Sore itu adalah kali pertama Riri mengunjungi rumahku. Seminggu sejak kami memutuskan bekerjasama, aku memantapkan hati untuk menceritakan semuanya pada gadis itu. Tentang latar belakang keluargaku. Aku tidak ingin dia mengetahuinya belakangan dari orang lain dan merasa menyesal karena telah merekrut kucing dalam karung. Lebih baik jujur di awal daripada buang lelah sia-sia hanya untuk berhenti ditengah jalan karena suasana kerja yang tidak lagi kondusif.
Beruntung bos mudaku itu adalah pribadi yang tulus dan terbuka. Tidak terlihat sedikitpun pandangan jijik atau bahkan horor yang dihujamkannya padaku. Tak tampak penyesalan karena telah mengenalku. Dia bahkan tampak sangat bersimpati. Bukan hanya pada nasib kami bertiga, tapi juga papa. Lewat ceritaku Riri yakin papa tidak bersalah.
“Entah kenapa tapi aku yakin papamu tak bersalah. Kamu tahu kan, jaman sekarang semuanya bisa dibeli dengan uang. Bukti-bukti bisa direkayasa. Tapi yaa … kita juga nggak bisa ujug-ujug datang ke pengadilan, dan langsung menuduh tanpa bukti bahwa mereka telah merekayasa kasus itu. Bisa-bisa hukuman papamu malah diperberat,” analisa Riri bijak kala itu. Aku setuju. Kebimbangan itu memang masih selalu ada dihatiku. Namun pada akhirnya, memprotes tanpa bukti sama saja dengan maju perang tanpa senjata. Mati konyol!
“Sekarang yang terpenting adalah kalian bertiga harus bisa melanjutkan hidup dengan baik. Aku juga ingin ketemu dengan ibu dan adikmu suatu hari nanti.”
Dan suatu hari nanti itu adalah sore ini. Seketika hatiku ternyuh saat melihat Riri berusaha meredam butiran bening yang mengambang di sudut matanya saat berkenalan dengan mama dan Yumna. Sikapnya yang ramah membuat suasana rumah terasa hidup sore itu setelah sekian lama dipayungi mendung. Bahkan ia langsung terlihat membuat janji dengan Yumna untuk sesekali girls hangout berdua.
“Mas Yudha ya ngurusin proyek lah, masak mau ikut bos jalan-jalan,” seloroh Yumna saat aku protes karena tak diajak. Aku tertawa lega melihat adik bungsuku yang sempat ‘hilang’ kini mulai menemukan dirinya kembali.
Aku tidak ingin berpikir terlalu jauh, namun melihat interaksinya dengan mama dan Yumna semakin mempertegas keyakinanku bahwa perkenalanku dengan Riri bukanlah ketidak sengajaan. Tuhan yang telah mengirimnya untuk membuat keluarga kami ‘hidup’ kembali.
***
Siang itu aku mendatangi Riri di lapangan tenis tempat dia biasa bermain. Kami sudah janjian untuk bersama-sama menuju lokasi proyek karena Riri ingin melihat perkembangan pembangunan Sport Club-nya. Dan jika biasanya momen ini selalu membuat Riri bersemangat, kali ini justru wajah murungnya lah yang menyambutku di pintu GOR.
“Kenapa tuh mukanya, kalah tanding ya tadi?” godaku sambil mulai melajukan mobilku menuju lokasi proyek.