Malam Seribu Lampion

Reni Refita
Chapter #8

Bisa Kita Bicara?

Aku memeluk papa erat. Seolah ingin menyampaikan permohonan maafku pada papa atas keraguanku selama ini. Bahkan jika aku mau jujur, apa yang sempat aku yakini sebelumnya adalah papa memang bersalah. Dan meski aku tak mengucapkannya secara gamblang namun aku yakin papa merasakan penyesalanku. Dan dari pelukan papa yang lebih erat bisa kurasakan penyesalan papa yang tak kalah besar atas kecerobohannya.

Mama yang dari tadi sudah mulai terisak segera membasahi kemeja papa dengan air matanya begitu mendapatkan kesempatan memeluk papa. Air mata yang sama yg ditumpahkannya ke dada papa setahun yang lalu, namun untuk alasan yang berbeda. Air mata itu kini penuh kebahagiaan, kelegaan. Meskipun tetap ada penyesalan yang tak bisa diabaikannya disana.

"Maafkan mama ya pa, mama udah meragukan papa selama ini ...," gumam mama di antara isak tangisnya.

"Mama nggak salah. Papa yang seharusnya minta maaf. Semua yang sudah terjadi adalah teguran buat papa agar tidak lagi bertindak bodoh," jawab papa mengeratkan pelukannya pada mama.

"Yumna juga minta maaf pa ...," seru Yumna sambil memeluk papa dan mama. Pemandangan ketiga orang yang saling berpelukan itu membuat hatiku terasa hangat. Tak pernah terbayangkan setahun yang lalu bahwa pemandangan ini akan tersaji secepat ini. Segala kesulitan yang kami alami pasca dijebloskannya papa ke penjara, rasanya kini seperti badai kemaren yang sudah hilang dibawa angin. Kerusakan yang timbul mungkin masih terlihat, namun setidaknya kami survive dan hanya perlu memantapkan diri untuk memperbaiki semuanya. Bersama. Utuh.

Hatiku yang tadinya hangat berubah jadi berdebar kencang saat sudut mataku menangkap pergerakan Riri di sudut ruangan. Ia dan ibunya perlahan mendekati kami. Dengan wajah sendu mereka berdua pun menunduk dihadapan kami.

“Pak Husni, ibu, Yudha dan Yumna, sekali lagi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk kesalahan ayah saya dan untuk sikap saya yang merahasiakannya selama ini. Mungkin tidak sekarang, karena saya tahu kesalahan ayah terlalu besar. Namun saya harap suatu hari nanti ayah saya bisa berubah sifat menjadi jauh lebih baik sehingga dia pantas untuk dimaafkan,” ucap Riri lirih sambil menatap kami terutama papa, dengan sorot mata yang tak perlu menjadi ahli gestur tubuh untuk merasakan ketulusan yang dipancarkannya.

"Mohon maaf atas semua kesulitan yang keluarga bapak sudah alami karena perbuatan suami saya," sambung ibu Riri dengan suara pelan namun ketulusannya cukup keras terdengar.

Meskipun aku tahu mama dan Yumna cukup kecewa, namun mereka juga tak bisa menahan senyum penanda rasa terimakasih yang dalam untuk Riri. Karena pada akhirnya insting dan keberanian gadis itu lah yang menyebabkan kasus ini selesai dan papa mendapatkan keadilannya. Bukan hanya keberanian untuk mempertaruhkan hidupnya demi mengungkapkan kejahatan dari seorang bakal calon gubernur yang juga pengusaha kelas kakap, namun juga untuk mempertaruhkan keluarganya. Begitu ia mengirimkan amplop coklat itu pada Robby Adrian dulu, Riri pasti tahu bahwa masa depan keluarganya akan ikut 'terhukum' bersama sang ayah.

Papa sendiri mungkin belum mengerti sepenuhnya bahwa ada masalah lain selain masalah hukum yang membuat situasi canggung kini menyergap. Karena meskipun aku sempat sekali atau dua kali menyinggung tentang pekerjaanku pada papa, namun ia tak pernah tahu wajah Riri sebelumnya. Meskipun begitu rasa bersalah yang masih tersisa di hati papa membuatnya tak ingin menghakimi orang yang tak bersalah. Apalagi orang itu nyata-nyata adalah tokoh kunci yang telah membantunya terbebas dari kungkungan hukum yg tak adil.

"Terimakasih telah bersaksi untuk saya," jawab papa sambil mengangguk.

Aku sendiri masih terpaku. Tak tahu harus bereaksi apa. Semua yang terjadi rasanya begitu cepat dan tak memberiku waktu untuk menentukan bagaimana hatiku harus bersikap. Riri dan ibunya menutup pertemuan singkat itu dengan bungkukan badan tanda hormat, sebelum kemudian pergi meninggalkan kami. Pergumulan batinku memuncak hingga saat Riri mulai berjalan meninggalkan ruang sidang itu. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Jika selama ini ia susah dihubungi, tak bisa kubayangkan akan sesulit apa untuk menemuinya nanti setelah apa yang terjadi hari ini. Tidak. Aku harus mengejarnya.

Lihat selengkapnya