antara kenangan lain yang tidak relevan. Akan tetapi, pertemuan yang tak pernah terbayangkan itu sungguh beku. Benar-benar beku sampai-sampai meniadakan imajenasi tentang bagaimana memulai sebuah percakapan. Sekar menatap Kael sangat lama. Ia tak tahu bagaimana keajaiban itu terjadi, tapi laki-laki itu hidup, dan ia sedang melihatnya sekarang. Ia bahagia sekaligus ragu, takut, cemas, terutama ketika sampai pada pertanyaan, sekali lagi, apakah laki-laki yang berdiri di hadapannya benar-benar Kael atau hanya arwah penasaran seorang laki-laki yang sudah mati tak wajar sepuluh tahun lalu.

Sebuah kerikil menyumbat tenggorokan Sekar sehingga dibutuhkan usaha sangat besar untuk mengucapkan kata pertama untuk sebuah percakapan yang canggung dan seharusnya panjang tentang apa yang terjadi di suatu malam sepuluh tahun yang lalu, apakah Kael sungguh mati, bagaimana bisa ia tiba-tiba muncul dan mereka bertemu dalam keadaan yang tidak pernah direncanakan. Apa yang ada di hati Sekar saat itu adalah perasaan bahagia melihat Kael menampakkan raut wajah yang dipenuhi rasa khawatir dan ia benar-benar merasa senang mengetahui Kael mengejarnya, merasa khawatir, sikap yang jarang sekali ditunjukkan laki-laki itu sepuluh tahun lalu. Ketika Kael bertanya apa yang telah terjadi kepadanya sehingga memilih jalan yang dibenci Tuhan untuk menyelesaikan masalah, sebenarnya Sekar ingin mengatakan sesuatu tapi ia tak berpikir bahwa itu tempat yang tepat untuk terjadinya sebuah percakapan panjang. Sekar melihat ke luar kamar melalui kaca jendela. Dua pria yang dipekerjakan Karim mondar-mandir di halaman samping. Ia tahu, dua pria itu pasti sedang mencarinya, dan karena itu rumah sakit, mereka menahan diri untuk tidak membuat keributan. Sebelumnya ia sudah sempat berpikir bahwa ia mungkin akan dijemput paksa polisi atau dikejar-kejar keluarga dan anak buah Karim. Ia tak punya pikiran untuk menyerahkan diri ke kantor polisi, walaupun menurutnya, tinggal di penjara akan jauh lebih baik daripada jatuh ke tangan anak buah Karim.

“Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain?” kata Sekar kemudian seperti seseorang yang baru dijatuhi ilham. “Orang-orang itu akan menangkapku.”

Kael memperhatikan dua pria yang dimaksud Sekar dengan matanya. Lalu ia melihat ke samping, pada gadis muda, masih sangat muda, yang wajahnya bisa dibilang sebelas-dua belas dengan Sekar. Sekilas tak ada perbedaan sama sekali, kecuali pada bentuknya yang lebih tirus, bibirnya yang lebih tipis, dan ketiadaan belah pada dagunya yang runcing tapi tidak benar-benar runcing. Menyadari kenyataan ini ia merasa seperti sedang berada di antara dua bidadari, di tapal batas bumi dan surga.

“Dia adikku,” kata Sekar seakan tahu apa yang Kael pikirkan. “Dia akan ikut dengan kita. Itu pun kalau kamu mau membawaku pergi dari sini.”

Gadis muda itu menatap Kael, seolah dengan tatapannya ia ingin mengatakan bahwa sesuatu yang ia lihat sekarang adalah pemandangan yang tak pernah terbayangkan. Ia hanya mendengar cerita tentang laki-laki itu dari Sekar, dan sekarang ia bisa melihatnya langsung, seorang laki-laki yang dicintai Sekar lebih dari siapa pun, seorang laki-laki yang entah kenapa telah membuatnya tenggelam dalam rasa penasaran.

“Aku Ayu, Kak. Dian Ayu,” katanya dengan suara nyaris tergelincir dari nada suara yang seharusnya terdengar mantap. Ia setinggi seratus enam puluh tiga dengan bibir yang selalu memagut setiap kali melempar kata.

Kael menyebut namanya. Lalu menoleh pada Sekar yang turun dari ranjang. Sekar seperti ketakutan, ketakutan yang tidak terlampau berlebihan. “Mereka orang-orangnya Karim. Mereka akan menangkapku kalau kita tidak segera keluar dari kota ini.” 

Dan begitulah kemudian mereka menyelinap keluar dari rumah sakit. Kael menawarkan bagaimana kalau untuk sementara waktu mereka tinggal di rumah sewanya. Tapi, Sekar bersikeras mengatakan bahwa mereka harus segera meninggalkan kota dan pergi ke suatu tempat yang tak akan pernah ditemukan oleh orang-orang yang mengejarnya. Ia ingin suasana yang tenang, tersembunyi, tak direcoki oleh suara kenalpot kendaraan yang tak ada habisnya sepanjang hari, berita-berita televisi tentang penangkapan koruptor yang bagai hilang satu tumbuh seribu atau ujaran-ujaran kebencian yang terdengar dari balik mimbar di dalam rumah-rumah ibadah, dan yang terpenting dari semua itu, ia ingin terbebas dari kebengisan hidup dan penghakiman antar sesama manusia. Dengan sorot matanya Sekar menyampaikan kepada Kael tentang dirinya yang sudah terperosok ke dalam kehidupan yang tak diinginkan, yang membelenggu, yang terburai tanpa simpul, dan sekarang ia ingin memenuhi keinginannya sendiri, keinginan yang ia yakin tak akan merugikan orang lain.

Kael seakan tengah melihat permohonan yang baru keluar dari dalam gua seorang perempuan yang sudah dua kali menjadi janda. “Kalau begitu, sebaiknya kita langsung pergi ke terminal,” kata Kael kepada Sekar dan Ayu ketika melintas di atas jembatan yang membentang di belakang rumah sakit.

Di ujung jalan yang terbelah, yang membentuk simpang tiga, mereka menyelinap di balik kedai agak besar di tengah rumah-rumah penduduk yang berukuran dua kali lebih besar. Mereka memandang ke kanan dan ke kiri, kadang-kadang menengok ke belakang, memperhatikan dengan saksama kalau-kalau orang-orang yang dipekerjakan Karim masih mengejarnya. Walau bagaimanapun, meskipun Karim sudah mati, mereka, para pekerja itu, masih punya ikatan kontrak kerja, dan mereka tentu saja tak terima majikan mereka diperlakukan tak ubahnya binatang. Ini dapat dikatakan bahwa sebagai budak, mereka bekerja bukan saja untuk uang, tapi juga loyalitas pada majikan. Sekar, Kael dan Ayu terus berjalan dengan sebuhul kerisauan yang bersemayam di dada mereka. Hanya ketika sampai di terminal mereka merasa sedikit lega, meskipun tetap saja Sekar berpikir bahwa sebelum berhasil keluar dari kota ini kerisauan tetap akan merongrong dadanya.

Perasaan sedikit lega itu kembali mengental jadi kecemasan ketika mereka tahu bahwa tak ada satu pun bus yang mau mereka tumpangi saat itu juga karena sudah penuh. Dua bus masih mengantri di belakang, tapi dua bus itu tak akan segera berangkat karena secara alamiah mereka harus menunggu kursi-kursi mereka penuh. Ayu melihat sesuatu yang berubah pada wajah Sekar, raut kecemasan, sesuatu yang tak pasti, kegundahan yang berasal dari skenario tak terduga. Itu kelihatannya. Ia tak tahu kalau ada sesuatu yang lebih menggelisahkan dari yang sekadar tampak di permukaan. Dan tentu saja itu berasal dari munculnya kembali Kael dalam kehidupan Sekar yang seluruhnya sudah berubah.  

Hari semakin menua dan senja tampak berlumur darah. Sunyi jatuh di atas terminal yang telihat mentereng dari depan tapi bobrok di bagian belakang, di suatu bagian di mana warung makan berjajar tak terurus, yang lebih tampak sebagai warung remang-remang ketika petang menengadah menunggu bulan. Tak ada geliat kegiatan atau apa pun yang menggambarkan itu terminal selain di bagian depan, tempat orang-orang menunggu bus keluar dari gerbang. Bau kencing manusia dan tikus begitu tajam ketika Sekar berjalan-jalan di pintu belakang terminal. Pintu itu semacam gang kecil, diapit oleh dua tiang sebesar bambu siap tebang berwarna putih biru setinggi pinggang.

Sementara Sekar menghilangkan ketakutan dengan cara berjongkok di belakang kedai bobrok yang telah lama menjadi rumah tikus, Ayu terserap oleh sebuah titik di hadapannya, titik yang biasa sekaligus tidak biasa, titik yang ia tahu sebagai Kael, seorang laki-laki yang datang dari masa lalu bagi saudaranya, Sekar. Laki-laki itu, pikirnya, harus mengatakan sesuatu kepada Sekar tapi sangat tak mungkin bagi mereka berbicara pada saat-saat genting seperti ini. Semakin lama memandangi wajah laki-laki itu, Ayu semakin merasa kalau paras Kael tak menampakkan bahwa ia setua usianya yang mungkin di sekitaran tiga puluh enam atau tiga puluh tujuh. Ia mungkin masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu, yang pendiam dan tampak begitu asing. Ayu berusaha mendekat untuk memulai sebuah obrolan. Ia tidak tahu, dari mana datangnya keinginan itu. Mungkin ia hanya ingin tahu bagaimana sebenarnya laki-laki yang telah membuat saudara kandungnya serupa perempuan yang tertawan, sehingga laut di dadanya hanya berisi ikan-ikan yang berenang ke sebuah tempat di mana nama laki-laki itu tak pernah hilang disapu gelombang. Tapi saat melihat Sekar duduk sendiri di belakang kedai yang jauh dari layak itu, tiga depa di belakang sebuah angkot yang salah satu ban belakangnya sudah copot, ia mengurungkan niatnya. Ia menghampiri Sekar tanpa mau mengusik apa yang sedang perempuan itu pikirkan. Lalu, sebuah kebetulan terjadi. Kael berjalan ke arah mereka setelah melihat dua pria mencurigakan berdiri di samping pintu masuk terminal—sejak hidup di pengasingan selama sepuluh tahun ia belajar awas pada hal-hal yang tak biasa. Dua pria di depan terminal memang terlihat biasa, tapi gerak-gerik mereka yang tampak asing dan kaku, membuat mata Kael awas, dan ia segera mengirim sinyal itu kepada Sekar.   

Ayu, yang merekam peristiwa kecil itu, merasa ada yang berbeda saat Kael memandang wajah Sekar. Pandangan itu, tatapan mereka, terhubung ke dalam kenangan. Dan pandangan laki-laki itu adalah pandangan yang seakan menghargai sebuah kecantikan yang semakin menjadi di usia tiga puluh tiga. Itu masa-masa ketika kecantikan Sekar sedang berada di puncak. Badannya bagus dan bulu matanya lentik. Ada kesan murung dalam keanggunannya yang melimpah, sehingga membangkitkan insting purbawi laki-laki untuk melindunginya. Ayu tahu, ada sesuatu yang menghubungkan Sekar dan Kael, sesuatu yang dalam dan jauh, sesuatu yang membuat mereka tetap terhubung dan saling memimpikan meskipun sudah tak pernah bersua, meskipun seandainya mereka sama-sama mengaku sudah tak saling peduli.

Begitu saja, Ayu merasa berada di luar sejarah. Ia benar-benar terlempar dari simpul yang mengikat mereka. Untuk sepersekian detik ia terserang rasa cemburu tak berdasar kepada saudaranya sendiri. Tapi segera ia bisa meredam perasaan itu dan kembali fokus pada apa yang harus ia kerjakan.

Sekar melirik arloji yang dikenakannya. Pukul 17.20. Ia menengadah pada Kael yang berdiri di hadapannya. Ia berusaha tak menampakkan apa-apa dari jiwanya, tapi Kael tahu ada yang rapuh di dalam mata itu.

“Sekarang bagaimana?” tanya Sekar. 

“Kita pergi dengan mobil,” jawab Kael. Matanya ke dalam mata Sekar, lalu pada Ayu yang kemudian berkata, “Mas Kael ada mobil?”

“Itulah masalahnya,” katanya.

Lalu, mereka keluar dari terminal melalui pintu belakang. Mereka berjalan di atas jalan paving yang di sisi kanan saluran irigasi dan di sisi kiri persawahan membentang ke arah timur. Sekilas Sekar seperti merinding mencium bau amis yang tajam dari saluran irigasi, seperti amis ikan air tawar atau bau darah dari bekas pembalut seorang perawan yang mengapung di air. Aroma itu juga tercium oleh Ayu dan Kael. Tapi terutama Kael tak begitu terganggu sehingga ia bisa dengan mudah menelepon Mahrus Ali untuk membantunya menyediakan sebuah mobil. “Kalau perlu aku sewa. Kamu tak perlu perhitungan soal uang. Kita kawan, kan?” kata Kael. Seperti sudah ada yang mengatur agar adegan sore itu berjalan dengan lancar, Mahrus Ali bersedia meminjamkan mobilnya pada Kael, dan Kael hanya perlu mengisi bensin agar mobil itu tak mogok di tengah jalan.

Lihat selengkapnya