Malam Seribu Lampion

Reni Refita
Chapter #6

keadilanmutlakkk@gnail.com

Aku menekan bel apartemen itu untuk kesekian kalinya dan menghembuskan nafas kasar ketika tetap tidak ada jawaban dari dalam. Kemana sih gadis itu? Apa dia tidak ingat kalau hari ini kita akan mulai menentukan desain koridor penghubung antar lapangan dengan cafe? Apa dia kembali lupa bahwa urusanku adalah teknis, sementara estetika adalah keahliannya? Aku bisa saja memiliki ide cemerlang tentang desain interior maupun eksterior untuk proyek ini. Namun setidaknya kita tetap harus bertemu untuk membicarakannya, agar keputusan yang aku ambil tidak akan mengganjal hati siapapun dikemudian hari. Membicarakannya lewat chat WA bukanlah rekomendasi terbaik. Terlebih ketika balasan chat-nya seringkali hanya terdiri atas tiga kata sakti. 'Terserah kamu saja.'

Tak ada cerita. Aku ingin menemuinya langsung kali ini. Aku sudah bertekad. Namun nyatanya, aku harus kembali gigit jari. Keinginanku untuk menemuinya kembali buntu. Aku tak berani bicara soal rindu yang sebenarnya ketika alasan urgent-ku untuk kepentingan proyek pun tak terasa penting baginya.

Berhari-hari setelah kejadian di Borobudur itu hubungan kami memang terasa semakin canggung. Kondisi yang akhirnya kusadari sepenuhnya setelah beberapa saat terjebak, atau menjebakkan diri, dalam perasaan denial. Riri semakin jarang datang ke lokasi proyek. Ia juga sering tak ada di apartemennya saat aku datang mengunjunginya seperti sekarang ini. Komunikasi kami hanya lewat WA, itu pun benar-benar hanya urusan pekerjaan.

Aku tahu mungkin sikapku waktu itu adalah salah satu pemicunya. Dan aku ingin memperbaiki semuanya. Jika memang bukan hubungan seperti itu yang ia inginkan dariku, aku memakluminya. Aku hanya ingin setidaknya kami kembali seperti dulu. Rekan kerja dan teman. Hatiku mungkin butuh waktu untuk tidak lagi berdebar jika melihatnya atau bahkan sekedar mengingatnya. Namun demi menghapus ketidak-nyamanannya, aku akan berusaha. Namun bagaimana aku bisa punya kesempatan untuk memperbaikinya jika ia bahkan tak kunjung memberi jalan?

Dering ponselku membuyarkan lamunan yang menghambat rencanaku untuk berangkat bekerja pagi ini. Dan seketika mataku membesar demi melihat nama sang pemanggil. Robby Adrian SH. Pengacara papa. Ada apa?

“Mas Yudha, bisa kita ketemu hari ini? Urgent!” Suara tegas Robby semakin membuat jantungku berdebar kencang. Dengan sigap aku menyambar handuk segera setelah sambungan telpon kami terputus.

45 menit kemudian aku sudah berada di ruang kerja Robby. Menatap tajam amplop coklat yang disodorkan Robby kearahku.

“Paket ini datang pagi tadi. Mas Yudha harus lihat isinya.”

Was-was aku memeriksa isinya. Sebuah flashdisk dan secarik kertas ketikan yang bertuliskan,

‘Silahkan buka lagi kasus pak Husni Arifin. Selain isi flashdisk ini saya masih mempunyai bukti bahwa beliau tak bersalah. Dan saya bersedia bersaksi di pengadilan. Rahma. keadilanmutlakkk@gnail.com’

Lihat selengkapnya