Aku terpaku didepan pintu apartemennya. Menimbang kembali keputusan yang aku ambil sebelum benar-benar mengutarakannya pada gadis itu. Aku sempat ragu. Apakah dia akan menyukainya? Atau apakah dia justru akan menganggapku berlebihan? Namun ketika bayangan senyumnya yang belum kembali lepas itu terlintas dibenakku, aku segera memantapkan hati. Aku tak tahan melihatnya terus menanggung masalah yang meskipun berusaha diabaikannya didepanku, namun aku tahu itu tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
"Hai Yud," sapa Riri setelah membukakan pintu untukku. Ia tersenyum. Namun bahkan orang yang paling tidak peka sekalipun pasti bisa melihat bahwa dia tidak benar-benar ingin tersenyum. Ada kegelisahan yang ingin ditutupinya di balik tawa yang canggung. Ada kegugupan yang ingin disamarkannya dengan keceriaan yang tak nyata.
Aku tertegun. Hanya sibuk menatap wajah sendunya, tanpa menyadari aku belum menjawab sapaannya. Otakku terlalu lambat untuk mencerna itu, karena satu-satunya yang ada dipikiranku saat ini adalah merangkul kepalanya dan membiarkannya menangis sejadi-jadinya di dadaku. Aku akan membiarkannya. Aku tidak akan bertanya kenapa. Aku tidak akan lancang sok menceramahi. Aku hanya ingin ia melepaskan segala kepenatan dibenaknya, menghempaskan kemuakan yang bersarang dihatinya. Hingga semuanya hilang dan hanya menyisakan Riri yang kukenal, Riri yang sebenarnya.
"Hai, lagi sibuk nggak?" jawabku akhirnya. Riri menggeleng dan mempersilahkanku masuk. Dan perasaan bahwa ia menyembunyikan sesuatu dariku itu kembali muncul saat ia dengan cepat menutup laptopnya dan menyimpan benda itu di kamarnya. Aku mengabaikannya. Tak ada alasan untuk baper. Dunia Riri bukan hanya berputar di sekelilingku saja kan?
Setelah mengobrol basa-basi dan berdiskusi tentang perkembangan proyek Sports Club kami, aku akhirnya memberanikan diri menyampaikan niat utamaku datang sore itu. Dan seperti sudah diduga gadis itu mengernyitkan dahinya bingung.
“Lampion? Di Borobudur?” tanyanya tak percaya.
“Ya, ikut yuk. Aku yakin kamu pasti bakal suka. Kita bisa ikut menerbangkan lampion dan menikmati pemandangan langit penuh dengan ribuan cahaya lampion.”
“Tapi … itu pasti ramai banget kan Yud.”
“Iya tapi nggak apa-apa, aku akan carikan tempat buat kita yang nggak terlalu ramai. Tapi yang jelas kamu mau ya. Aku tahu mungkin kamu lelah dengan berbagai urusan disini. Ya pekerjaan, ya keluarga. Refreshing sebentar di Borobudur sambil melihat lampion mungkin bisa sedikit meringankan pikiran kamu.”
Riri menatapku dalam. Keharuan terpancar jelas di sorot matanya. Dan seluruh panca indera-ku seketika terjaga kala melihat sudut bibirnya bergerak naik membentuk senyum yang indah, yang mengiringi anggukan yakinnya.
***