Malam Seribu Lampion

Reni Refita
Chapter #1

Dering Dini Hari

Telpon rumah yang berdering sekitar jam 4 dini hari itu seketika mengagetkan seisi rumah. Kami semua terbangun dan mendatangi meja telpon dengan was-was. Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan, seolah tak ada yang berani mengangkat benda berisik itu. Siapa yang menelpon di jam-jam seperti ini? Membawa kabar apa? Tanpa saling bertutur, kami tahu bahwa ini bukanlah berita baik.

Pekik telpon yang semakin membuat senewen seketika terhenti begitu aku mengangkat gagangnya. Dan benar saja. Sebuah berita buruk pun sampai ke telingaku. Namun yang tak kusangka adalah, berita itu melibatkan sebuah pembunuhan. Dengan papa sebagai pelakunya.

Masih dengan pikiran tak karuan dan hati yang mulai hancur meskipun masih penuh tanda tanya, kami segera bergegas menuju kantor polisi tempat papa ditahan. Mama dan adikku Yumna tak bisa menahan tangis selama perjalanan, menambah sesak di dadaku yang seakan ingin meledak. Namun aku tak boleh meledak sekarang. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus mendengar apa kata papa. Aku masih ingin mempercayai papa.

Tergopoh-gopoh kami semua turun dari mobil begitu sampai di kantor polisi. Kerumunan pria berseragam coklat segera memecah begitu melihat kami memasuki ruangan. Dan saat itu lah aku melihat apa, atau siapa, yang mereka kerumuni. Dan saat itu juga lah, meskipun aku belum mendengar sepatah kata pun dari papa tentang kejadian sebenarnya, hatiku perlahan-lahan mulai memanas. Bersiap akan kemungkinan terburuk atas cerita papa yang mungkin tak akan berpengaruh apa-apa.

Mataku membesar memandangi sosok pria berbaju necis namun tampak kacau dan stress itu. Kepalanya tertunduk lemah. Tangannya gemetar mencengkram kuat rambut berubannya, seakan ingin mencabutnya sampai ke akar-akar. Dan jika aku berusaha menahan air keluar dari mataku, papa tak peduli. Ia segera menangis pilu begitu melihat kami. Namun mama tak ingin larut begitu saja, ia langsung menghujani pertanyaan demi pertanyaan yang pasti dari tadi sudah menggayuti benaknya. Namun tak ada jawaban papa yang memuaskan mama, karena pada akhirnya fakta yang berat itu sudah tak terbantahkan. Kata-kata papa tentang alibinya seolah tak lagi bisa menenangkan mama yang menangis meraung-raung disebelahnya. Pukulan demi pukulan terus dihujamkan mama ke lengan papa. Pukulan yang semakin melemah seiring dengan semakin tertunduknya wajah papa. Dan semakin terdengar lemahnya alibi yang dibangun papa.

Aku sendiri masih termangu. Mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Petir seolah terus menyambar gendang telingaku. Bersahut-sahutan dengan badai yang menghujam rongga dadaku. Kakiku terpaku di lantai, menatap sosok tak berdaya yang kedua pergelangan tangannya kini terpaut berhiaskan borgol. Sosok yang hanya dalam hitungan menit sejak kami menginjakkan kaki di kantor polisi ini, telah kehilangan semua kewibawaannya.

“Kenapa pa … kenapa …,” tanya mama lagi dan lagi. Pertanyaan yang seakan tak menginginkan jawaban. Karena meski berkali-kali papa mengatakan bahwa ia tak bersalah, kondisi dan situasi yang tidak menguntungkannya membuat pembelaan papa terasa percuma.

“Tolong percaya papa ma, papa nggak mungkin melakukan itu. Papa hanya dimintai tolong membukakan pintu kamar hotel itu. Papa pasti dijebak ma,” terang papa mencoba menenangkan mama sekali lagi. Dirangkulnya mama dan dibiarkannya wanita yang telah menjadi istrinya selama 25 tahun itu melepas tangis didadanya. Papa pasti tahu, bicara apapun saat ini percuma. Dengan semua bukti yang memberatkannya, hanya pengacara dan pengadilan lah yang akan menentukan nasibnya.

“Pak Husni berada di posisi yang sulit, karena satu-satunya sidik jari lain selain milik korban yang ada di TKP adalah sidik jari pak Husni. Dan yang paling memberatkan adalah sidik jari pak Husni jelas terdapat di pisau dapur yang digunakan untuk membunuh korban.”

Lihat selengkapnya