Malam Seribu Lampion

Reni Refita
Chapter #9

Dibawah Ribuan Lampion

"28 tahun yang lalu, ketika saya baru lulus kuliah dan mulai putus asa karena tak kunjung diterima bekerja dimana-mana, perusahaan ini lah yang akhirnya menerima saya. Memberi saya kesempatan berkarir meski tanpa pengalaman bekerja apalagi relasi. Memberi saya begitu banyak kebaikan dan pengalaman hidup yang sangat berharga. Suka duka pasti ada. Namun semua berkah yang saya dapatkan, membuat duka-duka yang pernah terjadi itu kini hanya menyisakan obrolan santai sambil ngopi-ngopi cantik di Starling."

Tepuk tangan bergemuruh di seluruh aula tempat diadakannya acara Appreciation Day untuk papa siang itu. Seluruh peserta acara tampak tersenyum dan sesekali tertawa mendengar pidato papa yang kadang kala diselipi humor receh khas bapak-bapak komplek. Meskipun tak bisa dihilangkan juga rasa haru di wajah mereka, terutama rekan seangkatan papa, melihat akhir karir dari salah satu teman seperjuangan mereka yang datang lebih cepat.

"Untuk itu, sekali lagi saya dan keluarga ingin memohon maaf sedalam-dalamnya atas kekhilafan yang sedikit banyak pasti pernah kami perbuat selama bergabung dengan perusahaan hebat ini. Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua dukungan terhadap kami baik dalam suka mau pun duka. Sukses terus kedepannya untuk kita semua!" tutup papa yang kembali disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.

Sejak papa mendapatkan Rehabilitasi Nama Baik-nya, perusahaan ini sesungguhnya langsung meminta papa untuk bekerja kembali. Menganulir semua keputusan direksi tentang pemecatan papa setahun yang lalu. Namun papa menolaknya. Ia merasa tidak pantas, kecerobohannya tetap harus mendapat ganjaran. Selain juga keinginannya untuk memberi lebih banyak waktu dan perhatian pada kami keluarganya yang mungkin tidak bisa ia maksimalkan selama ini. Maka dengan lapang dada papa pun mengajukan pensiun dini yang kemudian dikabulkan oleh perusahaan. Dan tidak ingin salah seorang karyawan loyalnya pergi begitu saja, perusahaan pun mengadakan acara spesial ini untuk sang mantan karyawan.

Sepulangnya dari kantor papa, kami singgah sebentar ke lokasi proyek. Aku ingin mengecek finishing interior yang sekarang tengah dikerjakan. Jika semua sesuai dengan rencana, seluruh lapangan dan sarananya akan benar-benar siap beroperasi dalam seminggu lagi. Sekarang aku hanya tinggal memantapkan nama yang pas untuk Sports Club ini.

Kakiku baru saja melangkah memasuki cafe saat mataku langsung tertuju pada sebuah lukisan abstrak yang baru saja digantungkan oleh salah seorang pekerja. Lukisan itu merupakan satu-satunya benda dari gudang Riri yang berani aku keluarkan. Sementara semua barang lainnya aku masukkan ke gudang baru yang aku buat di belakang lapangan padel. Dan lukisan itu kini terpampang dengan anggun di tempat yang aku inginkan di cafe.

Perlahan kudekati lukisan itu. Tanganku terjulur meraba kanvas berwarna yang meskipun mulai pudar namun tak mengurangi keindahannya. Dan kerinduan yang selalu menyertai setiap kali aku memandangnya. Walaupun sejujurnya aku tak perlu melihat lukisan ini untuk bisa memanggil rindu. Tak perlu. Karena toh perasaan itu tak pernah pergi. Aku hanya lumayan berhasil meredamnya di waktu-waktu tertentu, untuk menikmatinya dalam diam di waktu yang tepat.

"Kamu masih belum berhasil menghubunginya?"

Lamunanku terbuyar oleh suara papa yang tiba-tiba sudah ada di belakangku bersama mama dan Yumna. Setelah berbulan-bulan memperhatikan gerak gerik anak sulungnya yang seperti hidup dalam kebahagiaan yang tak utuh, aku bisa merasakan keresahan papa pun semakin bertambah. Karena bagaimana bisa papa menikmati kebahagiaan yang utuh setelah berkumpul kembali dengan kami, jika ia tahu hatiku tak sepenuhnya merasakan itu?

Apa yang pernah menimpa papa setahun belakangan tentu bukanlah memori yang ingin selalu dikenangnya. Namun jika keinginannya untuk melarikan diri dari memori itu justru menghalangi memori indah yang mungkin bisa dimiliki anak sulungnya, papa lebih memilih untuk menghadapinya. Tidak mudah, aku tahu. Namun aku juga tahu, papa kini siap berdamai dengan masa lalunya.

Aku tersenyum kecut sambil menggeleng. Belaian tangan mama di pipi ku terasa hangat. Namun hatiku semakin dingin. Diantara harapan dan perhatian mereka pada urusan hatiku, ada hati lain yang masih tak ingin dijangkau.

"Usahakan Yud. Jika kau merasa sudah waktunya, jangan menunggu. Jemput. Biar dia yang memutuskan bersedia ikut pulang atau tidak." Saran papa terdengar mantap. Hatiku hanya perlu meyakininya.


***


Pemandangan dari Bukit Sikunir tampak indah senja itu saat aku tiba disana. Namun aku kemari bukan semata untuk menikmati pemandangan itu, ada misi yang paling utama. Misi mencari jarum di tumpukan jerami. Atau mungkin Mission Impossible. Karena aku sendiri tak tahu pasti apa gadis itu benar-benar datang menyaksika Festival Lampion Dieng malam ini. Bahkan jika ia datang sekali pun, bagaimana aku bisa menemukannya di tempat seluas ini? Hanya instingku saja yang mengatakan bahwa ia ada diatas sini, sesuai keinginannya yang hanya ingin menikmati bukan melakukan. Dan dari sifat dasarnya yang introvert, aku yakin dia tidak akan berada di kerumunan. Namun juga tidak mau terlalu jauh dari pos penjaga.

Andaikan aku masih bisa menghubunginya, kebingungan ini tentu tak perlu kuhadapi. Namun sejak chat terakhirnya hari itu, aku tak bisa lagi menghubunginya. Baik di WA maupun social media. Apartemennya pun kosong. Ia benar-benar ingin menghilang dari hidupku. Seperti katanya, kami semua butuh waktu. Dan setelah waktu itu kujalani, semua kegembiraan keluarga kami yang berkumpul kembali tak mampu menepis kehampaan dalam hatiku. Tak mampu meredam kekecewaan mama yang kehilangan satu orang ‘anak perempuan’nya, dan kegamangan Yumna yang kehilangan sahabatnya.

Papa benar. Aku tidak peduli jika ia masih butuh waktu. Aku sudah selesai menunggu. Aku hanya ingin membawanya kembali dalam hidupku. Dan kini aku berharap, tebakanku bahwa dia ada disini adalah tepat.

Tepat pukul 19.30 lampion-lampion itu mulai diterbangkan. Orang-orang yang ada di Bukit Sikunir mulai mencari tempat terbaik untuk menikmati pemandangan langit Dieng yang indah dihiasi cahaya lampion. Aku sendiri masih mencari seorang gadis yang aku yakin berada di …

Hatiku berdetak kencang melihat punggungnya. Aku yakin itu dia. Duduk sendiri di sebuah gundukan tanah, memandang kagum pada ribuan lampion yang semakin bergerak naik. Tanpa mempedulikan kalimat apa yang harus aku ucapkan padanya, aku langsung bergerak menghampirinya.

“Kamu benar-benar datang,” sapaku sambil mengatur duduk disampingnya. Wajahnya yang sangat kaget tampak lucu dan aku tak bisa menahan tawa kecilku.

“Yudha …,” katanya setelah berhasil menguasai diri.

“Indah ya. Sayang kalau hanya dinikmati sendiri,” ucapku mengagumi lampion-lampion itu.

Lihat selengkapnya