13
Penerimaan
Mereka mengobrol di dalam kafe, duduk di lesehan dengan santai. Kael enggan menanggapi atau berkomentar di beberapa bagian. Ia hanya ingin mendengarkan sambil sesekali mencoba memusatkan perhatian pada alam di sekeliling mereka. Mei berkali-kali mengatakan ketidakpercayaannya pada Kael, tentang bagaimana laki-laki itu kembali dari tubir kematian—pertanyaan utama yang juga ada di benak Sekar dan Ayu. Ia mengatakan, itu ajaib sekali melihat Kael kembali seperti sepuluh tahun yang lalu. Tak ada yang kurang satu apa pun. Katanya, semua orang sangat sedih atas peristiwa malam itu, apalagi saat tahu tubuh Kael tak ada di tempat kejadian saat polisi datang. Seseorang telah menyeretnya atau memindahkannya ke tempat lain sehingga sejak saat itu mereka meyakini bahwa peristiwa malam itu bukan hanya sebuah pembantaian melainkan juga upaya penghilangan paksa.
Mei membangkitkan lagi sesuatu yang mungkin sudah mati atau mengeluarkan kembali setiap kenangan yang sudah disimpan rapi di laci meja. Ia paham, ada yang belum selesai di antara dua kawannya, Sekar dan Kael. Walaupun begitu, ia masih tergagap menikmati pemandangan itu, sesuatu yang ajaib dan tak terbayangkan. Ia melongo melihat kecantikan Ayu yang mirip sekali dengan Sekar. Ia juga masih belum percaya melihat kecantikan Sekar yang tak luntur ditelan usia, bahkan katanya, kecantikan Sekar adalah kecantikan yang sudah matang, kecantikan yang proporsional dan dewasa.
“Kalian benar-benar kembar,” katanya dengan tawa lebar. “Aku baru tahu kalau kamu punya adik secantik ini.”
“Terima kasih, Mbak Mei.” Ayu yang menjawab. Matanya bagai tunjung biru yang bersinar-sinar seperti bintang hanya dengan sebuah pujian.
Kepada mereka, Mei bercerita tentang Watu Rongko, tapi sama sekali tak menyinggung soal kekejaman 65. Mungkin ia tidak tahu, atau tahu tapi memilih untuk diam. Atau mungkin juga karena cerita itu, kekejaman itu, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan apa yang ia ceritakan sekarang. Sepertinya memang tak ada hal-hal mengerikan di balik pemandangan sawah-sawah yang hijau, orang-orang yang giat bercocok tanam, yang dengan kegiatan itu seolah-olah mereka sudah bahagia menikmati waktu mereka yang kini.
“Mbak Mei asli sini?” tanya Ayu. Kael baru menyadari kalau gigi gadis di sampingnya itu serupa tetesan air yang tersinari matahari. “Maksudku, Mbak Mei memang lahir di bawah bebukitan ini?”
“Ya, aku lahir di sini, di bawah sana.” Mei menunjuk sebuah titik di kejauhan. Ia lahir di sebuah rumah yang baru dibangun, rumah dengan dinding yang terbuat dari bambu. Ia cerita, pada 1986, keluarganya bersama penduduk yang lain di kecamatan Jenu diminta pindah, karena di atas rumah-rumah mereka akan didirikan pelabuhan kayu. Rumah-rumah mereka dihargai enam ratus ribu per meter oleh pemerintah Orba, sebuah harga yang bahkan tak cukup untuk digunakan membangun rumah baru. Pada saat peristiwa itu terjadi, ibunya masih berusia 34, suasana begitu gelap, tanah-tanah kering sehingga untuk makan pun susah. Ibunya harus merawat dua anak yang masih kecil, ia dan saudaranya yang lebih tua, dalam keadaan pontang-panting. Ayu bertanya mengapa keluarga Mei mau disuruh pindah meninggalkan tanah mereka sendiri. Mei tampak menikmati pertanyaan ini dan mengatakan bahwa pada dasarnya tanah yang mereka pijak, bahkan tubuh yang mereka miliki, bukan milik mereka, tapi milik penguasa. Ia mengatakan kepada Ayu bahwa di masa-masa itu segala penolakan akan berakhir di jeruji besi. “Cara mereka beda, hening, tak ada pemberitahuan, ada sih, tapi hanya sekali, setelah itu rapat, dilakukan pengukuran, dan orang-orang hanya dikasi waktu dua minggu untuk pindah. Waktu yang begitu singkat untuk menemukan rumah baru. Tapi mereka tetap harus pindah atau kalau tidak mereka dimasukkan ke penjara,” kata Mei mengulang cerita ibunya.
Orang-orang tak mau melayangkan protes karena takut dibawa paksa, diculik, dan dimasukkan ke kurungan besi. Bapak Mei, yang tidak mau menyerahkan tanahnya begitu saja kepada pemerintah, sempat melakukan protes dan melakukan berbagai usaha untuk menolak. Ia ditakut-takuti akan dibawa paksa, tapi beruntung kakeknya mengancam akan menjadikan tanah mereka sebagai genangan darah jika orang-orang yang tidak lain adalah kacung-kacung pemerintah tetap membawa paksa bapak Mei. Mereka memang punya tanah, tapi mereka tetap menjadi pihak yang dirugikan jika terus melawan. Maka, pindah adalah keputusan yang tepat untuk menghindari cekcok dengan penguasa.
“Sekarang, di atas bekas rumah keluargaku sudah berdiri PLTU Tanjung Awar-Awar,” kata Mei.
Kael memperhatikan, saat mengatakan ini, Mei menahan emosi yang sangat besar. Ia mungkin ingin menangis bila mengingat masa-masa sulitnya, tapi setiap orang di dunia ini perlu belajar bertahan dari segala sesuatu yang mungkin terbuat dari beling, dari berondongan senapan kenyataan yang tak berpihak kepada mereka yang hanya berdiri dalam posisi benar, kecuali juga punya seperangkat latar belakang, afiliasi atau koneksi yang menguntungkan. Apa yang dialami Mei mungkin tidak sedahsyat yang menimpa Sekar. Buktinya, secara fisik, Mei masih lebih baik dari kondisi Sekar sekarang, yang sedari awal jiwanya sudah tidak di bumi atau menyentuh apa pun yang materi. Apa yang mulanya tampak terselamatkan mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran. Sekar memang sesekali nimbrung dalam pembicaraan, tapi tak benar-benar terhubung. Kata-kata dan ekspresi wajah berlainan, senyum dan tawanya tak sepadan. Melalui bahasa mata Kael meminta Mei untuk terus bercerita, karena pada saat-saat tertentu, ketika seseorang merasa terikat dengan suatu fragmen, ruhnya akan terpanggil untuk terhubung. Jadilah Mei dengan sangat antusias menjadi seorang narator ulung. Ia melanjutkan ceritanya tentang Watu Rongko, prosesnya dari bebukitan yang tak terawat menjadi pemandangan yang layak jual. Ketika selesai, ia cerita tentang wisata Air Terjun Putri Nglirip yang dihuni seorang putri cantik. Ia seperti menukil sebuah kisah dari kitab tua dalam sebuah gua.
Sambil bercerita Mei melihat ada emosi yang tak biasa di dalam diri Sekar, dan karena itu ia tak mau bertanya apa pun sebelum sahabatnya itu memutuskan untuk bercerita. Tapi, setelah ditunggu-tunggu, Sekar tetap mengunci pintu. Ia hanya mendengarkan apa saja yang diceritakan Mei kepadanya, kepada mereka.
“Habis dari sini kalian harus mampir ke rumahku, kalau perlu menginap barang beberapa malam,” kata Mei.
Sekar tersenyum. “Tentu saja,” katanya. Ia menghirup udara dalam-dalam seperti seseorang yang sudah lama mengimpikan udara bebas. “Aku ingin pergi ke tempat-tempat yang tenang di sini.”
“Aku akan mengantarmu tempat-tempat yang harus kamu kunjungi,” kata Mei dengan antusias. Lalu, ia sebut satu per satu tempat-tempat wisata yang ada, mulai dari yang berbau, air terjun, gua, hingga Klenteng Kwan Sing Bo. “Pantai Kelapa mungkin bisa jadi tujuanmu yang pertama,” kata Mei lagi.
“Tidak. Pantai terlalu ramai. Aku ingin tempat yang tenang, yang tak ada orang,” kata Sekar. “Aku ingin menyendiri. Aku ingin tahu rasanya ditunggu, rasanya dicari-cari, atau mungkin rasanya mati.”
Mei kehabisan kata-kata. Ia melirik ke arah Kael dan Ayu. Mereka sepakat, Sekar sedang berbicara tentang masa lalunya yang terluka, yang tak akan pernah sembuh hanya dengan nubuat, atau mencari cinta yang lebih kuat. Kael merasa omongan Sekar ditujukan kepada dirinya. Itulah sebab mengapa ia berusaha menghindari keadaan itu dengan cara naik ke puncak bukit. Kael berdiri di satu titik yang mungkin di situlah, mungkin juga di titik lain yang tidak jauh dari situ, sang eksekutor melakukan tugasnya. Tugas yang diberikan negara. Selama hampir setengah jam ia berdiri di puncak bukit dengan kebisuan yang dingin. Ia lihat Ayu menyusulnya, memintanya untuk mengabadikan mereka ke dalam kamera ponsel. Ayu juga mengajak Sekar dan Mei berswafoto, sehingga Mei merasa aneh berada di antara dua perempuan yang memiliki wajah seperti rembulan. Ia tak enak sendiri karena cuma ia satu-satunya di foto itu yang berwajah berantakan karena sering berjemur di bawah matahari.
Dari puncak bukit mereka bisa melihat rumah-rumah yang terpisah oleh garis-garis hijau yang tersusun dari deretan pohon, ladang-ladang yang ditanami palawija, dan selama beberapa saat mereka bisa bernapas dengan udara ketinggian yang lepas. Pada gerak-gerik mereka ada keinginan untuk menikmati keindahan itu lebih lama, juga ada kebanggan karena telah dilahirkan di atas bumi yang kaya. Tetapi, apa yang lantas membuat semua kaget adalah suara yang keluar dari Sekar, yang berbicara tentang keinginannya untuk tidak pulang. Pemandangan hijau di sekeliling telah menyerap jiwanya. Ia ingin memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membuatnya meninggalkan tekanan-tekanan yang seluruhnya berasal dari satu ceruk cukup dalam di dadanya.
Kael menerka-nerka, Sekar bukan saja ingin menghindari orang-orang yang mengejarnya, tapi juga ingin bersembunyi dari kenangan-kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan. Dengan lekas Kael menyadari bahwa berjam-jam setelah mereka meninggalkan Lowokwaru, Sekar belum bicara tentang kenapa ia dikejar-kejar anak buah Karim, bagaimana kehidupannya dengan laki-laki itu, apakah ia sudah punya anak, sudah berapa anaknya, satu, dua, tiga, atau hal-hal lain yang bisa dijelaskan. Ia merasa kecewa kepada dirinya sendiri karena tak sedikit pun bertanya bagaimana keadaan Sekar selama beberapa tahun belakangan. Ia terlalu dingin dan terlambat peka. Menyampingkan kekecewaan pada dirinya sendiri ia tak ingin memikirkan apa-apa tentang perempuan itu. Baginya, meskipun ada yang ganjil dan tak selesai, sejak malam itu ia sudah menganggap Sekar sebagai masa lalu. Dan begitu pun dengan Sekar, yang menurut Kael, ketika menerima Karim dan berikrar di depan keluarga dan penghulu, Sekar sudah membentuk masa depannya sejak saat itu. Ia berpikir tak ada untungnya ia merecoki hubungan yang sudah mapan, hubungan yang bahkan sudah disahkan oleh agama dan negara.
Setiap perjalanan memiliki ujung, dan setiap ujung tak perlu ditandai dengan pengibaran bendera. Tetapi, semakin ia meyakinkan diri bahwa sesuatu telah usai semakin ia merasa bahwa sebenarnya tak pernah benar-benar selesai ketika ia melihat kilatan cahaya di mata Sekar. Mata itu, di balik keindahan dan keredupannya, masih mencari, masih menanti. Kael sadar, ia belum bicara kepada siapa pun tentang tahun-tahun itu, tahun-tahun di mana Sekar terus menunggu dalam belenggu, di mana ia sendiri memutuskan untuk menutup buku dan memulai lembar yang baru.
“Yang aku tahu, setelah kejadian malam itu, Sekar terus mencari kabar Mas. Bahkan setelah setahun dua tahun, ia masih tetap mencari, ia masih terus menunggu,” bisik Mei ketika mereka mulai menuruni bukit.
Sekar seperti tenggelam ke dalam pikirannya yang menjelma hutan atau mungkin lautan. Kael merasa kasihan melihatnya, karena Sekar yang dulu tangkas kini lebih sering menjahit bibirnya sendiri, serupa penyihir yang cantik, atau seperti Cassandra, putri Priamos dan Hekabe, seorang perempuan peramal yang dapat mendengar masa depan. Dan seperti langit, Sekar tak perlu menjelaskan apa-apa. Ia tahu, duka tak butuh kata-kata dan kesedihan tak perlu air mata.
Kael bertanya kepada dirinya sendiri, perlukah ia menjelaskan suatu peristiwa yang sudah lama terjadi, suatu peristiwa tak akan pernah dicatat dalam buku sejarah nasional. Apakah setelah ia menjelaskan, memberi tahu setiap detail yang terjadi malam itu dan hari-hari setelahnya, Sekar akan percaya? Tidak. Tidak. Tidak. Ia berpikir lagi. Mau percaya atau tidak, itu bukan urusannya. Itu urusan Sekar. Tugasnya, kalau itu memang diperlukan, hanya mengurai kebuntuan. Tapi, mungkin ia belum siap akan hal itu. Ia tidak bisa memutuskan, terutama karena kesempatan untuk melakukannya belum tentu ada. Bagaimana pun, ia tak ingin membongkar kembali susunan cerita yang sudah mapan. Ia tak peduli. Semua ia biarkan mengalir bersama waktu. Ia tak perlu berusaha atau memaksa diri menciptakan peluang, karena setiap daun yang jatuh ke tanah sudah memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Ia tak akan merecoki apa yang akan terjadi. Dan sebuah kejadian yang tak pernah masuk daftar rencana—memang tak ada rencana-rencana dalam perjalanan ini, semuanya dibiarkan mengalir—terjadi. Mei menawarkan diri untuk mengantar Ayu melihat-lihat pemandangan lain di bawah lembah agar kembaran Sekar itu tahu keadaan sebuah keluarga yang rumahnya pernah digusur pemerintah.
“Jam 3 nanti aku jemput kalian,” katanya kepada Kael. “Pokoknya kalian harus mampir ke rumahku, kalau perlu nginap.”